Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Musisi Menggalang Dana Demonstrasi Mahasiswa
Ananda Badudu Menggalang Dana Demonstrasi
Efek Rumah Kaca
ANANDA Badudu masih terlelap saat polisi mengetuk pintu kamar kosnya di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat pagi, 27 September 2019. Tidur lelaki 32 tahun itu belum genap satu jam. Kepalanya pun masih terasa berat lantaran berhari-hari dijejali urusan demonstrasi mahasiswa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta. Seorang kawannya yang menginap di tempat kos Ananda bahkan baru menggelar kasur lipat, bersiap beristirahat. Subuh itu, polisi meringkus Ananda karena menggalang dana publik untuk logistik aksi #ReformasiDikorupsi 22-25 September lalu. Dia hendak diperiksa di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kegentingan itu, Ananda lekas meraih telepon seluler dan melaporkan penangkapannya di media sosial. Warganet Twitter dan Instagram pun riuh. Tak lupa mantan personel duo Banda Neira yang juga mantan wartawan Tempo ini mengunggah foto dua polisi yang menjemput beserta surat perintah penangkapannya. “Gue refleks upload karena belakangan itu aktif di medsos,” ujarnya saat ditemui Tempo pada pertengahan Desember 2019 di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum menangkap Ananda, polisi mencokok empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 24-25 September lalu. Salah satunya Ahmad Nabil Bintang, yang saat demonstrasi menggasak handy talkie polisi dan mengunggah ulahnya ke media sosial. Keesokan harinya, personel Polda Metro Jaya menggulung aktivis Dandhy Dwi Laksono di rumahnya di Bekasi, Jawa Barat. Dandhy yang juga jurnalis itu tersangkut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lantaran unggahannya di Twitter soal Papua dianggap menyulut kebencian.
Musikus dan aktivis Ananda Badudu di Palmerah, Jakarta./ Tempo/Jati Mahatmaji
Rentetan penangkapan itu membuat Ananda ancang-ancang. “Situasi mulai menegangkan. Gue baru sadar kalau penggalangan dana yang kami lakukan sangat berisiko,” katanya. Ananda waspada karena sebelumnya menyalurkan sebagian duit patungan publik untuk Nabil dan kawan-kawan. “Kalau Nabil tersandung urusan pendanaan, gue bisa aja terkena pasal ikut serta.”
Ananda membuka kantong donasi untuk kebutuhan logistik demonstran sejak 22 September 2019 lewat Kitabisa.com. Saluran itu memungkinkan siapa pun menyumbang secara daring, atau populer dengan istilah crowdfunding dan fundraising. Sebelum dimanfaatkan Ananda untuk menggalang dana aksi #ReformasiDikorupsi, Kitabisa biasa dipakai buat mengumpulkan berbagai bentuk donasi kemanusiaan. Misalnya sumbangan untuk orang sakit, biaya sekolah, ataupun listrik gratis di pelosok.
Di tautan patungan yang Ananda luncurkan di akun Instagramnya, tertulis donasi bakal dialirkan untuk membeli makanan dan minuman serta membayar mobil komando para demonstran. Tercatat juga grup musik Efek Rumah Kaca mendukung penggalangan dana yang ditargetkan sebesar Rp 50 juta tersebut. Namun, sampai keran patungan ditutup, dana yang terkumpul mencapai Rp 175,6 juta. “Ini melebihi ekspektasi, karena kami sempat khawatir tak banyak orang yang mau berdonasi,” ujar Ananda.
•••
IDE pendanaan logistik mulai melenting sebelum mahasiswa dan masyarakat sipil bergerak ke Senayan pada 23 September 2019. Tiga hari sebelum itu, wakil dari sejumlah elemen masyarakat kembali menggelar rapat konsolidasi di sebuah ruang perkantoran di Jakarta Selatan. Dari kalangan organisasi nirlaba di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW), Jaringan Advokasi Tambang, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Lainnya adalah mahasiswa, Ananda Badudu, personel Efek Rumah Kaca (ERK), dan Irma Hidayana.
Irma, yang sejak tahun 2000 getol berkampanye melawan korupsi, adalah istri vokalis sekaligus gitaris ERK, Cholil Mahmud. Pada 2000-2002, Irma aktif di ICW, dan bergabung dengan PSHK pada 2002-2004. “Dalam rapat konsolidasi lalu itu, saya menjadi fasilitator. Rasanya malu kalau enggak ikut berperan sekecil apa pun,” ucapnya saat ditemui di markas ERK, Kios Ojo Keos, Jakarta.
Sebelum terjun dalam aksi #ReformasiDikorupsi, ERK--yang beranggotakan Cholil Mahmud, Akbar Bagus Sudibyo, dan Airil Nur Abadiansyah--konsisten terlibat kegiatan antikorupsi di dalam ataupun luar KPK. Di Kios Ojo Keos, mereka juga intens menggeber kegiatan bedah buku, menonton film bareng, ataupun diskusi soal persoalan sosial dan korupsi. Mereka juga punya kebiasaan nyeleneh saban KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT), yakni bergiliran mentraktir sepuluh gelas es kopi Kios Ojo Keos untuk pengunjung. Kebiasaan itu bahkan menular ke penggemar mereka. Setiap ada OTT, biasanya ada saja penggemar ERK yang mentraktir es kopi sebagai perayaan tertangkapnya koruptor.
Sementara bagi Irma dan kawan-kawan rapat konsolidasi itu bukan yang pertama, lain halnya dengan Ananda. Ia ikut menyiapkan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil karena semakin gerah melihat serangkaian keputusan pemerintah, dari pemilihan pimpinan KPK yang berlangsung tengah malam, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang materinya sampai masuk ruang privat warga negara, sampai pengesahan revisi Undang-Undang KPK. Kemarahan itu mendorong Ananda mengarang lagu berjudul Pemakaman Harapan, yang ketukannya ia beli seharga US$ 30 di Internet. “Setelah bikin lagu itu, gue mulai gabung rapat konsolidasi,” ujarnya.
Aktivis dan Peneliti Irma Hidayana di Kios Ojo Keos, Jakarta, 17 Desember 2019./ TEMPO/M Taufan Rengganis
Rapat konsolidasi berlangsung cair karena sekitar 20 peserta sebelumnya sudah saling kenal di lapangan. Irma mengklaim peserta rapat kompak terbakar semangatnya. Mereka membahas sejumlah hal, dari tujuh tuntutan demonstrasi hingga pembiayaan. Rapat juga memutuskan pembagian tugas sesuai dengan kapasitas masing-masing. Ada yang mengerahkan massa, mengawal urusan hukum, menggarap materi kampanye, dan mengurus advokasi.
Adapun ihwal pembiayaan, Ananda-lah yang kemudian mencetuskan ide galang dana publik. “Ide menggalang dana untuk aksi politik masih baru di Indonesia, tapi ini menarik sebagai antitesis demonstrasi bayaran. Urusan anggarannya pun lebih jelas,” kata Cholil “ERK”. Gagasan itu menyusul curhatan wakil mahasiswa Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti yang terancam kehabisan ongkos logistik. Sebab, sebelum aksi 23 September 2019, mereka sudah turun ke jalan memprotes rencana revisi KUHP dan Undang-Undang KPK. Bila apes, jumlah donasi tak memenuhi target, peserta rapat sepakat untuk saweran duit.
Dalam rapat tersebut, Ananda menawarkan diri sebagai relawan penggalang dana publik, sedangkan ERK berposisi sebagai penyokong. “Gue dan ERK maju hanya karena kami sudah dikenal sebagai musikus. Tak ada kisah heroik,” ujar Ananda. Kebutuhan dan alokasi dana juga diurai mendetail. Rapat sepakat duit donasi diprioritaskan untuk menyewa ambulans dan mobil komando serta biaya buat nasi bungkus dan air mineral. Adapun konsekuensi hukum tak mereka bahas. “Diciduk polisi itu di luar perhitungan kami.”
Tak lama setelah Ananda mengunggah tautan donasi di media sosial, bantuan dari warga mulai mengalir. Karena jumlahnya melebihi target, Ananda dan anggota rapat konsolidasi membentuk tim operator khusus donasi dan berbagi tugas. Sementara Ananda berfokus mengurus konten media sosial dan distribusi duit, anggota timnya ada yang bertugas menyiapkan ambulans dan membuat properti demonstrasi. Lewat Instagram dan Twitter pula Ananda menawarkan bantuan kepada mahasiswa demonstran yang terganjal urusan logistik.
Menurut Ananda, timnya kelimpungan saat bantuan uang dari warga kian deras. Mereka sempat terpikir ingin menutup pintu donasi, tapi urung karena menimbang simpati dan antusiasme publik yang demikian besar. “Kalau kami menutup donasinya, kasihan warga yang masih ingin mendukung,” ucapnya. Namun penggalangan donasi itu akhirnya disetop juga setelah uang yang terkumpul melejit tiga kali lipat dari target. Nominal patungan dari 2.124 setoran mulai Rp 5.000 hingga Rp 1 juta, dengan rata-rata sumbangan Rp 82 ribu per donatur. Adapun dari ribuan penyumbang itu tak semuanya mencantumkan identitas terang.
Untuk proses pengaliran dananya, tim Ananda menerapkan prosedur: sebisa mungkin mereka berkomunikasi langsung dengan vendor. Misalnya penyedia ambulans, pengelola bus untuk transportasi demonstran, serta penjual nasi bungkus dan air minum. Namun, bila kepepet, mahasiswa dapat meminta ganti ongkos (reimburse) dengan menyerahkan bukti transaksi. Bon-bon itu Ananda unggah di media sosial agar publik mengetahui langsung pemanfaatan dananya.
Saat hari-H, Ananda dan tim justru tak berada di lapangan. Mereka memantau dari lokasi masing-masing dan berkoordinasi secara daring, termasuk via media sosial. “Soalnya gue butuh jaringan Internet yang stabil. Itu enggak mungkin bisa dilakukan di lokasi aksi, sementara pergerakan di lapangan sangat dinamis,” kata Ananda. Setiap ada permintaan bantuan dana yang masuk lewat pesan Instagram, Ananda langsung meminta timnya menindaklanjuti. “Saya yang kemudian mendistribusikan permintaan Ananda kepada tim di lapangan,” ujar Irma.
Adapun ERK turun ke jalan pada 24 September 2019. Mereka datang sambil membawa nasi bungkus untuk para mahasiswa dan mengecek apakah ada demonstran yang membutuhkan pertolongan medis. “Saya merinding banget ada di tengah lautan mahasiswa,” kata Akbar “ERK”, yang pada 1998 ikut berdemo menuntut reformasi. Begitupun Airil alias Poppie, pencabik bas ERK, bolak-balik ke warung makan untuk membelikan demonstran nasi bungkus. Ia juga terus berkomunikasi dengan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta terkait dengan kondisi lapangan.
Dinamika di lapangan memaksa tim operator bertindak gesit. Misalnya saat ada permintaan duit dadakan untuk truk yang mengangkut mahasiswa UIN Jakarta. Mereka mesti menyewa truk karena bus yang sudah lunas dibayar mendadak enggan mengantar ke Senayan. Begitupun bus yang membawa mahasiswa Institut Teknologi Bandung, terhambat masuk ke Jakarta. Ini membuat biaya sewa bus membengkak.
Menurut Ananda, sebagian organisasi mahasiswa semula enggan menyerap duit donasi karena tak mau ditunggangi siapa pun. Rapat konsolidasi internal di tiap kampus pun sangat tertutup, termasuk dari organisasi kemasyarakatan sipil. Karena tim operator membantu mereka dengan penyediaan fasilitas medis, termasuk ambulans, “Mereka tidak bisa menolak.”
Dalam laporan pertanggungjawaban penggalangan dana aksi #ReformasiDikorupsi 22-25 September 2019, Ananda mencatat donasi dialokasikan untuk uang duka sebesar Rp 55 juta, ambulans Rp 40,9 juta, logistik Rp 37,6 juta, alat kesehatan Rp 11,5 juta, mobil komando Rp 8,9 juta, lain-lain Rp 13,7 juta, potongan Kitabisa Rp 6,1 juta, dan tersisa Rp 1,8 juta. Laporan itu dirilis Ananda di akun Twitternya pada 13 Desember lalu.
•••
SAAT aksi #ReformasiDikorupsi mereda pada 25 September 2019, Ananda dan tim operator justru mulai ketar-ketir. Tertangkapnya Ahmad Nabil Bintang, mahasiswa UIN Jakarta, membuat tim operator menarik diri dari media sosial. “Tapi kami tidak merasa cemas karena sadar ini risiko demokrasi. Kalau memang penggalangan dana ini dipersoalkan, kami jadi semakin meyakini betapa bobroknya mereka,” ujar Irma Hidayana. Kios Ojo Keos, Irma mengungkapkan, sempat disatroni orang yang gerak-geriknya aneh. Orang itu muncul sebagai penjual bakso Malang keliling, yang gerobaknya kerap diparkir dekat Kios. Si tukang bakso dadakan juga kerap mengawasi kondisi dalam Kios sambil menelepon.
Pun Ananda. Dia tak gentar. Ananda mengaku, salah seorang polisi yang menjemput dia di kamar kos sempat mengancam dengan UU ITE karena geram aksinya diunggah di Instagram. Ananda juga menyebutkan merasa diperlakukan tak nyaman dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya. “Kemerdekaan kita seperti dicerabut karena enggak bisa minta tolong siapa pun,” ucapnya. Setelah lima jam di Polda, Ananda akhirnya dibebaskan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo