Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Beddu di Kasus Goro

Beddu Amang harus keluar-masuk pengadilan karena disangka terlibat dalam kasus ruilslag Badan Urusan Logistik (Bulog) dan PT Goro Batara Sakti. Kini perkaranya sedang diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Barangkali, Beddu Amang tak bisa melupakan hari penting itu, 11 Agustus 1995. Saat itu, selaku Kepala Bulog, ia meneken nota kesepahaman dengan PT Goro Batara Sakti, untuk ruilslag tanah di Kelapagading milik Bulog dengan tanah di Meruya milik Goro. Hari penting itu ternyata menjadi hari nahas baginya. Kini, Beddu Amang harus duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tuduhannya? Bersama Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael, Beddu disangka melakukan tindak pidana korupsi yang mengempiskan saku negara Rp 95,4 miliar. Kasus ini bermula dari kebutuhan akan gudang yang besar, untuk menampung sembilan kebutuhan pokok masyarakat yang dihimpun oleh Bulog. Untuk itu, pada 14 April 1994, Ibrahim Hasan—Kepala Bulog saat itu—menghadap Presiden Soeharto. Maklum, Bulog yang "cukup gemuk" itu berada langsung di bawah komando Istana. Di sana, Ibrahim Hasan menerima perintah singkat ini: pengadaan gudang Bulog itu dilakukan dengan cara tukar guling dengan perusahaan swasta. Belum rampung tugas ini dilaksanakan, jabatan Kepala Bulog sudah berpindah ke tangan Beddu Amang. Beddu dilantik pada 16 Februari 1995. Ia bergerak cepat. Esoknya, Beddu langsung meneken nota kesepahaman dengan PT Sekar Artha Sentosa, milik Hutomo Mandala Putra. Setelah itu, proses tukar guling tinggal menunggu waktu. Namun, proses itu batal. Ketika menghadap Presiden Soeharto pada 28 Juni 1995, Beddu membawa pulang nama lain, yakni PT Goro Batara Sakti tadi. Perusahaan itu ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto sebagai pelaksana tukar guling. Beddu terpaksa bekerja dari awal lagi. Nota kesepahaman dengan PT Goro Batara Sakti akhirnya diteken tanggal 11 Agustus itu. Tak jelas, memang, kenapa harus ada pergantian mitra kerja, toh kedua perusahaan swasta itu ada hubungannya dengan Hutomo Mandala Putra alias Tommy. Simpang-siurnya sejumlah nota kesepahaman itu menunjukkan tidak mulusnya kerja sama ini sejak awal. Dalam perjalanannya, agar tukar guling ini lancar, Bulog justru harus merogoh sakunya sendiri. Di antaranya adalah deposito milik Bulog Rp 23 miliar. Untuk apa? Uang sebanyak itu dijaminkan oleh Goro Batara Sakti untuk memperoleh kredit Rp 20 miliar dari Bank Bukopin, sebagai modal ruilslag. Kemudian, sejumlah Rp 32,5 miliar diserahkan Bulog kepada Hokiarto untuk membeli tanah di Marunda, Jakarta Utara, sebagai aset pengganti ruilslag yang seharusnya dikeluarkan dari Goro Batara Sakti. Di samping itu, masih ada pengeluaran lainnya. Jika ditotal, jumlahnya Rp 94,5 miliar. Menurut tuduhan jaksa, Beddu Amang berperan dalam membukukan angka kerugian itu. Dalam perkara yang digelar di PN Jakarta Selatan, 19 April 1999, Beddu didakwa melanggar Undang-Undang No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan KUHP. Jika terbukti, Beddu bisa masuk bui selama 20 tahun. Namun, Beddu selamat saat perkara itu di-gelar. Sebab, hakim menolak dakwaan jaksa hanya karena Beddu anggota MPR, dan para jaksa—anehnya—tidak mengantongi izin dari Presiden untuk memperkarakan Beddu Amang. Tapi putusan itu bukan tiket keselamatan buat putra kelahiran Makassar 64 tahun silam itu. Pada September 2000, saat Beddu tak lagi duduk sebagai anggota MPR, kejaksaan membuka kembali kasus ini. Beddu mulai dipanggil lagi oleh kejaksaan. Saat datang ke Kejaksaan Agung, 28 November 2000, Beddu langsung ditahan di rumah tahanan Kejaksaan Agung. Statusnya kemudian berubah menjadi tahanan rumah. Dalam posisi sebagai tahanan rumah itulah, Beddu menjalani pemeriksaan berkali-kali, sebelum akhirnya perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 13 Januari lalu. Kini, kasus Beddu Amang masih dalam tahap persidangan. Adapun menurut Assegaf, salah seorang pengacara Beddu, kerugian yang dituduhkan jaksa itu termasuk kategori pinjaman, dan bukan kerugian negara. "Setelah di-audit tuntas oleh kantor akuntan publik independen yang ditunjuk oleh Ikatan Akuntan Indonesia, disimpulkan tak ada kerugian negara," kata Assegaf kepada TEMPO. Kita tunggu saja, bagaimana kasus ini diselesaikan oleh pengadilan. Wens Manggut, Karaniya Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus