PERSIDANGAN itu jauh dari suasana tegang. Padahal, pada Kamis siang kemarin itu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tengah digelar sebuah perkara yang lagi disorot publik: kasus korupsi tukar guling Badan Urusan Logistik (Bulog)-Goro yang diduga telah merugikan negara Rp 95 miliar. Kasus ini juga yang menjerat Tommy Soeharto sebelum ia jadi buron tak berbekas. Senin pekan lalu, Tommy malah dimenangkan kasasinya oleh Mahkamah Agung (lihat Laporan Khusus Balas Budi Mahkamah buat Tommy).
Duduk di kursi terdakwa, mantan Kepala Bulog Beddu Amang tampak amat percaya diri. Sesekali ia bahkan melempar kelakar. Senyum pun mengembang lebar di wajah ketua majelis hakim Lalu Mariyun. Gelak tawa hadirin yang berkali-kali terdengar seperti mengejek jaksa penuntut umum Fachmi, yang nyaris tak berkutik menghadapi ketangkasan barisan pengacara Beddu yang diisi nama-nama besar: O.C. Kaligis, Mohammad Assegaf, Amir Syamsuddin, dan banyak lainnya. Beddu dan "barisan"-nya seperti yakin benar akan memenangi perkara.
Di luar gedung pengadilan, ada yang lebih "istimewa". Sebuah kabar mengagetkan sampai ke telinga mingguan ini. Diam-diam, pada 8 Februari lalu, melalui salah satu pengacaranya, Djoko Prabowo Saebani, Beddu ternyata melapor ke polisi. Pengaduannya gawat. Ia mengaku pada Agustus tahun lalu telah diperas dan ditipu sebuah komplotan yang diotaki seseorang bernama Raden Dodi Sumadi beserta tiga kawannya: Nyonya Wiwiek (putri seorang mantan rektor universitas di Yogyakarta) dan suaminya, Irawan, serta Bambang Sukmahadi, adik seorang mantan pejabat teras Departemen Pendidikan.
Urusan ini menjadi peka karena sejumlah nama besar ikut terseret di dalamnya: mantan presiden Abdurrahman Wahid, bekas jaksa agung Marzuki Darusman, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR dan karib Abdurrahman, Kiai Noer Iskandar Sq., serta Mayjen Kivlan Zen, mantan Kepala Staf Kostrad yang pernah dikabarkan akan diusung Presiden Abdurrahman di pengujung kekuasaannya menjadi Panglima Kostrad.
Sesungguhnya, Dodi bukanlah nama baru dalam urusan semacam ini. Dia inilah yang berada di balik pertemuan rahasia Tommy Soeharto (sesaat sebelum ia buron) dengan Presiden Abdurrahman Wahid di Hotel Borobodur dan Hotel Regent, Jakarta, pada Oktober tahun lalu. Ketika itu, bersama Noer Iskandar, lelaki kelahiran Surabaya 40 tahun lalu ini "sukses" mengatur pembicaraan diam-diam itu (lihat Dodi, Gus Dur, dan Pertemuan Borobudur).
Pengaduan Beddu ini, sebagaimana tertera dalam berita acara pemeriksaan polisi, juga melibatkan uang dengan nilai membelalakkan mata: Rp 15 miliar. Duit segunung ini dikeluarkan Beddu—sebagai Kepala Bulog, ia digaji Rp 5 juta sebulan—sebagai "ongkos" Dodi mengatur penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Belakangan terbukti, janji itu palsu. Penyidikan jalan terus. Dan sejak Februari lalu, Beddu tetap mesti menghadapi meja hijau.
Menurut sejumlah dokumen autentik dan sumber yang sangat tepercaya, dari jumlah itu Beddu sudah menyetor Rp 12,5 miliar. Duit diserahkan secara bertahap sejak 21 Agustus 2000 melalui cek, ditransfer ke Bank Central Asia Cabang Gunungsahari, dan dicairkan orang dekat Dodi yang disebut-sebut merupakan anggota TNI dari kesatuan Angkatan Darat dan Laut. Di salah satu bukti cek, tertera nama seorang pengusaha yang dikenal dekat dengan Beddu. Pada pengiriman terakhir, sejumlah Rp 3 miliar mengalir langsung ke rekening giro milik Dodi di bank yang sama.
Kepada TEMPO, Direktur Tindak Pidana Umum Kepolisian RI, Brigjen Aryanto Sutadi, mengonfirmasikan kebenaran informasi itu. "Itu benar. Dan kami sudah menindaklanjutinya dengan melakukan pemeriksaan," katanya. Dodi telah dinyatakan sebagai tersangka, sedangkan Noer, Wiwiek, Irawan, dan Bambang Sukmahadi ditetapkan sebagai saksi. Beddu dan Djoko juga membenarkannya. "Cuma, jumlah uangnya tidak sebesar itu, paling sepersepuluhnya," kata Djoko (lihat "Mereka Mengaku Kepercayaan Gus Dur").
Djoko dan sejumlah sumber TEMPO di kepolisian bercerita bahwa kisah bermula dari kedatangan Ny. Wiwiek dan Irawan ke rumah Beddu, sekitar Juli-Agustus tahun lalu. Ketika itulah Wiwiek menawarkan pertemuan Beddu dengan Dodi, yang disebutnya orang dekat Presiden Abdurrahman. Dodi "dijamin" Wiwiek bisa membantu membereskan perkara. Beddu setuju. Selang beberapa hari kemudian, Wiwiek pun kembali datang. Kali itu, ia bersama Dodi dan Bambang Sukmahadi.
Dodi langsung beraksi. Untuk meyakinkan Beddu, ia menunjukkan sejumlah akta yayasan yang didirikannya bersama Abdurrahman. Kali itu, ia menggunakan bendera Centre for Crisis Analysis (CCA), lembaga pengkajian yang dipimpinnya dan beralamat di Cempakaputih, Jakarta. Dan Beddu pun berkeringat dingin. Dodi lantas menakut-nakuti bahwa Beddu akan segera ditahan dan dibui bertahun-tahun. Tapi, jika ia bersedia menggunakan jasa mereka, telah diatur dalam waktu dekat Jaksa Agung Marzuki Darusman segera menerbitkan SP3.
Beddu lebih kecut hati setelah pada per-temuan berikutnya Dodi menggandeng Kiai Noer, yang dikenal luas sebagai karib Abdurrahman. Pertemuan dengan Noer berlangsung dua kali, antara lain di Hotel Park Lane, Jakarta. Di situ, Noer diminta mendoakan keselamatan Beddu. Yang bikin Beddu gemetar, ia menyaksikan sendiri bagaimana Noer dengan sekali angkat telepon bisa langsung mengontak Ramelan, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ketika itu. "Intinya, Pak Noer minta supaya perkara Pak Beddu dibantu," kata Djoko menirukan pembicaraan Noer. Setelah itu, beberapa kali Beddu juga diminta datang ke Pondok Pesantren Asshiddiqiyah milik Noer, di Kedoya, Jakarta Barat. Di sana, ia bersembahyang dan sempat menyumbang ratusan juta rupiah.
Soal pembicaraan dengan Ramelan itu diakui Noer, "Saya hanya bertanya bagaimana sebenarnya masalah ini. Pak Ramelan bilang berat. Lalu, saya katakan ke Pak Beddu, ya sudah, tahajud saja. Kalau Allah menghendaki, apa yang sulit pun akan menjadi mudah." Cuma, kata Djoko, setelah dikonfirmasi, Ramelan mengaku tak menerima duit sepeser pun dalam urusan ini.
Dan jantung Beddu berdegup kian kencang setelah Dodi mempertemukannya dengan Mayjen Kivlan Zen dan mengumbar cerita kedekatannya dengan sejumlah petinggi militer lain. Dalam setiap pertemuan, Dodi pun selalu dikawal belasan pengawalnya yang merupakan anggota militer aktif.
"Yah, waktu itu saya percaya karena Dodi selalu membawa orang-orang besar," kata Beddu kepada TEMPO. Tapi Djoko menyatakan boleh jadi dalam hal ini Noer dan Kivlan cuma dibawa-bawa Dodi untuk memuluskan akal bulusnya.
Sepak terjang sindikat ini sungguh luar biasa. Yang jadi sasaran ternyata bukan cuma Beddu seorang, tapi juga banyak tokoh lain dengan kaliber serupa: punya nama besar, lagi terjepit perkara korupsi gawat, secara politik sudah "habis", dan—ini yang terpenting—punya harta segunung.
Anggota keluarga dan kroni Cendana adalah target empuk yang juga pernah digarapnya. Tanpa tedeng aling-aling, Elza Syarief, pengacara Tommy, kini secara terbuka mengakui kliennya setidaknya telah menyetor Rp 15 miliar sebagai "ongkos" pertemuan di Hotel Borobudur itu. Dion Hardy, Komandan Laskar Tebas dan orang kepercayaan Tommy, yang ketika itu ditugasi bernegosiasi dengan Dodi, menduga uang dalam bentuk dolar Amerika itu dibagi rata ke tiga saluran: kocek Dodi pribadi, kalangan Istana, dan kalangan Kejaksaan Agung.
Bahkan, menurut Elza, Siti Hardijanti Rukmana pun nyaris dikadali komplotan ini. "Tapi tidak tembus. Mbak Tutut tidak percaya," katanya. Di luar lingkaran Cendana, sejumlah aktor kakap Orde Baru pun disebut-sebut pernah digarap mereka.
Sayang, empat sekawan itu—Dodi, Wiwiek, Irawan, dan Bambang Sukmahadi—tak bisa dikonfirmasi. Dodi lenyap bak ditelan bumi. Polisi hingga kini tak kunjung berhasil membekuknya. Kantornya di Cempakaputih pun tak lagi berbekas. Bambang sama saja. Begitu pula halnya pasangan Wiwiek dan Irawan. Dikontak melalui nomor handphone milik Wiwiek, suara di ujung sana cuma menukas ketus, "Salah sambung," dan telepon langsung ditutup.
Tapi penjelasan, termasuk bantahan, datang dari sejumlah nama besar yang ikut disebut-sebut dalam aksi komplotan ini.
Meski mengakui sejumlah pertemuannya dengan Beddu, Noer Iskandar bahkan sampai bersumpah menyangkal terlibat dalam pemerasan itu (lihat Sepeser pun Saya tidak Terima).
Jenderal Kivlan juga keras membantah. Benar, katanya, dia bersama Dodi pernah bertemu dengan Beddu dan istrinya di sebuah hotel di kawasan Ancol, Jakarta. Waktunya kira-kira Desember tahun lalu. Tapi, ketika itu, pembicaraan sama sekali tak menyinggung perkara. "Kami cuma bernostalgia, tidak lama, paling 15 menit," katanya. Ia datang setelah diberi tahu Dodi bahwa Beddu ingin bertemu dengannya. Permintaan itu dipenuhinya karena, masih kata Kivlan, sejak menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad dia sudah berkawan dengan Beddu (yang aneh, kepada TEMPO Beddu mengaku baru kali itulah ia bertemu muka dengan Kivlan). Kivlan juga mengaku kenal Dodi sebatas diskusi. Ketika situasi politik memanas pada 1999-2000, ia kerap diundang ke kantor CCA.
Bantahan serupa disuarakan kalangan dekat mantan presiden Abdurrahman Wahid. Melalui sekretarisnya, putri Abdurrahman, Zannuba Arifah Chafsoh, menyatakan bahwa ayahnya tak tahu-menahu dengan segala sepak terjang kawanan Dodi ini. "Bapak tidak ada urusan dengan itu," katanya. Noer juga menyatakan nama Abdurrahman cuma dicatut Dodi. "Wong mau mempertemukan Tommy dengan Gus Dur saja lewat saya," katanya. Arifin Junaidi, Sekretaris Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, yang dikenal lengket dengan Abdurrahman, pun menyangkal kabar yang menyatakan Dodi adalah orang dekat sang Kiai Ciganjur.
Begitu pula Marzuki Darusman, jaksa agung ketika itu. Ia mengatakan namanya cuma "dijual" Dodi. Cuma sekali ia pernah bertemu dengan lelaki kurus tinggi ini, saat peringatan ulang tahun TNI 5 Oktober tahun lalu di Cilangkap. Ketika itu, ia memang diminta berfoto bersama dan baru belakangan tahu fotonya lalu "dijual" Dodi ke mana-mana.
Pengaduan Beddu menjadi sebuah bukti betapa praktek sogok dan pemerasan terus melumuri peradilan mantan pejabat tinggi dan kroni Orde Baru. Para pendamba keadilan mesti terus mengurut dada menyaksikan para koruptor kakap melenggang bebas dari tangan hukum. Agaknya, itulah jawaban kenapa para koruptor masih bisa tergelak-gelak di ruang pengadilan.
Karaniya D., Edy Budiyarso, Adi Prasetya, Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini