Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Diplomasi Risoles yang Gagal

Stan buku Indonesia di Frankfurt kurang diminati pengunjung. Harus ada perhatian khusus dari pemerintah, apalagi pada 2015 Indonesia disebut akan menjadi tamu kehormatan.

22 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Stan Indonesia di Frankfurt Book Fair 2012 terletak di Hall 5.0 nomor D 934. Stan itu sebenarnya cukup luas, sama dengan lahan pameran di stan Turki atau Singapura, sekitar 132 meter persegi. Tapi stan yang disuguhkan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) itu tampak sepi. Pengunjung yang datang cuma satu-dua, lihat-lihat sebentar, berbincang-bincang, lalu pergi. Meski pengunjung yang mampir juga disuguhi penganan kecil khas Indonesia, seperti risoles dan permen jahe, sebagai daya tarik, itu tak membuat animo meningkat.

”Ikapi tidak punya uang untuk mengorganisasi pameran di arena sebesar ini,” kata Nova Rasdiana, Ketua Kompartemen Hubungan Kerja Sama Antarlembaga Ikapi, sambil menunjuk 400-an buku dari berbagai penerbit, termasuk tiga penerbit besar Indonesia: Gramedia, Mizan, dan Erlangga.

Padahal Frankfurt Book Fair, tutur Nova, adalah arena paling pas untuk memperkenalkan produk perbukuan Indonesia ke dunia internasional. Ikapi, menurut Nova, telah membuat surat permohonan dukungan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi ternyata tidak gampang memperoleh dana dari sana. Apalagi kalau jumlahnya sampai lebih dari Rp 800 juta. ”Itu baru soal dana, belum birokrasinya. Dana baru keluar setelah melewati berbagai macam keputusan yang lama dan panjang,” katanya.

Meski hampir setiap tahun Indonesia berpartisipasi di Frankfurt dan sudah empat kali Nova Rasdiana menjadi project officer rombongan Indonesia, ia mengaku belum ada hasil signifikan. Tidak ada tindak lanjut nyata dari hasil kunjungan pebisnis buku yang mampir ke stan Indonesia. Mereka memberikan kartu nama, mengatakan tertarik pada satu judul buku, tapi tidak ada komitmen, transaksi, atau kesepakatan jual-beli seperti pembelian hak cipta.

Selain Ikapi, tahun ini dari Indonesia yang berpartisipasi dalam Frankfurt Book Fair adalah Yayasan Lontar, organisasi nonprofit penerbit buku literatur pilihan Indonesia dalam bahasa Inggris, dan BAB Publishing, penerbit yang didirikan mantan Menteri Pariwisata Joop Ave 30 tahun yang lalu. Yayasan Lontar mendapat undangan gratis dari panitia Frankfurt Book Fair. Pameran ini menyediakan lahan berukuran sekitar 2 x 2 meter plus tiket pesawat dan akomodasi.

”Kami beruntung ada di sini,” kata Direktur Eksekutif Lontar, Kestity Pringgoharjono. ”Kalau tidak, Lontar tidak akan pernah bisa menghadiri momen penting semacam ini karena ketiadaan dana,” ujarnya. Stan Yayasan Lontar berada di Hall 5.0 paling belakang, dengan nomor stan E 973 a. Letaknya paling pojok, sehingga tidak banyak disinggahi pengunjung, kecuali mereka yang sengaja mencari tahu perihal Indonesia.

1 1 1

Stan BAB Publishing berlokasi di Hall 4.1 G 542 internasional. Terbitan BAB meliputi buku art work semacam arsitektur, budaya, dan tekstil. Dibanding penerbit Indonesia lain, BAB sudah punya beberapa distributor untuk kawasan Asia- Pasifik, Jepang, Amerika, dan Eropa. ”Inilah salah satu cara Pak Joop dulu ’menjual’ Indonesia,” kata Rafli Lindarjadi, Associate Publisher BAB. ”Di pameran ini kami berupaya menjaring distributor baru, selain untuk melihat perkembangan buku art di dunia, misalnya permintaannya, trennya. Itu tujuan kami hadir di sini,” Rafli menambahkan.

BAB, yang sudah lima kali mengikuti program Frankfurt Book Fair, tahun ini memamerkan 40 buku. Umumnya hard cover, berukuran 25 x 30 sentimeter, dan harganya US$ 30-50 per buku. Sebagian besar buku yang dipajang sudah tak ada di rak, meski pameran belum berakhir. Ada yang diminta untuk diresensi wartawan asing, ada yang diminta sebagai koleksi. Penampilan wajah buku art Indonesia berbahasa Inggris ini memang luks, sehingga kelihatan atraktif. Tak mengherankan jika BAB sedikit demi sedikit meraup sukses dari situ.

Buku Grand Batik Interiors, misalnya, dengan sampul gambar desain interior khas Indonesia, kelihatan sangat cantik, sehingga sebuah penerbit Cina berminat membeli hak ciptanya untuk diterjemahkan ke bahasa Cina tahun depan. ”Hanya, soal menjual hak cipta ini mesti hati-hati, karena kami belum bisa mempercayai mereka. Dikatakan mau mencetak 3.000, tapi yang keluar 5.000, kan jadi repot urusannya? Jadi, kami katakan, kami baru bisa menjual dengan jumlah tertentu,” ujar Rafli.

Sebetulnya, menurut Rafli, buku terbitan BAB juga diminati distributor Jerman, asalkan penulisnya orang Jerman. Kedengarannya memang agak berlebihan, karena penulis BAB selalu terdiri atas penulis Indonesia dan asing, yang dengan sendirinya bahasa Inggrisnya terjaga. ”Tapi begitulah maunya Jerman. Jadi kami masih mencari penulis Jerman untuk buku-buku art work yang akan datang,” kata Rafli. Menurut dia, kini Museum Dresden mengajak kerja sama penerbitannya membuat buku keris koleksi museum.

Pada 2015 dikabarkan Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair. Nova melihat, pemerintah Indonesia harus melakukan persiapan besar untuk mengemas stan Indonesia itu. ”Kalau kondisi Indonesia masih sekadar ikut-ikutan begini, apa jadinya pada 2015?”

Tutty Baumeister (Frankfurt)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus