Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri di tengah perkampungan Dukuh Kedungpenjalin, Desa Karanggondang, Kecamatan Mlonggo, Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Dukuh Kedungpenjalin menyimpan sejarah panjang. Tak hanya menjadi gereja tertua di Jepara, gereja yang dibangun pada 1863 itu juga pernah menjadi saksi bisu kehadiran Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat serta tiga putrinya, Kartini, Roekmini, dan Kardinah.
"Konon Kartini bersama ayahnya datang saat acara penahbisan John Hubert asal Rusia," ujar Suyitno Basuki, pendeta GITJ Dukuh Kedungpenjalin, kepada Tempo. Berdasarkan kesaksian sejumlah pemimpin gereja terdahulu, Sosroningrat diundang ke acara itu karena kedekatannya dengan orang-orang Belanda.
Dalam surat kepada sahabat penanya, Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini bercerita, pada 1896, dia dan dua adiknya diajak sang ayah menghadiri upacara pembaptisan sebuah gereja baru di Kedungpenjalin. Peristiwa itu terjadi pada 1896 dan usianya masih 16 tahun. Apa pun alasannya, bagi Kartini, kehadiran dia di gereja yang menjadi bagian dari Badan Misionaris Belanda atau Doopsgezinde Zendingsvereniging untuk wilayah sekitar Gunung Muria itu merupakan fase paling menggembirakan dalam hidupnya.
Setelah empat tahun terkungkung sendirian di balik tembok tebal sebagai gadis pingitan, inilah untuk pertama kalinya Kartini melihat dunia luar kembali. "Ya, Tuhan, terima kasih! Tuhan, terima kasih! Aku bisa keluar dari penjara sebagai seorang yang bebas," kata Kartini dalam surat pertama yang dikirimkan kepada gadis Belanda yang dia kenal lewat iklan di majalah De Hollandsche Lelie itu. Kegembiraannya tak berkurang, meskipun sepulang dari sana ia dan dua adiknya harus kembali masuk pingitan.
Dalam suratnya, Kartini mengakui inilah masa-masa penuh kebahagiaan. Meski tetap harus menjalani pingitan, ia lebih optimistis. Kini ada Roekmini dan Kardinah yang menemaninya. Setelah kakak perempuannya, Soelastri, meninggalkan rumah untuk menikah dengan Raden Ngabei Tjokroadisosro, putra Bupati Semarang Raden Tumenggung Tjokrodipoero, ia langsung pindah ke kamar sang kakak. Roekmini dan Kardinah lalu diminta tinggal bersamanya. Di kamar itu, Kartini, Roekmini, dan Kardinah, yang beda usianya masing-masing satu tahun, setiap hari saling bercerita, bersenda gurau, dan belajar bersama. Ini hal yang tabu dilakukan di zamannya.
Sebagai kakak yang kini paling tua di rumah itu, Kartini membuat gebrakan. Pergaulan dengan adik-adiknya yang selama ini kaku ia ubah. Dia tidak mau adik-adiknya berjalan berjongkok ketika melewatinya. Ia juga dengan tegas melarang adik-adiknya menyembah, berbahasa kromo inggil, dan melakukan segala etiket feodal lainnya. Kartini bahkan membiarkan Roekmini dan Kardinah memanggilnya "kamu".
Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang menulis buku Kartini Pribadi Mandiri bersama Haryati Soebadio, mengatakan Kartini dianggap pendobrak karena saat itu ia ingin merombak hal-hal yang dianggap merendahkan orang lain. "Ia ingin mengubah hal-hal yang membuat orang tidak setara," ujarnya.
Kartini dan kedua adiknya bergaul dengan akrab dan tak terpisahkan. Kartini bahkan menyebut dia dan kedua saudaranya itu sebagai Het Klaverblad atau Daun Semanggi. Keakraban kakak-adik itu, seperti tertuang dalam buku Kartini: Sebuah Biografi karangan Sitisoemandari Soeroto, membuat mereka mendapat cibiran dari lingkungan sekitar. "Kami bahkan dijuluki kuda atau kuda liar karena jarang sekali berjalan, tapi pecicilan ke sana-kemari," tutur Kartini kepada Stella.
Tentu saja hari-hari mereka tak cuma diisi senda gurau. Setiap hari ketiganya menghabiskan waktu dengan aneka hobi, seperti menggambar, melukis, dan bermain piano. Setiap siang, mereka belajar membatik di serambi belakang bersama Ibu Ngasirah. Kartini juga menularkan hobinya membaca kepada dua adiknya. Surat kabar Semarang, De Locomotief, yang diasuh Pieter Brooshooft; sejumlah majalah lain, seperti majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat; serta majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie, menjadi sahabat mereka.
Kartini sendiri tetap meneruskan kebiasaannya kala dipingit sendirian, seperti dikemukakan Roekmini dalam suratnya kepada Nyonya De Booy-Boissevan, "Mbakyu Kartini selalu sibuk. Siang tidak beristirahat, malam menulis sampai jauh malam. Jam lima pagi ia sudah memasang lampunya lagi untuk meneruskan tulisannya." Salah satu tulisannya berjudul Het Huwelijk bij de Kodja's menceritakan upacara perkawinan suku Koja di Jepara, yang kemudian dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Ned-Indie pada 1898.
Tak seperti pemingitan pertamanya dulu, Kartini dan adik-adiknya mendapat lebih banyak kelonggaran menghirup udara bebas. Setelah kunjungan ke gereja itu, Sosroningrat semakin sering membolehkan ketiga putrinya ke luar rumah. "Bapaknya progresif sekali. Bahkan, ketika ada kapal Belanda datang, Kartini diperbolehkan ke situ. Itu khusus sekali karena di situ kan semuanya laki-laki," ujar Saparinah.
Kartini dan dua adiknya paling sering mengunjungi rumah keluarga asisten residen Ovink-Soer, yang berhadapan dengan kabupaten. Keluarga asisten residen yang bertugas di Jepara pada 1892-1899 itu merupakan orang Belanda sahabat keluarga Sosroningrat. Kartini, Kardinah, dan Roekmini bahkan menganggap istri asisten residen itu, Marie Ovink-Soer, seperti ibu mereka sendiri.
Dalam karangan kenang-kenangan kepada Kartini yang dikutip Sitisoemandari, Nyonya Ovink bercerita, di rumahnya, Kartini dan dua adiknya biasanya bermain musik atau membuat pekerjaan tangan sambil berbincang-bincang. Terkadang, jika mereka asyik menjahit, sang nyonya akan membacakan buku yang menarik, yang kemudian mereka diskusikan sampai puas. "Waktu itu ia berumur 16 tahun. Hidup di depannya masih merupakan buku tertutup, tapi ia sangat ingin mengetahuinya," tulis Nyonya Ovink, yang memanggil Kartini, Kardinah, dan Roekmini dengan sebutan Tiga Saudara.
Semangat Kartini memperjuangkan kesejahteraan bangsanya, terutama kaum perempuan, juga merasuki jiwa Roekmini dan Kardinah. Empat tahun dipingit sendirian memberi cukup banyak waktu bagi Kartini untuk memahami bahwa kemajuan bangsa tidak mungkin tercapai tanpa mengangkat kaum perempuan dari kekolotan. Dan, seperti di masa kanak-kanak, Roekmini dan Kardinah dengan penuh keyakinan menyatakan ikut berjuang bersama Kartini memerangi musuh bersama, yakni feodalisme, poligami, kawin paksa, dan perceraian sewenang-wenang.
Semangat kakak-adik itu kian menyala ketika, pada 2 Mei 1898, sang ayah membebaskan mereka dari pingitan. Hari itu tiga serangkai Kartini, Roekmini, dan Kardinah diajak ke Semarang untuk merayakan penobatan Ratu Wilhelmina. Untuk pertama kalinya mereka bertiga keluar dari Jepara. "Itu kemenangan yang sangat besar. Tapi aku toh tidak puas. Aku mau merdeka, berdiri sendiri, agar tidak bergantung pada orang lain," tulis Kartini tentang hari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo