Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bisnis Kayu Sepeninggal Papi

Berbekal jatah hutan dari Soeharto, keluarga Sarwo Edhie masuk bisnis kayu. Jadi sorotan gara-gara intervensi pada kasus hukum.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARWO Edhie Wibowo sedang bersantai di teras rumahnya, Kompleks Resimen Para Komando Angkatan Darat, Cijantung, Jakarta Timur. Seorang ibu tiba-tiba masuk pekarangan sembari berteriak, "Bu Sarwo, beli minyak goreng!"

Sarwo kaget bukan kepalang. Kepala Staf Resimen itu tak mengetahui Sunarti Sri Hadiyah, istrinya, berjualan minyak goreng. Sang istri kulakan berliter-liter minyak goreng dari Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur. Masuk perumahan itu pada 1962, ia mencium peluang usaha: para istri tentara enggan berbelanja ke pasar. Sunarti merahasiakan kios minyak gorengnya. "Ibu berjualan karena gaji Papi tak seimbang dengan kebutuhan keluarga," kata Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono dalam bukunya, Kepak Sayap Putri Prajurit.

Sarwo tak tertarik berbisnis. "Jiwa dia militer, bukan pengusaha," kata Mayor Jenderal (Purnawirawan) Sukotjo Tjokroatmodjo, Komandan Resimen Taruna Akademi Militer ketika Sarwo menjabat Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Umum dan Darat di Magelang. Ia mencontohkan, pada waktu itu, Presiden Soeharto memberi jabatan komisaris perusahaan negara atau jatah konsesi hutan buat pensiunan jenderal. Tapi, kata dia, Sarwo tak pernah menggarap hutan jatahnya.

Karib Sarwo, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Rais Abin, juga melihat jenderal kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, itu tak kerasan bekerja di perusahaan. Sama-sama menjabat Komisaris Bank Bumi Daya, menurut Rais, Sarwo ogah-ogahan menjalani jabatan "jatah" itu. "Dia memang lebih cocok di militer, bukan di perusahaan," kata Rais.

Sarwo sebenarnya kebagian lahan di Papua. Daerah itu tak asing baginya. Pada 1969, ia menjadi Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih seusai Penentuan Pendapat Rakyat di wilayah itu. "Jatah" hutan itu tak pernah dikelola Sarwo hingga ia meninggal pada 9 November 1989. Diwariskan kepada sang istri, jatah itu langsung digarap lewat bendera PT Wanatirta Edhie Wibowo. Perusahaan ini didirikan dua bulan setelah Sarwo berpulang.

Sunarti berkongsi dengan lima pengusaha tak ternama. Dari enam pemegang saham, Sunarti menyuntikkan dana terbesar, yakni Rp 100 juta, dari total modal Rp 200 juta. Ia menjadi direktur utama. Kursi direksi diisi menantunya, Gatot Mudiantoro Suwondo—yang kini menjabat Direktur Utama BNI. Ia juga memasang putri tertuanya, Wijiasih Cahyasasi, di posisi komisaris.

Menurut orang dekat keluarga Sarwo, meski pemegang sahamnya gado-gado, Wanatirta tak ubahnya perusahaan keluarga besar. "Adik dari menantu saja ikut-ikutan mengurusi perusahaan," kata dia.

Kepada Tempo pada 2010, Wijiasih—biasa disapa Wiwiek—bercerita urusan perusahaan memang diserahkan Sarwo kepada anak-anak. "Kebetulan, di keluarga, saya satu-satunya yang berbisnis—bukan di militer," ujarnya.

Tak terbiasa menangani industri kayu, seorang pengusaha kehutanan membisikkan, Wanatirta jalan di tempat. Akhirnya, pada awal 1990-an, keluarga ini menggandeng Hasan Sunarko, nakhoda Grup Hasko, yang dikenal sebagai raja kayu lapis. "Keluarga Sunarko diajak melakukan survei lokasi hutan ke Papua," ujarnya.

Wiwiek membenarkan ihwal kongsi bisnis dengan Hasan Sunarko itu. "Ibu saya berbisnis dengan Sunarko dan kami, putri-putrinya, yang menjalankan," ujarnya pada 2010.

Hasil survei rupanya memuaskan Hasan Sunarko. Tak lama, Wanatirta mengantongi izin hak pengusahaan hutan pada Oktober 1995. Mereka mendapatkan lahan 206 ribu hektare di Kabupaten Mappi, Papua. Keluarga ini memasang Amir Sunarko, putra Hasan, menjadi komisaris di Wanatirta.

Perusahaan ini tercatat berkantor di Jalan Sam Ratulangi Nomor 8, Jayapura. Anehnya, warga yang tinggal dan berkantor di jalan itu tak pernah melihatnya. "Di jalan ini tidak ada kantor Wanatirta Edhie Wibowo," kata Rusdi, yang membuka warung makan di jalan itu. Rusdi pun terheran-heran melihat nomor pada alamat tersebut. "Nomor delapan itu dari dulu ya alamat kantor Kepolisian Daerah Papua," ujarnya.

Markas polisi itu diapit gedung Bank Indonesia dan Pusat Koperasi Jayapura Komando Armada RI Kawasan Timur. "Saya tiga tahun bolak-balik di Jalan Sam Ratulangi tak pernah ada itu kantor Wanatirta," kata Anwar, yang berkantor tak jauh dari Jalan Sam Ratulangi.

Umur Wanatirta pun tak panjang. Sekitar tujuh tahun berdagang kayu, perusahaan mulai terbelit masalah keuangan. Medan yang sulit, kata Wiwiek, membuat biaya operasional membengkak. Padahal keuntungan yang diperoleh tak seberapa karena kayu yang ada berdiameter kecil. "Kami jungkir balik untuk bertahan, tapi biayanya terlalu besar," ujar Wiwiek.

Bahkan, mulai 2002, Wanatirta tak lagi mengajukan rencana kerja tahunan sampai-sampai disemprit Kementerian Kehutanan. Tiga kali diberi surat peringatan, Wanatirta minta kelonggaran waktu tiga bulan. Tapi, hingga tenggat, rencana kerja tak juga dilayangkan.

Akhirnya Menteri Kehutanan saat itu, Malem Sambat Kaban, menerbitkan pencabutan izin hak pengusahaan hutan Wanatirta pada Januari 2008. "Ada pelanggaran administratif. Karena itu, izinnya kami cabut," kata Kaban.

Gagal di Papua, Wiwiek tak kapok berbisnis kayu dengan Amir Sunarko. Ketika keluarga Sunarko masuk ke PT Sumalindo Lestari Jaya, Wiwiek pun bergabung. Bursa Efek Indonesia mencatat Wiwiek memiliki saham 1,21 persen di perusahaan itu.

Meski pemilik saham minor, September tahun lalu, Wiwiek terpilih dengan suara mayoritas untuk menjadi Presiden Komisaris Sumalindo. Itu terjadi setelah Wiwiek "berjasa" mengeluarkan anggota direksi perusahaan dari bui karena diduga terlibat dalam pembalakan liar.

Pada Mei tahun lalu, Kepolisian Sektor Sebulu, Kutai Kartanegara, memeriksa kayu di dermaga Sumalindo. Di bawah susunan kayu sengon, mereka menemukan 3.000-an batang kayu meranti dan kayu rimba lain yang dilarang diperjualbelikan. Semuanya tanpa dokumen resmi. Pemasok kayu haram itu dibekuk. Karena pengiriman kayu itu tertera dalam perjanjian yang diteken Presiden Direktur Amir Sunarko dan wakilnya, David, dua orang itu pun ditahan.

Kepada Tempo, ketika itu Wiwiek bercerita awalnya ia tak mau turut campur dalam kasus hukum Amir. Namun ia melihat penahanan Amir berlarut-larut, sementara kasus hukumnya banyak kejanggalan. Sebelum turun tangan, Wiwiek mengaku berkonsultasi terlebih dulu dengan keluarga besar. "Tentu kami bicarakan sebagai keluarga," ujarnya.

Wiwiek sempat mengutus tangan kanannya, Basuki Widjaja Kusuma, menemui Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Mathius Salempang, yang menangani kasus Sumalindo. Selain itu, Wiwiek bersafari ke Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Kehutanan; serta Kejaksaan Agung.

Amir dan direksi Sumalindo akhirnya dilepas polisi. Belakangan, kasus pembalakan liarnya juga kandas di pengadilan. Hakim dalam amar putusannya menjatuhkan vonis bebas buat Amir dan kawan-kawan.

Namun Wiwiek membantah itu terjadi karena intervensi dan pengaruhnya sebagai kerabat Istana. "Semua sesuai dengan prosedur hukum, tidak ada intervensi," ujarnya. "Saya hanya membantu kawan lama karena tahu betapa sulitnya mengurus perusahaan kayu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus