Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan itu hanya bicara sesekali. Tapi kata-kata Hilda Djulaida Rolobessy, 33 tahun, mampu meredam kemarahan yang meledak pagi itu. Puluhan raja Ambon anggota Forum Latupati tersebut murka karena pada suatu pagi bulan November lalu itu mereka gagal bertemu dengan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Para raja itu gagal bertemu karena kapal yang mereka tumpangi tak sampai ke Pulau Banda.
Sedianya, Forum Latupati akan membahas masa depan Maluku pascakonflik bersama Bachtiar. Pertemuan itu dianggap sangat penting karena para raja tadi adalah pemangku kepentingan (stake holder) perdamaian Maluku. Hilda berjanji akan membujuk Bachtiar agar bersedia menerima mereka di Bandar Udara Pattimura, sore harinya. Kemarahan akhirnya luruh.
Kisah ”amuk” raja di geladak kapal Bukit Siguntang itu menjadi buah bibir kalangan aktivis Ambon dan Jakarta, terutama tentang Hilda yang lihai meredam kemarahan para raja.
Hilda memang bukan orang asing bagi Ambon. Sebagai penanggung jawab Early Warning Sistem Conflict (EWSC), jaringan yang bertugas menjaga dan mendeteksi gejala awal konflik, Hilda sering berhubungan dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang. ”Itu sebabnya ia didengar oleh para raja,” kata Ichsan Malik, Direktur Institut Titian Perdamaian.
Lahir di Ambon pada 26 Desember 1973, Hilda bercita-cita menjadi pengacara. Ada daya, ayahnya meminta dia membantu bisnis kontraktornya dengan mengambil Jurusan Ekonomi di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Tak disangka, bakat sebagai pekerja sosial justru berkembang semasa kuliah, saat menjadi aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Makassar.
Pada 1998, ia pulang ke Ambon. Setahun kemudian, kerusuhan pecah. Bersama kawan-kawan, ia menggalang perempuan untuk membangun rekonsiliasi dan rehabilitasi konflik. Mereka mengurus relokasi pengungsi. Anak-anak yang terlibat perang antarkomunitas dikumpulkan dan diajak bersekolah. Guru lokal dan sarjana menganggur diberdayakan untuk mengajar mereka.
Ibu-ibu dalam pengungsian diberi modal, anak-anaknya dicarikan beasiswa. Bantuan modal usaha diprioritaskan bagi ibu-ibu yang suaminya meninggal dalam konflik. Keterlibatan Hilda semakin total ketika keluarganya ikut mengungsi karena rumah mereka juga dibakar.
Di tengah situasi konflik, Hilda memutuskan menikah dengan Johan Tutupoho. Pesta perkawinan digelar di Masjid Al-Fattah, Ambon, dihadiri para pengungsi, aktivis, dan aparat. ”Sempat juga waswas karena sehari sebelumnya ada yang kawin di situ dan berantakan karena diserang,” katanya.
Hilda juga bergabung dengan Baku Bae, forum yang mempertemukan dua komunitas antarumat beragama. Mereka membuat program perdamaian di tingkat rakyat jelata. Salah satunya bersama Suster Brigitta Renyaan, mereka membuat acara kemah bersama anak-anak dua komunitas berbeda.
Tentu saja bukan pekerjaan mudah. Sering Hilda asuk daerah konflik dan merintis pertemuan perdamaian di sana. Kerap ia terjebak di tengah-tengah perang. Berbagai pengalaman buruk dialami Ketua Lakspedam NU Kota Ambon ini, mulai dari intimidasi aparat, teror telepon, bencana alam, hingga diculik salah satu kelompok bertikai, dibujuk agar tak bertemu kelompok lainnya.
Pekerjaan mahaberat Hilda adalah menganyam kepercayaan 50 raja dan tetua adat di seluruh pelosok Maluku. ”Karena merekalah pemangku kepentingan perdamaian di Maluku,” ujarnya. Karena keberanian dan konsistensinya yang luar biasa pada perdamaian, ia bersama Suster Brigitta dinominasikan sebagai Perempuan Peraih Penghargaan Perdamaian tahun 2005.
Hilda merasa beruntung. Semua yang diraihnya tak lepas dari dukungan penuh orang tua dan suaminya. Mereka rela menenggang rasa, juga mengantar Hilda malam-malam ke daerah konflik, meski nyawa taruhannya. Mereka tahu, Hilda melakukan semua itu demi perdamaian di Maluku, tanah kelahirannya.
Jangan pernah salah sangka dengan penampilannya. Postur tubuhnya memang kecil, tapi kemampuannya seakan tanpa batas. Ayolah, ajak perempuan ini bicara konflik sosial yang kronis di Poso, Sulawesi Tengah. Jangan kaget kalau dia dengan lugas, tegas, sistematis, bahkan tanpa tedeng aling-aling membeberkan asal-usul konflik dan penderitaan berlapis yang dialami perempuan dan anak-anak di Poso.
Perkenalkan, namanya Soraya Sultan. Usianya, baru 25 tahun. Dia juga sarjana gres dari Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu. Tapi perempuan muda ini sudah dipercaya 30 lembaga swadaya masyarakat di Palu dan Poso, untuk memegang kendali Poso Center. Sebuah organisasi yang mengupayakan perdamaian di kawasan itu yang tak kunjung terwujud.
Tentu, semua punya alasan. Soraya, kata Sekretaris Yayasan Tanah Merdeka Palu, Mahfud Suara, dipilih karena nyalinya tinggi. Ia juga punya berani mengambil risiko. Mahfud menunjuk peristiwa tahun 2003, ketika ditemukan banyak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan aparat keamanan.
Ramai-ramai, para aktivis perdamaian di Palu dan Poso, sibuk membela para korban. Tapi, begitu tahu mereka harus berhadapan dengan polisi dan tentara yang emosional, para aktivis mundur teratur. Namun Soraya justru bertahan.
Keterlibatan Soraya dan kawan-kawannya memang tak sengaja. Bermula saat Soraya dan kawan-kawan sesama aktivis perempuan, berkeliling ke pelosok Poso. Suatu petang, akhir April 2003, Soraya bertemu perempuan warga kampung Tonipa, Poso Pesisir. Perempuan 20 tahun itu hamil setelah menjalin hubungan dengan tentara yang bertugas di desa itu. Si prajurit itu emoh mengawini karena ditarik bertugas ke Makassar. Tinggallah si perempuan itu sendirian menanggung aib.
Ternyata kasus kekerasan seksual oleh aparat banyak terjadi di desa-desa di Kabupaten Poso. Terpanggil membantu mereka, Soraya dan kawan-kawan mendirikan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST). Organisasi ini menawarkan pendampingan perempuan korban kekerasan, baik secara psikologis maupun jalur hukum.
Jelas bukan pekerjaan mudah mencari data, berhadapan dengan sistem peradilan yang lemah, dan banjir intimidasi. Dari ribuan kasus, hanya 41 kasus yang bisa dibawa ke meja hijau dan baru enam kasus divonis. ”Tak satu pun yang dipenjara atau dipecat. Padahal banyak korban nyaris mati karena dipaksa menggugurkan kandungan,” kata Soraya.
Repotnya lagi, kalau pelaku memilih jalan pintas dengan penyelesaian secara adat. Cukup membayar ganti rugi Rp 2-4 juta, atau seekor kerbau kepada pengurus adat, maka semua dianggap beres. Jika sudah begitu, Soraya dan kawan-kawan harus berhadapan dengan tetua adat. Tak jarang, kerabat pelaku ikut pula meneror. ”Mereka mengancam mau mengabisi keluarga saya,” ujarnya.
Alih-alih ciut nyali, Soraya justru tambah bersemangat. Terlebih karena banyak masalah perlu ditangani. Anak-anak korban kekerasan, tak sedikit pula perempuan lain yang harus menjadi orang tua tunggal karena suaminya meninggal.
Perjuangan kelompok Soraya mendulang simpati. Belakangan, jaringan organisasi mereka berkembang hingga ke pelosok kampung. Mereka mendirikan posko pengaduan, menggelar pendidikan gender, dan mengembangkan perekonomian. Salah satunya, mendirikan koperasi simpan pinjam di kawasan pengungsian, Tentena.
Koperasi itu sukses menyokong kehidupan ekonomi pengungsi. Mereka juga sukses mempertemukan perempuan dari berbagai komunitas dan menjadikan mereka sebagai juru damai. Aktivitas ini akan diadopsi Poso Center sebagai cara menyemai perdamaian.
Lahir di Makassar, Soraya mengaku anak mama. Kehidupannya berubah ketika ia mulai kuliah di Universitas Tadulako. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini memilih pergi dari rumah karena sang ayah, Sultan, minta ia tak jadi pekerja sosial. Dia terpaksa membiayai kuliah dari honor sebagai notulen. Sejak itulah dia mulai serius terjun sebagai pekerja sosial.
Soraya memang sudah bersalin rupa. Ia tak lagi jadi anak mama. Kini, banyak harapan bertumpu di pundaknya. Seperti perubahan dahsyat dalam hidupnya, begitu pula warga Poso berharap Soraya bisa membawa Poso menuju kedamaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo