Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Diza Ali Rasyid: Cinta Seorang Diza

18 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG perempuan cantik di lapangan sepakbola. Jangan pernah berpikir dia sedang berlatih untuk peragaan busana. Diza Ali memang mantan perancang mode, tapi profesi yang ia jalani di lapangan hijau mengharuskannya tampil sangar.

Dan itu dia lakukan tanpa canggung. Sepuluh tahun silam, ketika Diza menjadi manajer Persija Jakarta Pusat, ia membawa timnya bertandang ke kandang Persebaya Surabaya di Stadion Gelora Sepuluh November. Satu adegan dalam laga itu memancing emosi Diza. Pemain depan Persebaya, Yusuf Ekodono, membawa bola mendekati gawang Persija. Di tepi

lapangan, dua hakim garis mengangkat bendera. Yusuf berada pada posisi offside. Pertandingan mestinya dihentikan.

Tapi, tak ada suara peluit. Wasit tidak melihat bendera diangkat oleh hakim garis. Yusuf terus menggiring bola. Sementara pemain Persija terlanjur tak bergerak. Tanpa ampun Yusuf melesakkan bola ke gawang Persija. Dan, astaga, wasit mengesahkan gol itu!

Mau tahu yang dilakukan Diza? Ketika pemain Persija masih terpana, dari tepi lapangan Diza berlari, lalu satu tendangan kungfu mendarat di tubuh wasit. "Saya tak takut diberi sanksi," ia mengenang aksinya. Ini jelas bukan perbuatan benar. Tapi orang kemudian sadar bahwa Diza bukan perempuan biasa.

Dia sering berada dalam keadaan yang terlalu keras untuk perempuan yang lain. Aksi brutal penonton jadi menu hidupnya. Di Bandung, ia pernah dilempar air kencing yang dibungkus plastik dari tribun penonton. "Bom urine" itu pecah dan menyiram pipinya. Punggungnya pernah pula diterpa botol minuman ringan. Sekali waktu ia pingsan karena terlalu lelah berteriak menenangkan penonton.

Perempuan kelahiran Makassar 43 tahun silam itu begitu mencintai sepakbola-olahraga yang "sangat lelaki". Ia dari dulu memang hidup di sekitar olahraga itu. Sebelum menjadi manajer, ia menapaki berbagai posisi di Persija, antara lain bendahara dan humas.

Saat menjadi manajer, suara meremehkan sempat terdengar. Ia bahkan dituding pembawa sial. "Tidak ada sejarahnya perempuan di sepakbola," ia menirukan seorang pengurus yang tidak menyukainya. Toh, di bawah Diza Persija justeru masuk sepuluh besar wilayah barat. Di musim sebelumnya, tim ini cuma bercokol di urutan 14.

Prestasi Persija terus menanjak. Tim kebanggaan Jakarta ini menembus babak delapan besar di musim 1998/1999. Namun, tiba-tiba Diza memutuskan hijrah ke Makassar. Ia berhenti dari hiruk pikuk liga tapi tetap dekat dengan lapangan hijau. Enam tahun lalu ibu dua anak ini mendirikan Makassar Football School (MFS)-sekolah sepakbola untuk anak-anak.

Pada 2002 ia sempat kembali ke liga selama satu musim menangani PSM. Klub ayam jantan dari timur itu berhasil menembus babak empat besar. Setelah itu Diza memilih menangani MFS. Di sini namanya lebih berkibar karena berhasil membawa timnya melanglang buana ke berbagai turnamen internasional.

Catatan terbaik ditorehkan MFS ketika lolos empat besar Piala Dunia Danone 2006 di Prancis. Tim usia 12 tahun MFS cuma kalah lewat adu penalti melawan Argentina ketika memperebutkan tempat ketiga. Tahun depan MFS juga sudah memegang tiket ke kejuaraan yang sama.

Keandalan anak-anak hasil gemblengan MFS cukup diakui. Sejumlah alumninya kini menjadi kekuatan utama PSM. Salah satunya Syamsul Haeruddin, yang sempat menjadi rebutan klub-klub besar menjelang Liga Indonesia 2007.

Tapi Diza tak lekas puas. Ia masih menyimpan obsesi melihat anak-anak asuhnya bermain di liga Eropa. April lalu, ia telah merintis dengan mengirim Irvin Museng ke akademi sepakbola Ajax Amsterdam. Tahun depan, empat siswa MFS lainnya akan menyusul Irvin. Hubungan baik dengan sejumlah pencari bakat dari klub-klub di negeri keju itu memudahkan pekerjaannya.

Untuk membiayai MFS, Diza rela merogoh kocek sendiri. Para siswa hanya dikenai iuran Rp 25 ribu per bulan. Beruntung ia mewarisi Triple D, perusahaan ayahnya, Ali Rasyid. Keuntungan perusahan yang bergerak di bidang kontraktor, perparkiran, desain, dan hiburan itulah yang sebagian ia sisihkan untuk membiayai MFS.

Demi cinta, biaya memang bukan perkara. l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus