Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Trauma-Trauma yang Tersisa: Apa yang Bisa Kita Perbuat?

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THUNG JU LAN Peneliti LIPI

Menurut para ahli psikologi, pengalaman yang sangat buruk di masa lalu bisa menjadi trauma berkepanjangan. Selain perang kemerdekaan, seperti kita ketahui, ada peristiwa hitam berdarah dalam sejarah kita yang dikenal sebagai peristiwa G30S-PKI, yang juga telah mengakibatkan kematian, kesengsaraan, dan kesedihan bagi bangsa kita. Peristiwa 1965 ini telah memecah bangsa menjadi mereka yang dianggap atau mengakui dirinya sebagai seorang "komunis" dan yang menganggap dirinya "bukan komunis". Pemecahan ini bahkan masih berlanjut sampai hari ini. Keberadaan mereka yang disebut "eks tapol" merupakan bukti yang tak bisa disangkal.

Kecenderungan politik saat itu dan pilihan yang diambil oleh sebagian elite Tionghoa, khususnya mereka yang menjadi pemimpin Baperki, yaitu organisasi massa warga Tionghoa terbesar ketika itu, telah secara langsung ataupun tidak langsung menempatkan komunitas ini secara politis ke dalam kelompok yang dianggap "komunis". Kemenangan kelompok yang menganggap dirinya "bukan komunis", yang berhasil menghancurkan rezim Sukarno dan mendirikan rezim Orde Baru Soeharto, diikuti dengan cercaan dan tekanan yang kuat kepada kelompok yang dianggap komunis, termasuk kelompok Tionghoa, selama bertahun-tahun setelah itu. Seluruh warga Tionghoa menjadi terstigmatisasi dengan "kekomunisan" yang sesungguhnya bukan merupakan suatu hal yang merata di kalangan mereka. Tidak semua orang Tionghoa anggota Baperki dan tidak semua anggota Baperki komunis.

Cerita tentang pengalaman pahit yang dialami warga Tionghoa selama beberapa tahun setelah perubahan politik tahun 1965 tersebut mengendap di dasar ingatan warga Tionghoa dan menjadi bagian yang tak pernah hilang, khususnya bagi mereka yang paling menderita, ditangkap, diinterogasi, dan diteror hanya karena mereka menjadi anggota Baperki, padahal mereka tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Pada masa itu, banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya, baik yang harus melarikan diri ke luar negeri maupun yang meninggal atau terkena gangguan jiwa karena tidak tahan tekanan.

Belum lagi cerita anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena sekolah-sekolah berbahasa Cina ditutup, padahal mereka tidak memahami politik sama sekali. Mereka kehilangan kesempatan untuk mengejar ilmu, atau kalaupun pada akhirnya mereka bisa mengejar, setidaknya mereka kehilangan beberapa tahun dari umurnya di sekolah. Saya pernah mewawancarai beberapa di antara mereka yang akhirnya terpaksa terjun ke dunia dagang karena tidak bisa melanjutkan sekolah meskipun setelah itu ada kesempatan dan kemampuan. Hal ini terjadi karena kerusuhan 1965 telah menghilangkan catatan sekolah mereka.

Dampak dari trauma 1965 ini bahkan bisa dirasakan sampai beberapa generasi setelah itu karena ternyata trauma itu diturunkan. Generasi muda warga Tionghoa kemudian tidak hanya jadi menghindari dunia politik, tapi juga—apabila bisa—menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan birokrasi pemerintah, meskipun itu untuk kepentingan mereka sendiri, seperti pengurusan kartu tanda penduduk dan paspor. Karena itulah tidak mengherankan apabila tumbuh subur usaha jasa perantara. Mereka mengambil untung dari kondisi orang Tionghoa yang sakit akibat trauma 1965. Suatu hal yang juga harus dicatat sebagai dampak dari trauma ini adalah kenyataan bahwa sedikit sekali atau bahkan hampir tidak ada warga Tionghoa yang selama masa Orde Baru, bahkan sampai sekarang, mau berkecimpung di dunia politik, baik secara akademis maupun secara praktis.

Trauma panjang ini belum pernah diselesaikan, bahkan terpelihara dengan kerusuhan-kerusuhan kecil, seperti yang terjadi pada 1974 (Malari) dan 1980 (akibat devaluasi rupiah). Trauma itu menjadi semakin dalam ketika trauma besar berikutnya menimpa. Peristiwa Mei 1998 yang menggemparkan kembali memicu ketakutan yang selama ini secara perlahan-perlahan sudah terkendali walau belum hilang sama sekali. Warga Tionghoa kembali merasa "terusir". Banyak di antara mereka yang waktu itu meninggalkan negeri ini, walau akhirnya sebagian dari mereka kembali lagi. Ini terutama terjadi di kalangan mereka yang pernah bersekolah di luar negeri dan mereka yang punya kapital untuk memulai hidup baru di tempat lain.

Berbeda halnya mereka yang tak mampu. Mau tak mau mereka harus tetap tinggal di sini walaupun selalu merasa khawatir. Mereka hanya bisa mencoba melupakan peristiwa tersebut atau berpura-pura tidak ada masalah dengan menenggelamkan diri dalam kegiatan rutin sehari-hari, sebagaimana yang telah mereka lakukan pula selama berpuluh tahun terhadap peristiwa 1965.

Trauma ini adalah sesuatu yang nyata dan sudah membawa implikasi yang negatif terhadap warga Tionghoa serta terhadap hubungan mereka dengan warga Indonesia lainnya. Jadi, apa yang harus dan bisa kita lakukan? Jawabannya tidak mudah karena persoalannya telah terakumulasi selama berpuluh tahun, sebagaimana yang terjadi dengan masyarakat Aceh, Dayak, Maluku, Papua, dan sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengakui adanya permasalahan itu sendiri dan secara obyektif berusaha memahami permasalahan yang ada, kemudian bersepakat untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Secara lebih spesifik barangkali perlu dilakukan proses rekonsiliasi sebagaimana yang dimulai oleh para "eks tapol". Menggali ingatan buruk masa lalu dan mengekspresikannya ke dalam cerita secara terbuka barangkali bisa menghapuskan sebagian trauma yang ada. Sayangnya, tidak banyak atau barangkali tidak ada warga Tionghoa yang mau melakukan hal ini. Mungkin rasa tidak aman masih lebih besar dimiliki mereka ketimbang upaya melihat masa depan.

Kedua, perlu ada tindakan-tindakan koreksi terhadap implikasi-implikasi yang ada, khususnya yang terjadi di kalangan generasi muda Tionghoa yang apolitis karena terperangkap trauma orang tua mereka. Perlu dibuka komunikasi dan proses pembelajaran bagi mereka karena pada dasarnya adalah suatu kerugian membiarkan mereka yang mampu berkontribusi besar dalam membangun bangsa ini malah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk bangsa lain hanya karena terjebak dalam "kecurigaan dan ketakutan masa lalu" yang bahkan bukan milik mereka sendiri.

Dari observasi terhadap apa yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat, pada prakteknya keterbukaan dan transparansi kedua belah pihak itu dimungkinkan, dan hal ini bisa membawa mereka ke dalam hubungan saling percaya yang di masa lalu merupakan hal yang tidak mungkin. Meskipun kita tidak punya angka yang pasti, semakin maraknya kawin campur antara warga Tionghoa dan non-Tionghoa sudah merupakan bukti nyata. Hal ini perlu ditingkatkan terus. Program-program pemerintah dan forum-forum informal yang diselenggarakan lembaga swadaya masyarakat bisa direncanakan untuk membantu mempertemukan kedua belah pihak dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Kata kunci yang perlu digarisbawahi di sini adalah interaksi dan komunikasi yang terbuka, transparan, dan konstruktif untuk membangun rasa saling percaya. Pola ini sesungguhnya diperlukan tidak hanya untuk kasus warga Tionghoa, tapi juga untuk seluruh bangsa kita yang plural.

Ketiga, persoalan yang paling rumit adalah mencoba menyelesaikan apa yang disebut "masalah Cina" yang terkait dengan persoalan persepsi atau image, kewarganegaraan, serta diskriminasi dan ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam persoalan persepsi atau image negatif yang selama ini sudah terkonstruksikan dalam pikiran sebagian besar warga bangsa kita, perlu dilakukan rekonstruksi atau konstruksi ulang yang lebih baik dan lebih netral dari gambaran sebelumnya. Dalam hal ini, peran para intelektual dan media massa menjadi sangat penting.

Sedangkan untuk persoalan lainnya, baik persoalan kewarganegaraan maupun persoalan diskriminasi dan ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik, perlu ada koreksi dan modifikasi dalam kebijakan dan program pemerintah dan nonpemerintah sehingga persoalan tersebut bisa mulai diselesaikan. Pembicaraan ke arah koreksi dan modifikasi ini bisa dimulai dan difasilitasi oleh media massa yang daya jangkaunya memang sangat luas dan mencapai berbagai lapisan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus