Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senja, 11 Agustus 2004, di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali. Saat itulah Theo Mandagi tengah menasihati putrinya, Pinkan Natalia Mandagie. "Kalau kamu capek, jangan memaksa diri," kata Theo. Pingkan manut. Ia membatalkan niat melakukan sunset jump atau terjun menjelang matahari terbenam bersama ayahnya.
Ternyata, terjun untuk merayakan pecahnya rekor dunia membentuk formasi enam baling-baling, yang baru diukir Theo bersama 100 peterjun dari 17 negara, itu menjadi terjun terakhirnya. Payung Theo tidak mengembang sempurna.
Tubuhnya meluncur deras menghunjam ke rawa-rawa di dekat bandara. Theo tewas di usia 55 tahun.
"Kepergian ayah sempat membuat saya ingin berhenti terjun payung," Pingkan mengenang. Matanya basah. Tapi perempuan 32 tahun itu tak mau lama-lama berkabung. Satu bulan setelah Theo wafat, Pingkan kembali berlaga mewakili Sulawesi Utara dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI di Palembang. Hasilnya adalah juara pertama untuk terjun perorangan dan beregu. Hattrick.
Sebelumnya, Pingkan juga menyabet dua gelar yang sama pada PON XIV (1996) di Jakarta dan PON ke XV (2000) di Surabaya. Dia pun berhasil menjuarai kelas perorangan dan beregu pada kejuaraan nasional di Tenggarong, Kalimantan Timur, 2002. Ketika usianya masih belum 20 tahun, Pingkan sudah menjadi juara I perorangan dan beregu Kostrad Cup 1993. Dua tahun kemudian, Pingkan terpilih menjadi atlet terbaik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) 1995.
Semua itu memang tak bisa dilepaskan dari sosok ayahnya. Saat berlomba atau berlatih, mereka selalu berdua. "Papa adalah pelatih sekaligus manajer," katanya. "Ia paling cerewet, meminta peralatan dicek sebelum terjun." Namun, yang menularkan "virus" terjun payung adalah pamannya, Robbie Mandagie. "Om Robbie yang pertama kali mengajakku ikut terjun payung," ujar Pingkan.
Robbie Mandagi juga yang membuat Ibu Pingkan, Sritjiptowati Soebiandono, jatuh cinta pada terjun payung. Dia tercatat sebagai peterjun bebas perempuan pertama Indonesia. Tak mengherankan jika Pingkan sudah mengenal terjun payung sejak kecil. Pada masa kanak-kanak, dia sering diajak ke lapangan udara menyaksikan ayah-ibu dan paman-pamannya latihan terjun payung.
Tapi Pingkan baru menjajal terjun untuk pertama kalinya pada usia 16 tahun. Satu tahun kemudian, Pingkan diizinkan ikut Pendidikan dan Latihan Terjun Payung Gabungan Angkatan Udara, di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Theo memang menolak melatih sendiri anaknya. "Justru diserahkan ke orang lain agar saya tidak manja," kata Pingkan.
Baru beberapa bulan berlatih, Pingkan sudah menyabet gelar juara tiga beregu dalam Kejuaraan Nasional Terjun Payung di Senayan, Jakarta. Agar kian terasah, Pingkan mengikuti kursus intensif di Perth (1992) dan Sydney (1996), Australia.
Hingga kini Pingkan sudah terjun lebih dari 1.250 kali. Spesialisasinya di kelas ketepatan mendarat dan kerja sama di udara. "Tidak ada yang mampu mengalahkannya dalam ketepatan mendarat," kata Nifsu Chasbullah, Ketua Persatuan Olahraga Dirgantara (Pordirga) Terjun Payung.
Kendati demikian, deretan prestasi itu tak membuat Pingkan sombong. Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Nasional, Bandung, ini hanya menganggap kemahirannya itu sebagai hobi. "Saya tidak pernah pasang target," katanya. Namun, Pinkan bertekad terus terjun. "Ada sensasi aneh yang tidak ditemukan di darat," katanya. Seperti Superman, Pingkan bisa berkejar-kejaran dengan temannya di udara.
Mematahkan Dominasi Tentara
Sejarah terjun payung Indonesia tak bisa lepas dari keluarga Mandagi. Pada 1974, Robbie Mandagi berhasil mematahkan dominasi militer di arena terjun payung. Tiga tahun sebelumnya, Robbie menyabet gelar juara yunior Pesta Sukan Singapura. Theo, Alfred, dan Christian Mandagi serta para istri mereka-kecuali istri Christian-juga jadi peterjun.
Soal prestasi tak diragukan. Pada era 1980-an, trio Robbie, Alfred, dan Christian adalah juara tangguh untuk lomba kerja sama udara tingkat nasional. Bahkan si Burung Layang-Layang-julukan Robbie-pernah mengikuti 31 kejuaraan, termasuk di pentas internasional, dengan 44 gelar di pelbagai nomor.
Sebelum meninggal, Robbie adalah satu-satunya peterjun nasional yang mampu merebut Gold Free All. Medali kehormatan ini dianugerahkan oleh Asosiasi Parasut Amerika (USPA) kepada peterjun yang sudah mencapai jumlah total melayang di udara dengan pelbagai kecakapan, misalnya menggendong kawan (tandem) selama 12 jam.
"Reputasi keluarga Mandagi tidak ada yang mengalahkan," kata Nifsu Chasbullah, Ketua Pordirga Terjun Payung. "Legendanya menjadi spirit bagi peterjun Indonesia."
Sayang, Robbie, Alfred, dan Christian tewas dalam kecelakaan pesawat di Serpong, Tangerang, pada 1986. Delapan belas tahun kemudian, Theo menyusul ketiga saudaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo