Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keteguhan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat mencair juga. Setelah berkali-kali menampik bujukan Residen Semarang Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-Soer, istri bekas asisten Residen Jepara, untuk membebaskan Kartini, Roekmini, dan Kardinah dari pingitan, Sasro akhirnya mencabut belenggu itu pada 2 Mei 1898. Kala itu, pingitan Kartini menjelang memasuki tahun keenam, sedangkan Roekmini dan Kardinah tahun kedua.
Seperti ingin merayakannya, sang ayah mengajak tiga putrinya tersebut ke luar Jepara. Mereka menghadiri perayaan Hari Penobatan Ratu Wilhelmina di ibu kota Karesidenan, Semarang. Dalam hidupnya, ini pertama kali bagi Kartini keluar dari Jepara. Dia menggambarkan suasana hatinya itu dalam suratnya kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899, yang disitir Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya, Kartini: Sebuah Biografi.
"Sungguh, ini adalah kemenangan kami, kemenangan yang begitu kami dambakan. Adalah hal aneh bagi gadis-gadis sekelas kami muncul di keramaian, orang-orang mulai menggosip dan memperbincangkannya, 'dunia' menjadi terheran-heran. Hei, bersulanglah untuk kami! Dunia serasa menjadi milik kami"!
Kembali dari Semarang, ketiganya sepakat mewujudkan diskusi-diskusi yang selama ini mereka bicarakan dalam kamar pingitan. Apalagi orang tua mereka merestui ketiganya untuk "menyelidiki" kehidupan rakyat—mengetahui bagaimana kehidupan di luar. Maka, bersama dua saudaranya itu, Kartini blusukan keluar-masuk kampung, terutama di Jepara bagian selatan. Mereka mendatangi sejumlah sentra kerajinan rakyat. Lewat inilah Kartini mengetahui suka dan duka masyarakat sekelilingnya. "Oleh-oleh" dari blusukan itu dia tuangkan dalam sejumlah tulisan.
Bakat menulis Kartini terasah sejak ia dipingit. Awalnya hanya Sosrokartono, Roekmini, dan Kardinah yang mengetahui kemampuan ini. Tulisan pertamanya adalah mengenai upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Kartini dengan sangat detail menggambarkan prosesi perkawinan warga keturunan Arab tersebut.
Dia, misalnya, menggambarkan tradisi brinei mempelai perempuan di malam sebelum pernikahan, yakni mewarnai kuku jari dengan tumbukan halus daun pacar atau inai. Ia juga mendeskripsikan pakaian pengantin, bentuk kuade (dekorasi pelaminan), suasana selamatan, sampai ajuran—upacara saling menyuap nasi kuning. Tak ketinggalan ritual mandi-mandi, yang menandai akhir tiga hari larangan pengantin keluar dari kamar.
Bagi Didi Kwartanada, sejarawan Yayasan Nabil yang banyak meneliti tentang Kartini, artikel perkawinan di Pekojan itu karya tulis yang luar biasa. Didi bahkan menyebutnya sebagai karya ilmiah. "Bukan hanya wartawan pertama, tapi juga antropolog pertama Indonesia."
Karangan Kartini yang berjudul Het Huwelijk bij de Kodja's (Perkawinan Itu di Koja) tersebut dipublikasikan dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara dan Oseania) volume 50 nomor 1 tahun 1898 (halaman 695-702). Ini merupakan jurnal ilmiah bidang bahasa, antropologi, dan sejarah terpandang serta masih terbit sampai saat ini sejak 1853.
Memang tak tercantum nama Kartini sebagai penulis artikelnya. Yang muncul nama bapaknya. Jaap Anten dari Departemen Arsip dan Foto pada Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) memberi penjelasan dalam situsnya perihal tiadanya nama Kartini. "Tidak dicantumkan nama Kartini tapi nama ayahnya demi alasan keamanan," tulisnya. Kartini menulis artikel tersebut pada 1895 saat berusia 16 tahun.
Tulisan itu pertama kali ditunjukkan Kartini kepada Marie Ovink-Soer. Dia menyarankan Kartini terus berlatih karena berbakat. Jiwa Kartini meluap-luap sehingga tambah bersemangat menulis. Tapi karangan itu hanya ia simpan. Baru tiga tahun kemudian Kartini menemukan kembali saat membereskan lemari. Tulisan itu lalu ia tunjukkan kepada sang ayah. Sosroningrat, yang diminta KITLV membantu memasok tulisan, lantas mengirimkan karangan anaknya tersebut.
Bukan hanya perkawinan adat Arab yang Kartini tulis. Pada buku Panggil Aku Kartini Saja karangan Pramoedya Ananta Toer, disebutkan Kartini juga menulis perkawinan di kalangan pembesar pribumi. Tulisan itu agaknya merupakan hasil reportasenya atas perkawinan Kardinah pada 24 Januari 1902. Soalnya tulisan itu cocok dengan surat Kartini kepada Hilda Gerarda de Booy-Boissevain pada 21 Maret 1902, yang bercerita detail tata cara pernikahan adat Jawa sejak tiga malam sebelum pernikahan, widodareni, akad nikah, hingga selamatan.
Menurut Pramoedya, tulisan itu tidak pernah diterbitkan meski sebuah majalah terbitan Belanda berkali-kali meminta. Kendati majalah itu menawarkan penulisan anonim, Kartini tetap menolak. Alasan Kartini: orang akan tetap tahu bahwa itu tulisannya. Pada masa itu hanya sedikit orang Indonesia yang bisa menulis dalam bahasa Belanda dan, lebih sedikit lagi yang bisa dipublikasikan. Jadi gampang diterka siapa penulisnya.
Kartini lebih menyukai publikasi tanpa mencantumkan namanya. Tulisan-tulisannya di majalah De Echo—majalah perempuan Hindia yang berbasis di Yogyakarta—menggunakan nama samaran Tiga Saudara. Pemimpin Redaksi De Echo Nyonya M. Ter Horst menyediakan kolom khusus untuk Tiga Saudara. Harian terbesar masa itu, De Locomotief, yang berbasis di Semarang, memuji tulisan-tulisan yang dikirimkan dengan nama pena Tiga Saudara.
Publikasi Tiga Saudara itu membawa hal lain kepada Kartini. A.G. Boes, Direktur Sekolah Pelatihan Calon Kepala Bumiputera di Probolinggo, meminta kepada ayahnya agar Tiga Saudara mengisi jurnal untuk penerbitan berbahasa Belanda pertama bagi bumiputra. Kepada Stella, Kartini menyebut jurnal bernama De Nederlandsche Taal itu bergaya "Lelie kita" (De Hollandsche Lelie).
Perihal jurnal itu, Kartini juga menyinggungnya dalam surat kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri tertanggal 21 Desember 1901, seperti dimuat dalam buku Kartini: Surat-surat kepada Ny R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya tulisan Sulastin Sutrisno. Kartini bercerita, Boes mengirimkan daftar topik yang harus ia kupas, di antaranya tentang pengajaran bumiputra untuk anak-anak perempuan dan lembaga bumiputra yang berguna.
Kartini juga menulis tentang seni batik. Dalam surat kepada Stella tertanggal 6 November 1899, seperti dikutip di buku Aku Mau... Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903), Kartini mengutarakan kegembiraannya perihal artikel batik yang ia tulis setahun sebelumnya yang akan diterbitkan menjadi buku. Kemudian, buku itu terbit dengan judul De Batikkunst in Ned lndie en haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya), yang ditulis G.P. Rouffaer dan Dr H.H. Juijnboll.
Kartini sebenarnya bimbang menentukan cita-citanya, apakah menjadi guru, dokter, perawat, ahli kesenian, atau pengarang. Suratnya kepada Stella pada 11 Oktober 1901 menceritakan tentang ini. Dia bercerita ayahnya ingin ia menjadi guru, tapi ia sadar biayanya mahal. Ada memang sekolah dokter untuk pribumi, STOVIA, yang menggratiskan uang sekolah bagi laki-laki, tapi ia tak berminat karena pendidikannya lama. Kartini menyebut bidang sastra kecintaannya. "Kautahu ini adalah mimpiku bila suatu hari nanti aku bisa menjadi penulis yang diperhitungkan dalam bidang seni sastra."
Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan penulis Kartini Pribadi Mandiri, menyebutkan tulisan Kartini istimewa karena kritis dan mengangkat isu sosial. Ini yang membedakan dengan pahlawan lain. "Karena ia meninggalkan tulisan," ujar Saparinah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo