Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Diskriminasi Tionghoa, Jangan Berulang Kesalahan yang Sama

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Frans h. Winarta *) Advokat dan anggota Komisi Hukum Nasional

DISKRIMINASI terhadap etnis Tionghoa di Indonesia merupakan warisan sejarah masa lampau ketika Belanda menerapkan politik divide et impera. Politik memecah belah Belanda itu dilakukan dengan cara membagi penduduk Nusantara dalam tiga golongan: Eropa, Timur asing seperti Tionghoa, India, dan Arab, dan pribumi. Pembagian itu diatur dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling.

Di antara ketiga golongan itu, pribumilah yang paling jauh ketinggalan, baik secara ekonomi maupun sosial. Perbedaan tersebut dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengadu-domba dengan menggambarkan seolah-olah pribumi itu inferior, tidak jujur, bodoh, dan selalu memusuhi etnis Tionghoa. Sebaliknya, etnis Tionghoa digambarkan sebagai suatu komunitas yang licik, eksklusif, kikir, dan serigala ekonomi. Politik ini membuat secara di bawah sadar timbul kebencian yang mendalam dari golongan pribumi terhadap etnis Tionghoa.

Kebencian tersebut sedikit demi sedikit dapat diredam dengan adanya peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang merupakan bentuk perwujudan pengalaman bersama dan pernyataan politik senasib dan sepenanggungan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini merupakan cikal-bakal konsep nation state (kebangsaan) yang dirumuskan Ernest Renan bahwa sekumpulan manusia, karena mengalami peristiwa yang sama, memutuskan untuk hidup dalam satu kesatuan kenegaraan untuk masa-masa yang akan datang.

Namun, rezim Orde Baru kembali menumbuhkan diskriminasi itu. Orde Baru menggunakan hukum sebagai alatnya. Padahal, sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat), semua tindakan bangsa Indonesia seharusnya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Secara sistematis dan konsisten, Orde Baru telah membatasi, menekan, dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia. Etnis ini menjadi a-politis sehingga tidak ada lagi representasi efektif etnis Tionghoa di pemerintahan maupun di badan legislatif. Politik divide et impera kembali dipraktekkan dengan menciptakan pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kotak-kotak itu, misalnya, perbedaan antara Jawa dan non-Jawa, muslim dan non-muslim, militer dan sipil, mayoritas dan minoritas, pribumi dan non-pribumi.

Pada masa Orde Baru juga berkembang situasi ketika peluang bisnis diberikan sebesar-besarnya kepada sekelompok kecil—sekitar 200 sampai 300 orang—etnis Tionghoa sehingga tercipta golongan konglomerat dari etnis Tionghoa. Dampaknya, etnis Tionghoa dianggap sebagai golongan oportunis, hanya memperkaya dirinya sendiri, tidak peduli nasib masyarakat di sekitarnya. Selanjutnya, timbul anggapan stereotipe sebagaimana dideskripsikan kaum kolonial bahwa etnis Tionghoa telah menyebabkan kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Stereotipe yang diciptakan seperti inilah yang membahayakan dan bertentangan dengan konsep nation.

Di sisi lain, tindakan-tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, yang jelas menekan kehidupan sosial-budaya Tionghoa, dilegitimasi oleh Orde Baru. Tindakan itu, misalnya, pelarangan pemakaian huruf Tionghoa, bahasa Tionghoa, pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah Tionghoa, penggantian nama Tionghoa, pembatasan perayaan Imlek dan arak-arakannya (Cap Go Meh), upacara di kelenteng, dan formalisasi penggunaan istilah Cina. Bahkan perkawinan antara pemeluk Konghucu tidak diakui sah oleh negara. Hal ini menimbulkan kesan segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya dan etnis Tionghoa adalah buruk dan harus dihindari. Padahal, jauh sebelum Belanda mendarat di Nusantara, akulturasi budaya dan pembauran sudah terjadi, yang dapat dilihat antara lain pada budaya Betawi, Cirebon, dan Bali, yang dipengaruhi unsur budaya Tionghoa.

Tindakan-tindakan Orde Baru tersebut jelas sengaja dilakukan untuk membatasi hak-hak asasi etnis Tionghoa, khususnya hak budaya (cultural right), serta mendiskriminasi etnis Tionghoa sebagai warga negaranya sendiri. Tindakan tersebut dapat diartikan pula sebagai cultural genocide terhadap orang dan kebudayaan etnis Tionghoa. Selain itu, dapat pula dikatakan, di satu pihak negara menginginkan pembauran dan integrasi bangsa Indonesia, namun di lain pihak perlakuan diskriminasi masih berlangsung secara formal dan informal, suatu hal yang justru merupakan contradictio in terminis dari konsep Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity).

Pada zaman reformasi ini, perlakuan buruk terhadap etnis Tionghoa telah dicoba dihilangkan setelah pemerintah mencabut kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Contohnya, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56/1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), Keppres Nomor 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat-Istiadat Cina, Inpres Nomor 26/1998 tentang Penghapusan Penggunaan Istilah Pri dan Non-Pri. Masih ada lagi: Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 471.2/1265/SJ Tanggal 18 Juni 2002 Perihal SBKRI, Surat Edaran Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor P.U.M. 01.10.0626 Tanggal 14 April 2004 tentang SBKRI bagi Permohonan Paspor RI, Surat Edaran Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Nomor 6 Tanggal 11 Juni 2004 tentang SBKRI dalam Dokumen Perbankan. Pemerintah juga mengeluarkan Keppres Nomor 19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional. Namun, kenyataan di lapangan masih menunjukkan perlakuan-perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Masih ada permintaan untuk mengurus SBKRI dalam pembuatan paspor dan KTP, walaupun sudah ada Surat Edaran Dirjen Imigrasi 14 April 2004 yang melarangnya. Perlakuan yang tidak semestinya juga masih dialami dalam pencatatan perkawinan Konghucu.

Kenyataan tersebut masih terjadi karena pemerintah sendiri kurang mensosialisasi secara komprehensif kebijakan yang mencabut kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Selain itu, masih kuat pandangan masyarakat bahwa etnis Tionghoa umumnya enggan hidup membaur dengan kelompok masyarakat lainnya. Etnis Tionghoa juga dianggap kurang peduli pada permasalahan bangsa dan negara Indonesia. Selain sosialisasi kebijakan-kebijakan baru yang mencabut kebijakan-kebijakan diskriminatif, pemerintah perlu lebih memperjelas pemahaman tentang kebangsaan (nation state) agar kita tidak lagi terjebak dalam praktek rasialisme (apartheid/segregation) yang merendahkan martabat manusia. Selain itu, diharapkan pula agar pemerintah memberikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya kepada siapa pun, termasuk etnis Tionghoa, dalam jabatan-jabatan struktural di pemerintahan seperti polisi, militer, pegawai negeri, hakim, jaksa, untuk mempercepat proses pembauran.

Dengan demikian, hal-hal yang bertentangan dengan hak asasi manusia tidak dijadikan pedoman untuk mewujudkan pembauran. Pembauran tidak dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan peraturan-peraturan diskriminatif seperti yang dilakukan rezim Orde Baru yang menyeragamkan suatu kelompok masyarakat. Hal ini bertentangan dengan konsep nation dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh negara terhadap individu, khususnya hak budaya (cultural rights). Karena itu, diskriminasi oleh negara terhadap warga negaranya sendiri harus diakhiri. Setiap warga negara adalah sama di hadapan hukum (equality before the law) dan hak warga negara tersebut tidak boleh dilanggar, dirampas, dan dikurangi oleh siapa pun termasuk oleh negara. Negara seharusnya menjamin dan melindungi hak asasi setiap warga negaranya, termasuk hak sipil dan hak politik setiap warga negara sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Untuk itu, menjelang peringatan kemerdekaan, perlu kita renungkan dan perbaiki kesalahan kebijakan kependudukan di masa lampau, agar tidak terulang kesalahan yang sama.

Jakarta, 10 Agustus 2004

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus