Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jangan Sekat Mereka

Mereka aktif dalam proses politik. Tapi mereka tak mau dikurung dalam satu wadah kecinaan.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah buah reformasi bagi kalangan Tionghoa: kedai-kedai bisa ditempeli tulisan berhuruf kanji, media massa berbahasa Mandarin bebas diterbitkan, dan kesenian tradisional Tionghoa bebas manggung di mana-mana. Sebutlah misalnya barongsai. Sementara selama Orde Baru tarian ini haram dipentaskan, kini ia laris manis. Ia muncul di hari raya Imlek, perayaan 17 Agustus, hingga di gedung menjulang seperti saat pembukaan pameran mobil, juga pembukaan plaza.

Setelah dikungkung selama 32 tahun, warga Tionghoa menyambut gembira perkembangan ini. Kegembiraan juga tampak jelas dari jawaban 500 responden dalam jajak pendapat ini. Walau masih ada yang menganggap kebebasan itu masih terbatas, 67 persen responden merasa puas melihat apa yang sekarang terjadi. Dan angin perubahan itu tak cuma dinikmati oleh mereka yang gemar bermain barongsai. Kaum politik dari kalangan ini juga bersuka-ria.

Sementara selama masa Orde Baru orang Tionghoa hampir-hampir sepi di daftar legislatif, kali ini mereka bertaburan di sejumlah partai. Yang dulu cuma sibuk di kedai dagang pun kini ramai-ramai peduli politik. Mayoritas responden—sebagian besar adalah pedagang—mengaku tak pernah absen dari bilik suara selama pemilu legislatif 5 April dan pemilu presiden tahap pertama, 5 Juli lalu.

Fakta ini sekaligus mempertegas bahwa tak semua orang Cina apolitis. Mereka ingin ikut ambil bagian dalam sebuah proses politik. Mereka bahkan cukup kritis melihat apakah partai politik yang ada sudah mewakili kepentingan mereka. Sebaliknya, meski sebagian besar menganggap partai-partai yang ada belum mewakili atau masih sangat sedikit mewakili kepentingannya, mereka merasa tak perlu membentuk partai politik khusus untuk orang-orang Cina.

Bagaimana menjelaskan soal ini? Inilah yang, menurut Christianto Wibisono, menunjukkan bahwa orang Cina adalah majemuk. Mereka bukan satu entitas yang bisa disekat dalam satu kotak.

Tapi kabar buruk toh tetap ada. Angin reformasi yang bertiup kencang selama lima tahun ternyata tak mampu mengikis habis perlakuan diskriminatif, terutama perlakuan tak adil di meja-meja para birokrat. Mayoritas responden mengaku sering ditagih lebih banyak uang—ketimbang kalangan lainnya—ketika mengurus administrasi kependudukan. Dan diskriminasi juga bisa datang lewat selembar kertas. Sejumlah orang dari kalangan ini mengaku masih ditagih untuk menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) saat mengurus kartu tanda penduduk, paspor, dan urusan administrasi lainnya. Padahal, 14 April 2004 lalu Dirjen Imigrasi sudah menghapus persyaratan itu. Kesulitan seperti ini bahkan menimpa orang seperti Susi Susanti dan Alan Budikusuma—mantan atlet bulu tangkis—yang berkali-kali mengharumkan nama Merah Putih di kancah internasional.

Hampir sebagian besar responden hakulyakin bahwa perlakuan tak adil itu disebabkan oleh kecemburuan ekonomi dan kurangnya interaksi antara kalangan Tionghoa dan kaum pribumi. Dan jalan keluarnya mungkin bisa diawali dari dua persoalan ini.


Menurut Anda, bagaimana situasi politik dan keamanan setelah lima tahun reformasi?
Lebih buruk21%
Sama saja57%
Lebih baik23%
Apakah Anda ikut mencoblos dalam pemilu? (satu jawaban)
Ya (pada salah satu pemilu, legislatif atau presiden)21%
Ya (di kedua pemilu, legislatif dan presiden)69%
Tidak10%
 
Apakah parpol yang ada telah mewakili kepentingan Anda? (satu jawaban)
Ya, sudah mewakili kepentingan saya36%
Tidak mewakili kepentingan saya35%
Sangat sedikit kepentingan saya yang dapat terwakili30%
 
Menurut Anda, apakah perlu dibentuk partai khusus untuk kelompok Tionghoa? (satu jawaban)
Ya35%
Tidak65%
 
Menurut Anda, apakah kerusuhan seperti kerusuhan Mei 1998 masih mungkin terjadi? (satu jawaban)
Ya30%
Tidak35%
Tidak tahu35%
 
Apa pilihan Anda jika kerusuhan terjadi kembali? (open ended)
Pindah ke luar negeri8%
Mengungsi sementara ke luar negeri11
Pindah ke daerah lain di wilayah RI11%
Mengungsi ke daerah lain di wilayah RI19%
Bertahan di tempat tinggal saat ini59%
 
Sebagai warga Tionghoa, dalam hal apa Anda merasa dibedakan dengan warga pribumi?
Dimintai uang lebih banyak saat mengurus surat-surat72%
Dimintai uang oleh preman12%
Diperas oleh oknum aparat10%
Selalu didahulukan saat berurusan dengan aparat pemerintah9%
Lebih mudah mencari pekerjaan pada sektor tertentu20%
Lingkungan pergaulan1%
Mengurus surat-surat dipersulit/diperlambat2%
Biaya pendidikan lebih mahal1%
Tidak tahu9%
 
Apakah masih ada pembatasan bagi warga Tionghoa dalam hal-hal berikut ini? (satu jawaban)
Menjadi pegawai negeri
Ya61%
Tidak21%
Tidak tahu18%
Menjadi mahasiswa universitas negeri
Ya18%
Tidak70%
Tidak tahu12%
Menjadi polisi/tentara
Ya59%
Tidak18%
Tidak tahu23%
Menjadi menteri
Ya41%
Tidak41%
Tidak tahu18%
 
Menurut Anda, apa penyebab masih adanya diskriminasi bagi warga Tionghoa? (open ended)
Kecemburuan sosial-ekonomi73%
Kurangnya interaksi antara Cina dan pribumi46%
Banyaknya konglomerat Cina yang melakukan kejahatan tapi tidak dihukum dengan setimpal10%
Tayangan dan berita di media massa kurang mendukung pembauran16%
Tidak tahu1%
 
Seberapa besar interaksi Anda dengan sesama warga Tionghoa? (jawaban boleh lebih dari satu)
Teman dekat saya banyak yang beretnis Tionghoa78%
Saya tinggal di RT yang warganya Tionghoa41%
Saya menggunakan bahasa Tionghoa di rumah42%
Saya bekerja di tempat yang berhubungan dengan etnis Tionghoa41%
Menyatu dengan warga pribumi1%
 
Setelah reformasi, tulisan Cina boleh digunakan secara terbuka, pertunjukan seni tradisional Cina (barongsai, dll.) juga makin marak di berbagai tempat. Bagaimanakah perkembangan ini menurut Anda? (satu jawaban)
Masih kurang, perlu diberi kebebasan yang lebih banyak29%
Sudah cukup67%
Terlalu bebas/banyak3%
Harus lebih dibatasi2%
 

Metodologi Jajak Pendapat:

Jajak pendapat ini dilakukan Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Data dikumpulkan di lima kota besar di Indonesia, Jakarta, Medan, Makassar, Surabaya, dan Solo, dengan jumlah total responden 500 orang. Pemilihan responden rumah tangga menggunakan metode Kish Grid. Wawancara dilakukan dengan tatap muka di rumah responden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus