Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya manusia. Saya bukan binatang," kata perempuan itu dalam bahasa Inggris yang patah-patah dan hanya terdengar suaranya menggema dari pengeras suara. Di dinding terpampang potret besar dinding penjara Melbourne dengan kawat berduri di pucuknya. Suara musik yang muram menyeruak dari permainan keyboard yang dibawakan Thomas Fitzgerald, berpadu dengan petikan koto oleh Satsuki Odamura. Di sudut kiri depan panggung, seorang penari tampak diam terbaring sambil memeluk kakinya.
Rekaman suara Chika Honda, perempuan Jepang yang dipenjarakan karena disangka menyelundupkan heroin ke Australia, yang digabung dengan tarian Yumi Umiumare serta permainan musik dan tayangan visual di dinding itu, menjadi suguhan pertunjukan Chika: A Documentary Theater di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Selasa dan Rabu malam pekan lalu. Pertunjukan multimedia itu dibawakan Mayu Kanamori, fotografer dan seniman kelahiran Jepang yang menetap di Australia, yang bertindak sebagai narator dan pengantar pertunjukan.
Kasus Chika hingga sekarang masih kontroversial. Gadis Jepang ini bekerja di Pub Omiya sambil belajar menjadi penata rias. Dia diajak Mitsuo Katsuno, pelanggan pub yang dia sukai, untuk berlibur ke Australia. Pada 1992, Chika bergabung dengan turis lain, yakni Yoshio Katsuno, Masahara Katsuno, Mitsuo Katsuno, dan Kiichiro Asami, menuju Australia. Ini perjalanan ke luar negeri pertama Chika, dan dia ingin sekali melihat kanguru dan koala.
Tapi tanda-tanda nasib buruk mulai muncul. Pada saat transit di Kuala Lumpur, Malaysia, mobil mereka dicuri, bersama koper-koper di dalamnya. Menurut Yoshio, koper mereka kemudian ditemukan, tapi sudah rusak, sehingga dia menukarnya dengan koper baru. Rencana liburan itu berubah jadi bencana ketika mereka mendarat di bandar udara Melbourne. Polisi menemukan 13 kilogram heroin tersembunyi di koper-koper itu. Mereka lantas dituduh sebagai anggota Yakuza, kelompok mafia Jepang. Kasus mereka pun menyeruak.
Chika kebingungan. Gadis 36 tahun ini tak bisa berbahasa Inggris ketika diinterogasi, dan penerjemahnya pun tak banyak membantu. Dalam potongan rekaman CCTV pada pertunjukan itu, tergambar bagaimana Chika bersama seorang penerjemah di sampingnya menghadapi dua interogator pada 20 Juni 1992 pukul 19.55. Percakapan mereka terdengar sayup-sayup. Hanya tampak Chika yang terkesan putus asa dan menangis sambil menutup mukanya. "Penerjemah saya bukan penerjemah yang bagus, karena dia bilang tidak tahu bahasa Jepang. Saya bicara dengan bahasa Jepang yang sederhana saja dia tidak tahu," kata Chika saat diwawancarai Mayu.
Chika berusaha menceritakan soal hilangnya koper mereka, tapi pengadilan mengabaikannya. Pengadilan juga tak mempertimbangkan kemungkinan hanya sebagian dari rombongan itu yang benar-benar penyelundup. Pengadilan malah mengadili mereka sebagai satu kelompok. Yoshio, yang didakwa sebagai pemimpin penyelundup, divonis 20 tahun penjara. Chika dan yang lain dihukum hingga 15 tahun penjara, dengan hukuman minimal 10 tahun 6 bulan. Chika pun mendekam di penjara selama itu. "Aku sering memandang langit lama-lama. Membayangkan negeri yang jauh di Jepang. Itu langit yang sama," kata Chika mengenang kebiasaannya di penjara.
Mayu mengetahui kisah Chika dari surat kabar. Mulanya dia percaya bahwa Chika memang penyelundup narkotik. Keyakinan itu perlahan memudar ketika dia membaca sebuah laporan investigatif yang ditulis wartawan Jepang, Jun Hamana, pada awal 2000. Jun menyebutkan bahwa Chika dan tertuduh lain tetap konsisten mengaku tidak bersalah dan kemungkinan terjadi kekeliruan dalam proses pengadilan. Dia pun tertarik mengetahui lebih jauh kasus yang menimpa perempuan itu.
Awalnya ia mencoba menyampaikan masalah itu kepada jurnalis setempat. Sayang, tak ada satu pun media yang tertarik. Lewat bantuan Hideko Nakamura, seorang aktivis hak asasi manusia yang aktif memberi dukungan untuk Chika, Mayu akhirnya bisa berjumpa dengan Chika. Sejak itu, sebulan sekali selama delapan bulan, Mayu bertemu dengan Chika di penjara.
Chika bersedia diwawancarai, tapi menolak dipotret, karena tidak ingin ibunya di Jepang melihat foto-foto itu. Walhasil, bahan dasar dokumenter Mayu adalah rekaman suara Chika. Untuk melengkapi bahannya, Mayu mengumpulkan berbagai foto Chika, rekaman video dan wawancara dengan sejumlah orang yang terlibat dalam kasus tersebut. Mayu mengakui kedekatannya dengan Chika lama-lama membuat dia melanggar batas api etika dokumentator: dia menjadi sahabat Chika. "Setelah berjumpa dan berbincang-bincang dengannya, saya yakin dia memang tidak bersalah," kata Mayu.
Mayu kemudian memilih bentuk pertunjukan teater dokumenter yang menggabungkan unsur musik, tari, dan video. Bentuk ini pertama kali dia pakai saat membuat The Heart of the Journey. Pertunjukan yang memakai 350 foto lebih itu mengisahkan perjalanan Lucy Dann, gadis kelahiran Broome, Australia Barat, yang dibesarkan di kalangan suku Aborigin. Pada usia 20-an tahun, ia baru tahu bahwa ayah biologisnya adalah seorang Jepang yang pernah bekerja di kawasan itu. Bersama Mayu, Lucy Dann kemudian berangkat ke Jepang menemui ayahnya.
Mayu memutuskan memakai bentuk multimedia karena bentuk dokumenter biasa dianggapnya kurang memadai. Orang, kata dia, dapat menonton dokumenter di televisi sambil bermain-main dengan telepon seluler atau memasak, tapi sebuah pertunjukan menggiring perhatian penonton untuk berpusat pada apa yang disajikan. "Saya memilih bentuk pertunjukan semacam ini karena lebih menyentuh kedalaman batin penonton, sehingga diharapkan penonton lebih memahami pokok masalahnya," kata Mayu.
Sayangnya, aspek drama dari pertunjukan ini kurang tergarap dengan baik. Tuturan kisah Chika cenderung datar. Kehadiran penari, yang sebenarnya ditujukan untuk mendukung penggambaran sisi emosional Chika, tak banyak membantu. Yang patut dipuji adalah komposisi musik karya Thomas Fitzgerald dan permainan para pemusiknya.
Pertunjukan ini berawal dari bengkel kerja teater Mayu dan kawan-kawan di Melbourne pada 2003. Hasilnya pertama kali ditampilkan pada 2005 di kota itu dan turut membangkitkan perdebatan mengenai sistem hukum dan pengadilan Australia. "Kita mengeluh tentang orang Australia yang mendapat masalah karena pengadilan di negara lain, seperti Indonesia. Tapi kita cenderung lupa bahwa hal yang sama persis terjadi pada orang asing di Australia, dan kasus Chika Honda adalah contoh yang sangat jelas," kata Paul Wilson, kriminolog di Universitas Bond, kepada harian The Sunday Age pada 2008. Australia pernah ribut karena warganya, Schapelle Leigh Corby, ditangkap dan dipenjarakan karena dituduh menyelundupkan ganja di Bali.
"Ini bentuk teater baru, yang sengaja saya tampilkan karena sebenarnya Indonesia punya banyak cerita seperti Chika yang bisa diangkat dalam bentuk teater dokumenter, seperti kasus Udin, Marsinah, dan Munir," kata Sitok Srengenge, kurator Salihara.
Bentuk teater dokumenter bukanlah barang baru sebenarnya, karena sudah muncul sejak teater tumbuh. Tapi bentuk modernnya baru berkembang pada 1920-an lewat karya pionir dua sutradara terkenal Jerman, Bertolt Brecht dan Erwin Piscator. Sekarang bentuk ini semakin kaya dengan penggunaan video dan unsur digital lain.
Chika dibebaskan pada 2002 dan langsung dideportasi ke kampung halamannya. Mayu membantunya membawa serta kucing piaraannya selama di penjara, Ai, nama yang dipungut dari nama ibunya yang berarti "cinta" dalam bahasa Jepang. Chika tak pernah menyaksikan langsung pertunjukan yang mengangkat kisahnya ini di Australia, karena pemerintah Negeri Kanguru selalu menolak permohonan visanya.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo