Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR di Jalan Glintung Nomor 32, Malang, Jawa Timur, itu dulu rumah tinggal. Pada 1950-an, Sutomo pernah menyewa rumah itu untuk tempat kerja perusahaan percetakan miliknya, CV Balapan.
Tuti Musiwati, yang kala itu baru belasan tahun, ingat betul Balapan punya sebelas pegawai yang setiap hari berkutat dengan mesin cetak, tinta, dan alat potong kertas. Di sana juga bekerja empat pegawai administrasi. "Kalau banyak pesanan, mereka bekerja lembur," kata Tuti, sekarang 58 tahun, Kamis dua pekan lalu.
Bung Tomo sering tiba-tiba nongol di rumah tersebut kalau kebetulan bertugas di Malang. Biasanya dia lalu mengajak para pegawai ngobrol. "Pakde Tomo akrab dengan pegawai. Orangnya supel," ujar Tuti, anak ketiga dari Kapten Mulyadi, Direktur CV Balapan.
Mulyadi berkawan baik dengan Bung Tomo. Ketika peristiwa 10 November 1945 Surabaya meletus, dia bergabung dengan laskar rakyat bersama Bung Tomo. Tatkala mendirikan CV Balapan pada 1953, Bung Tomo menyerahkan tanggung jawab pengelolaan percetakan kepada Mulyadi.
Bambang Sulistomo, anak kedua Bung Tomo, mengatakan percetakan tersebut sengaja didirikan untuk membantu para legiun veteran di Malang. "Bapak kasih ke teman-temannya bekas pejuang," kata Bambang, awal Oktober lalu.
Istri Bung Tomo, Sulistina, 90 tahun, mengatakan perusahaan itu didirikan atas desakannya. Saban hari dia mengeluh karena mereka tak memiliki perusahaan sendiri, padahal Bung Tomo sering membantu teman-temannya berbisnis. "Aku bilang begini, 'Kapan kita punya perusahaan sendiri? Kalau enggak, aku kerja saja'," ujar Sulistina di kediamannya di Kota Wisata Cibubur, Kabupaten Bogor, Jumat dua pekan lalu.
Modal untuk usaha percetakan, menurut Sulistina, dipinjam suaminya dari Bank Dagang Negara. Sulistina lupa jumlahnya. "Perusahaan itu punya kami sendiri, tapi yang mengerjakan teman," katanya.
Menurut Tuti, ayahnyalah yang menemukan rumah di Jalan Glintung tadi. Sebelum berubah menjadi kantor dua lantai seperti sekarang, rumah tinggal itu dulu hanya satu lantai. Bergaya arsitektur Belanda, rumah tersebut berdiri di atas lahan seluas 1.600 meter persegi. Di dalamnya ada empat kamar tidur. Mulyadi dan keluarganya menempati tiga kamar. Kamar yang satunya untuk tempat istirahat para pekerja.
Mulyadi mengubah ruang tamu menjadi tempat bekerja pegawai administrasi. Sedangkan empat mesin cetak merek Heidelberg buatan Jerman dan satu mesin potong dipasang dalam sebuah aula seluas lapangan bulu tangkis di belakang rumah. "Di ruangan itulah tempat produksi," ujar Tuti.
Masa itu CV Balapan begitu tersohor di Malang karena belum ada pesaing. Percetakan ini memasuki masa keemasan pada 1960-1970. Seingat Tuti, Balapan menerima beragam pesanan, seperti pembuatan undangan, buku pelajaran, kartu nama, dan tiket bus. Perusahaan juga pernah menerima order untuk mencetak dokumen rahasia dari militer.
Usaha Balapan meredup seiring dengan munculnya pesaing pada 1980-an. Tuti mengatakan perusahaan-perusahaan baru memiliki banyak kelebihan. Mesin mereka bekerja lebih cepat, hasil cetakannya pun lebih terang.
Ketika Bung Tomo wafat pada 1981, Sulistina mengambil alih CV Balapan dari Mulyadi. Dia beralasan, selama perusahaan berdiri, keluarganya tak pernah menikmati keuntungan. Sulistina lalu menjual aset Balapan. "Karena perusahaan itu tidak menguntungkan. Hasilnya hanya bisa untuk bayar listrik," katanya.
Balapan bukan perusahaan pertama Bung Tomo. Jejak bisnisnya terentang jauh sebelum mendirikan usaha percetakan itu. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, pemuda kelahiran Surabaya pada 1920 ini pernah merintis aneka bidang usaha, di antaranya pabrik sabun di Surabaya.
Bambang bercerita, ide mendirikan pabrik sabun berawal dari ajakan teman-teman Bung Tomo. Mereka menggalang dana dari tukang becak sebagai modal awal dan Bung Tomo didaulat sebagai koordinator. Sebagai tokoh panutan kala itu, Bung Tomo dipercaya para tukang becak. Mula-mula mereka membentuk koperasi, yang diharapkan jadi dasar membangun pabrik sabun. "Tapi ide itu kandas karena pergolakan politik waktu itu," ujar Bambang.
Hijrah dari Surabaya ke Jakarta pada 1953, selain mendirikan percetakan di Malang, Bung Tomo mencoba berbisnis alat pemadam kebakaran dan bahan kimia pembersih air. Alat pemadam kebakaran ia impor dari Jepang dan Amerika. Setelah barang-barang tersebut tiba, kata Bambang, Bung Tomo kesulitan memasarkannya. "Akhirnya mangkrak begitu saja."
Putri bungsu Bung Tomo, Ratna Sulistami, sempat mendapat tugas menjual alat pemadam impor tersebut. "Saya berkeliling kawasan Menteng, tawarin satu-satu," ucap Ratna, Jumat dua pekan lalu. Tapi tak banyak yang laku. Nasib usaha zat kimia pembersih air sama saja.
Di luar berbagai bisnis tadi, menurut Bambang, ayahnya kerap diajak bekerja sama menggarap proyek pemerintah. Dia menduga Bung Tomo disertakan karena dekat dengan pemerintah. Kebanyakan pengusaha sebenarnya cuma ingin menjadikan mantan pejuang itu beking. "Mereka berharap, kalau Bung Tomo ada, bisa mendobrak dan masuk ke pemerintah, bisnis bisa sukses," kata Bambang. Dari kerja sama ini, Bung Tomo memperoleh fee.
Moechtar, 80 tahun, Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat—majalah berbahasa Jawa di Surabaya kala itu—bercerita, suatu ketika Bung Tomo mengajak dia mengunjungi kawasan tambang belerang di Gunung Welirang, Mojokerto, Jawa Timur. Mereka baru berkenalan setahun sebelumnya, pada 1950, ketika Moechtar mewawancarainya. Selain Moechtar, ada beberapa pengusaha menyertai Bung Tomo.
Waktu itu Bung Tomo hendak menjadi pemasok belerang buat perusahaan kosmetik, pabrik semen, dan industri baja di Surabaya. "Saya tak tahu persis. Mungkin juga diekspor," ujar Moechtar di Surabaya, Oktober lalu. Namun, setelah kunjungan, Moechtar tak mendengar lagi perkembangan rencana bisnis belerang tersebut.
Bisnis yang lebih besar pernah Bung Tomo geluti ketika keluar dari penjara Nirbaya, Jakarta Selatan, pada 1979. Waktu itu Kementerian Kehutanan memberinya izin hak pengusahaan hutan seluas 115 ribu hektare di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Bung Tomo lalu menggandeng perusahaan asal Korea Selatan dengan membentuk usaha bersama, PT Ahju Balapan Jaya. Bukannya untung, bisnis ini malah menyisakan utang bagi keluarga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo