Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Resepsi pernikahan Bambang Sulistomo dengan Astrid Widajati di ruang Ramayana, Hotel Indonesia, pada Juni 1978 terasa tak lengkap. Tak ada sang ayah yang berdiri di samping Bambang. Hanya Sulistina Sutomo, ibunya, dan paman Bambang yang mendampingi.
Saat itu Bung Tomo masih mendekam di tahanan Nirbaya. Dia tak diizinkan hadir pada acara resepsi. Kejaksaan Agung hanya memberi izin melihat persiapan pernikahan di rumahnya. Itu pun hanya dua jam dan dengan pengawalan ketat.
"Waktu itu kami boyong Bapak ke rumah Jalan Besuki untuk melihat saya ganti pakaian, kemudian balik lagi ke tahanan," kata Bambang, anak kedua Bung Tomo, saat bertandang ke kantor Tempo, pertengahan Oktober lalu.
Sulit bagi Sulistina menutupi kesedihannya. Apalagi ketika kawan dan kerabat memberi ucapan selamat sambil berbisik agar dia tetap tabah. "Rasanya air mataku hendak keluar. Aku memandang langit-langit agar air mataku tak jatuh," tulis Sulistina dalam buku Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu.
Dua bulan sudah Bung Tomo ditahan. Kritiknya yang pedas terhadap pemerintah Presiden Soeharto di berbagai acara kampus ataupun ketika memberikan ceramah di masjid serta melalui tulisan di sejumlah surat kabar menyeretnya ke Nirbaya. "Dulu Bapak sering diundang ceramah mahasiswa," tutur Bambang.
Penjara itu biasa disebut Inrehab Nirbaya (Instalasi Rehabilitasi Nirbaya). Letaknya di Pondok Gede, Jakarta Timur, tepatnya di samping Taman Mini Indonesia Indah atau sekitar 800 meter di sebelah Asrama Haji Pondok Gede. Di sana Bung Tomo bercampur dengan para tahanan G-30-S, seperti Wakil Perdana Menteri Soebandrio dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.
Sejak 11 April 1978, Bung Tomo menjadi salah satu penghuni Nirbaya. Sehari sebelum penahanan, petugas Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menggedor rumahnya di Jalan Besuki 27 saat menjelang tengah malam. Seluruh rumah, terutama kamar kerja Bung Tomo, digeledah. "Tapi tak ada yang disita," ujar Bambang, seperti dikutip Tempo edisi 22 April 1978.
Rupanya, malam itu mereka datang ingin membawa Bung Tomo. Karena Sutomo tak ada di rumah, sedang pergi bersama istrinya ke Pontianak, penahanan ditunda. Petugas itu meninggalkan pesan, meminta Bung Tomo menemui mereka di Jalan Sumbing.
Sesuai dengan pesan itu, Bung Tomo pergi ke alamat yang diberikan petugas. Tak lama di sana, ia kembali ke rumah. Pukul 21.00, Bung Tomo kembali diantar menantunya, Indra, dengan membawa koper berisi pakaian dan sikat gigi ke Jalan Sumbing. Sejak itu, dia resmi ditahan. Surat penahanan ditandatangani Jaksa Agung Ali Said, atas permintaan Kopkamtib, dengan tuduhan subversi.
Tak rela suaminya yang dulu pejuang '45 harus hidup bersama tahanan Partai Komunis Indonesia, Sulistina mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung Ali Said. Ia memohon agar suaminya dijadikan tahanan rumah. Sesepuh Legiun Veteran Republik Indonesia, Jenderal Daryatmo, juga dimintai bantuan agar mengabulkan permohonannya ke Jaksa Agung. Tapi upaya Sulistina gagal.
Kejaksaan Agung, melalui Jaksa Muda Bidang Operasi Sadili Sastrawijaya, membalas surat Sulistina. Mereka menyampaikan pesan bahwa lembaganya belum menerima laporan dari tim pemeriksa gabungan mengenai hasil pemeriksaan suaminya sehingga keluarga diminta bersabar. Daryatmo meminta istri Bung Tomo itu bersabar menunggu proses pemeriksaan.
Sebulan pertama, Bung Tomo, seperti dikutip dalam buku Romantisme Bung Tomo, harus menjalani pemeriksaan secara intensif tim gabungan dari Kopkamtib dan Kejaksaan Agung. Sepekan rata-rata ia diperiksa 2-4 kali, total 12 kali.
Sutomo juga menyuruh istrinya meminta bantuan Laksamana Muda TNI Mohammad Nazir agar permohonannya kepada Jaksa Agung menjadi status tahanan rumah dikabulkan. Bung Tomo bersedia tidak mengeluarkan pernyataan apa pun selama setahun atau lebih jika permohonannya dikabulkan. Sebab, dia merasa pemerintah sengaja menahannya agar bungkam.
Nasib serupa dialami Profesor Dr Ismail Suny, yang saat itu menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah, dan kolumnis terkenal yang ketika itu menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Mahbub Djunaidi. Mereka juga dijebloskan ke Nirbaya dengan tuduhan yang sama. Waktu penahanannya juga sama.
Mereka sering diperiksa bersama. Tapi terkadang pemeriksaan dilakukan sendiri-sendiri. Di antara mereka, Mahbub sering absen dari pemeriksaan karena kerap masuk rumah sakit akibat penyakit darah tingginya kambuh sehingga harus dirawat.
Tim pemeriksa itu, menurut Bung Tomo, seperti dalam buku berisi kumpulan surat Bung Tomo, mengajukan pokok tuduhan berbeda di tengah jalan. Mereka tak lagi mengajukan tuduhan subversi, tapi menghasut mahasiswa. Artikel yang dia tulis dan ucapan-ucapannya dalam ceramah menjadi materi yang ditanyakan.
Untuk mempercepat pemeriksaan, Bung Tomo berusaha menyiapkan jawaban dari pertanyaan yang mungkin diajukan. Artikelnya yang pernah dimuat di sejumlah media dia pelajari lagi. Bung Tomo meminta istrinya mengirimkannya dalam bentuk guntingan-guntingan berita dan ditaruh acak bersama makanan dan pakaian bersih yang tiap hari dikirim sang istri. Tujuannya, menyamarkan seolah-olah sobekan koran bekas.
Bung Tomo biasanya membaca potongan surat kabar itu di kamarnya. Selain membaca koran, di sana ia belajar agama.
Bung Tomo rajin berpuasa dan salat tengah malam. Bahkan, menurut Bambang, ayahnya juga sambil menyusun skripsi di tahanan demi mewujudkan cita-citanya mendapat gelar sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia. Namun, sayang, bahan-bahan skripsi disita petugas keamanan.
Untuk makan sehari-hari, Bung Tomo hanya makan kiriman dari istri. Biasanya diantarkan setiap pagi. Makanan itu akan dipanaskan lagi untuk makan malam. Bung Tomo membawa kompor dan panci ke dalam tahanan. Ketika bulan puasa, istrinya mengirim makanan pada sore hari.
Pada usianya yang memasuki 58 tahun, Sutomo sering harus periksa ke dokter. Sebulan pertama di dalam tahanan, mata kanannya mengalami radang dan influenza berat. Tapi dia tak sampai menderita penyakit serius seperti Mahbub.
Apabila pergi ke dokter, Bung Tomo diam-diam sering mencuri kesempatan pulang ke rumah. "Ketika ditahan, ada saja akalnya supaya dapat menengok rumah, periksa gigi, periksa mata, dan lain-lain, membujuk pengawal sehingga bisa mampir rumah walau tak lama," ujar istrinya dalam buku Bung Tomo Suamiku.
Hal yang paling membuat Bung Tomo sedih, kata Sulistina, adalah saat mengikuti upacara bendera di Nirbaya. Suaminya selalu menangis saat mengamati bendera yang naik perlahan-lahan karena teringat teman-teman yang gugur.
Kesedihan selama hidup di Nirbaya pun berakhir. Setelah melewati pemeriksaan berulang-ulang, Bung Tomo bersama Ismail Suny dan Mahbub Djunaidi dinyatakan bebas. Senin siang, 14 April 1979, Asisten Khusus Jaksa Agung Singgih yang menyerahkan surat pembebasan mereka.
Mendapat kabar suaminya dibebaskan, Sulistina buru-buru pergi ke Kejaksaan Agung. Di sana, dia tiba-tiba dibopong suaminya. "Aku digendong di depan wartawan. Aku menjerit-jerit," tutur nenek 90 tahun itu menceritakan momen tersebut.
Bung Tomo rupanya telah merencanakan itu sebelumnya. "Ini sudah nazar saya. Kalau saya bebas, saya akan membopong istri saya. Dialah yang begitu tabah setiap hari menengok dan mengirim makanan ke Nirbaya," ujarnya, seperti dikutip majalah Tempo edisi 18 April 1979.
Bung Tomo meninggalkan Nirbaya seusai salat magrib dijemput istri dan tiga anaknya. Ia mengenakan baju hangat dari wol abu-abu. Barang-barang yang menemaninya selama di tahanan dibawa pulang. Ada tujuh tas, tiga ember plastik, satu koper, satu ranjang lipat, dan kompor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo