Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA lelaki berdebat sengit. Yang satu Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang lain Rony Santana, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pria pertama, yang terus mengisap rokok Djarum merah, berkeras bahwa menteri boleh menentukan penunjukan langsung dalam pelaksanaan proyek pemerintah. Yang lain berpendapat sebaliknya.
Adegan ini terjadi ketika Yusril diperiksa sebagai saksi kasus korupsi pengadaan alat identifikasi sidik jari otomatis Departemen Hukum dan Perundang-undangan, kantornya sebagai menteri pada 2004. Dua jam lebih tak mencapai titik temu, Yusril berkata, ”Sudahlah debat ini diakhiri saja, nanti jadi panjang urusannya.”
Dalam pemeriksaan di lantai II gedung KPK, Jakarta, Kamis dua pekan lalu itu, Yusril menegaskan, ”Anda menyalahkan saya, tapi setelah ini Anda bisa jadi harus memeriksa Ketua KPK.”
Esok harinya, Yusril kembali ke gedung komisi itu. Ia menenteng salinan surat KPK kepada Presiden beserta jawaban dari Menteri Sekretaris Negara. Isinya persetujuan Presiden agar proyek pengadaan alat sadap oleh KPK pada 2005 dilakukan dengan penunjukan langsung. Yusril menganggap hal itu sama dengan yang ia lakukan pada proyek mesin sidik jari.
Dalam formulir tanda bukti penerimaan laporan yang ia tanda tangani, Yusril membubuhkan tulisan tangan: ”Untuk KPK menelaah isi Keppres 80/2003 lampiran Bab I. Untuk selanjutnya memeriksa Ketua KPK dalam menerapkan Keppres tersebut, dalam kasus pemilihan metode penunjukan langsung dalam pengadaan alat sadap.”
Pembelian alat sadap yang dipersoalkan Yusril dilakukan KPK pada 2005. Nilainya sekitar Rp 34 miliar. Baik merek maupun spesifikasi alat yang dibeli tidak diumumkan karena termasuk klasifikasi rahasia. ”Kalau dibuka ke publik, orang akan membeli alat perusak atau penangkalnya,” kata Tumpak Hatorangan Panggabean, Wakil Ketua KPK.
Menurut sumber Tempo, KPK membeli alat-alat penyadapan dari ATIS Auher, perusahaan asal Jerman. ATIS memang dikenal sebagai pembuat peralatan penyadapan telepon seluler yang dipakai pemerintah banyak negara, termasuk Israel. Klarios adalah produk utama mereka yang dipakai lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK.
Menurut Yusril, KPK awalnya mengajukan tiga merek alat penyadapan yang akan dibeli. ”Saya lupa nama-namanya, tapi itu buatan Jerman, Amerika Serikat, dan Polandia,” kata pria 51 tahun itu. Sumber Tempo yang bergerak di bidang ini menjelaskan bahwa merek alat penyadap buatan Amerika Serikat adalah Verin, adapun dari Polandia adalah Makro Sistem.
KPK mengajukan anggaran Rp 16 miliar untuk pembelian alat-alat itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada Mei 2005. Komisi Hukum DPR, yang antara lain mengawasi KPK, menyetujui permintaan itu. ”Karena undang-undang memang memberi wewenang kepada KPK untuk menyadap,” kata Akil Mochtar, Wakil Ketua Komisi Hukum yang saat itu memimpin sidang.
Komisi Hukum kemudian mengajukannya ke Panitia Anggaran DPR. Usulan ini juga mulus, dan besarnya bahkan meningkat hingga Rp 34 miliar. Dalam rapat kerja dengan KPK pada pertengahan 2005, Komisi Hukum memutuskan agar proyek pengadaan alat penyadapan itu dilakukan dengan penunjukan langsung. Syaratnya, metode itu harus disetujui oleh Presiden.
Dengan dasar keputusan Komisi Hukum DPR itu, KPK mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 September 2005 untuk meminta persetujuan. Surat itu dibalas oleh Yusril pada 10 November tahun yang sama. ”Presiden telah menyetujui metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan penunjukan langsung,” kata Yusril dalam surat jawaban yang ditembuskan ke Presiden dan Menteri Keuangan.
Tumpak Hatorangan memastikan lembaganya sudah menempuh segala prosedur. KPK antara lain telah melakukan prakualifikasi dan negosiasi harga dengan pemasok barang. Karena itu, Akil Mochtar, politikus Partai Golkar, memastikan pengadaan barang yang dilakukan Departemen Hukum dan KPK tak sama.
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo