Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKOCEK tak tebal, PT Sentral Filindo nyaris kehabisan duit tiga tahun lalu. Didirikan enam tahun silam dengan modal awal Rp 400 juta, pada Oktober 2004 uang perusahaan itu ”terbang” Rp 375 juta. Si penerima uang adalah Apendi, pegawai di Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
Namun, sebulan setelah duit keluar, menurut sumber Tempo, uang Rp 18,5 miliar menggelontor masuk ke rekening mereka. Inilah buah transaksi perusahaan pimpinan Eman Rachman itu dalam proyek pengadaan alat identifikasi sidik jari otomatis di Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang diteken pada 22 November 2004. Pemimpin proyek itu adalah Apendi, orang yang sama dengan penerima uang Rp 375 juta.
Pergerakan uang di rekening Sentral Filindo itu diendus oleh para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi awal tahun ini. Hasilnya, Apendi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat identifikasi sidik jari. Ia dijebloskan ke tahanan pada 7 Februari lalu. Eman menyusul esok harinya.
Sentral Filindo terdaftar secara resmi di dokumen pemerintah pada 28 Maret 2001. Berdasarkan akta pendiriannya yang diperoleh Tempo, perusahaan itu didirikan oleh empat orang: Eman Rachman, Rinto Agami, Raden Suharmaya, dan Yudi Pringadi. Pada 29 Juli setahun kemudian, Yudi mengundurkan diri.
Pemilikan perusahaan itu juga berubah pada 6 Agustus 2003. Rinto dan Raden menjual saham mereka kepada Gunawan Satya Budhi, Dewi Rahmawati Usman, dan Sita Hapsari Dewi. Nama terakhir beralamat sama dengan Eman Rachman, yaitu di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Nilai total kepemilikan empat orang di perusahaan itu Rp 550 juta.
Rinto Agami yang dihubungi Tempo, Rabu pekan lalu, mengaku tak ingat lagi dengan aktivitas Sentral Filindo. ”Saya sudah lama sekali keluar dari perusahaan itu,” katanya. Menurut dia, saat dirinya bergabung, Sentral Filindo belum berbisnis alat pengenal sidik jari.
Menurut Abdurrahman Tardjo, aktivis Partai Bulan Bintang yang pada 2004 mengenalkan Eman Rachman kepada Yusril Ihza Mahendra, yang kala itu Menteri Hukum dan Perundangan-Undangan, bisnis Sentral Filindo awalnya bukan pada alat-alat canggih seperti alat identifikasi sidik jari. ”Setahu saya baru pada 2004 Pak Eman mengaku memiliki hubungan dan fasilitas untuk menyediakan peralatan canggih,” kata Abdurrahman, yang mengenal Eman sebagai sesama aktivis masjid.
Yang dimaksud dengan ”hubungan dan fasilitas” oleh Abdurrahman itu terkait dengan Darmalog, sebuah perusahaan Jerman. Pada 2004 itu, Sentral Filindo menjadi mitra lokal Damalog. Alat dari Dermalog itulah yang dijajakan Eman kepada Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
Menurut dokumen pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan 2005, Sentral Filindo menawarkan peralatan identifikasi yang sesuai dengan kebutuhan Direktorat Daktiloskopi, Departemen Hukum. Sentral Filindo juga menawarkan pendanaan melalui pinjaman lunak dari KFW Jerman.
Keanehan muncul karena Sentral Filindo, perusahaan dengan rekening minim, dipercaya menangani proyek belasan miliar rupiah. Seorang sumber yang paham dengan seluk-beluk proyek pemerintah mempertanyakan kemampuan perusahaan itu menyediakan garansi bank seperti lazim perusahaan sejenis.
Tidak bonafidnya Sentral Filindo juga diketahui dari kantor perusahaan itu yang kerap berpindah-pindah. Alamat terakhir mereka adalah di Lantai III Gedung ABN Mas, Cilandak, Jakarta Selatan. Aparat KPK yang menggeledah kantor itu bulan lalu mendapati hanya enam karyawan di sana—empat di antaranya karyawan kontrak.
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo