Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Nusantara, Nazi pernah punya pengaruh. Di tanah pembuangan di Banda Neira, Sutan Sjahrir mencatat sebuah keganjilan. Ia menyaksikan seorang istri dokter menyalami teman-temannya dengan salam "Heil Hitler". Sjahrir takjub. Ini pulau terpencil dan amat jauh dari episentrum gerakan fasis Nazi Jerman. Tapi salam sang Fuhrer itu sudah begitu populer.
"Dia (istri dokter itu) merasa salam itu modern dan lucu. Dia tidak mengerti tentang fasisme," tulis Sjahrir dalam catatan bertanggal 16 November 1936.
Pemuda 27 tahun yang kelak menjadi perdana menteri pertama Republik Indonesia itu tak mengira salam yang semula sekadar "tren" itu cepat berubah menjadi gerakan berbasis massa. Tak sampai setahun setelah salam istri dokter itu, atau empat tahun setelah kemenangan Adolf Hitler dalam pemilu Jerman, gelombang fasisme yang melanda Eropa memiliki pendukung gigih di Banda.
Tiap malam Sjahrir didatangi berbagai kelompok untuk mendiskusikan siaran radio yang mereka dengar. Kelompok Islam, tulis Sjahrir, bersikap pro-Hitler dan mengharapkan kedatangan Jepang. Sedangkan kelompok Kristen dikenal anti-Jepang, tapi juga mendukung Hitler. Kedua kelompok sama-sama bersimpati pada Nazi, dan, "yang jelas, perasaan anti-Belanda menjadi semakin kuat dan tersebar luas."
Lewat catatan harian yang kemudian diterbitkan sebagai Renungan Indonesia dan Perjuangan Indonesia itu, Sjahrir mengungkapkan kecemasannya terhadap perjuangan kebangsaan yang "mengambil keuntungan" dari Perang Eropa dan menjalarnya fasisme ke seluruh dunia itu. Ia menilai kelompok-kelompok yang dengan menggebu mendatanginya itu tak tahu bahaya tersembunyi dari fasisme.
Ya, fasisme Hitler pada akhir 1930-an dan awal 1940-an itu begitu menggoda kalangan aktivis pergerakan. Tak hanya di Banda, tapi juga di pelbagai kota di Jawa. Penyerbuan tentara Nazi ke Negeri Belanda pada Mei 1940 dan terusirnya Ratu Wilhelmina ke London, Inggris, menjadi kabar bisik-bisik yang menggembirakan. Penyerbuan itu dianggap sebagai pertanda bakal melemahnya kolonialisme Belanda di Indonesia. Serbuan itu, kata Sjahrir, dianggap sebagai "hukuman dari Yang Mahakuasa kepada penjajah Belanda atas kejahatan dan penindasannya terhadap orang Indonesia".
Di kalangan rakyat, perasaan anti-Belanda bertambah lama bertambah kuat. Sebagian pemimpin pergerakan nasional bahkan menyatakan simpatinya secara terang-terangan terhadap negara-negara yang berporos pada Jerman-Italia. Ramalan Joyoboyo bahwa orang Belanda akan diusir dari Indonesia oleh bangsa berkulit kuning dari Utara pun segera hadir menjadi obrolan dari mulut ke mulut. "Ini ilusi yang hidup di kalangan rakyat banyak bahwa kemerdekaan dapat diharapkan dari bangsa Jepang," ucap Sjahrir.
Ironisnya, "pemujaan" terhadap Nazi Jerman juga terjadi pada sebagian orang Belanda di Indonesia sebelum pecah Perang Eropa pada September 1939. Partai Nazi Belanda (Nasionaal Socialistische Beweging) ternyata memiliki banyak pengikut di kalangan orang-orang Belanda di Indonesia, terutama di jajaran tentara, kepolisian, dan pemerintahan sipil.
Perkembangan yang terjadi di Tanah Air tersebut membuat khawatir aktivis Perhimpoenan Indonesia (PI) di Belanda. Sebagaimana Sjahrir, Hatta, dan para pendiri PI yang mencita-citakan "Indonesia merdeka, sekarang", Parlindoengan Loebis yang memimpin PI sepanjang 1936-1940 menyatakan cita-cita kemerdekaan tak bisa dinodai oleh "fasisme yang ganas".
PI sendiri justru berhadap-hadapan dengan kelompok fasis yang tumbuh cepat setelah Hitler memerintah Jerman. Kelompok ini menganggap dirinya lebih tinggi dari bangsa lain. Mereka kerap bertindak provokatif: mengolok-olok dan mengajak berkelahi aktivis Perhimpoenan. "Kami diejek dengan perkataan pinda, panda, lekker, lekker (pinda, panda, enak-enak)," tulis Parlindoengan.
Bentrok fisik tak pernah terjadi. Ini lantaran anggota PI dibela dan bahkan dikawal kaum buruh Belanda yang condong pada sosialisme dan antikolonial. Perkelahian justru sering terjadi antara kaum buruh dan kelompok fasis Belanda itu, sementara mahasiswa-mahasiswa Indonesia hanya menonton.
Parlindoengan menceritakan, kaum fasisme pernah pula mendekati PI. Pada 1938 mereka diundang oleh kelompok fasis di Jerman untuk mengunjungi perayaan Ferdosi-Abend di Dusseldorf. Ferdosi adalah filsuf Persia, bangsa Aria. Kelompok fasis pendukung Mussolini di Italia juga mengundang PI menghadiri sebuah kongres di Roma. Kedua undangan itu ditolak.
"Perhimpoenan menganggap fasisme sebagai diktatornya kaum kapitalis, di mana kaum pekerja tidak mempunyai hak lagi dan demokrasi diinjak-injak. Sebagai penjajah pun mereka lebih ganas," tulis Parlindoengan.
Tapi fasisme saat itu tak terbendung. Mahasiswa kedokteran di Universitas Leiden itu dari balkon kamarnya menyaksikan bagaimana pesawat-pesawat bercat hitam milik Jerman menyerang Belanda pada 5 Mei 1940, pukul 4 pagi. Dengan cepat, hanya berapa jam kemudian, Waterlinie, daerah pertahanan Belanda di sebelah timur, dapat dipatahkan. "Tentara Belanda tidak mempunyai pengalaman berperang. Banyak serdadu yang berlarian dari front," kata Parlindoengan.
Pendudukan itu, juga pendudukan Jerman di Polandia setahun sebelumnya, berakibat langsung pada nasib mahasiswa Indonesia. Eropa Barat jadi tertutup dari benua lain. Kiriman uang dari Indonesia tak lagi bisa mereka peroleh. Sebagian dari mahasiswa itu kemudian memutuskan pulang melalui pelabuhan di Amsterdam. Sebagian yang lain mulai mendapat kupon jatah makan dari pemerintah Belanda.
Kelangkaan bahan bakar pada 1943-1945 menyebabkan orang-orang Indonesia diserang kelaparan. Untunglah keluarga-keluarga Belanda yang kaya seminggu sekali mengundang makan mahasiswa Indonesia. Orang Indonesia menyebut para penolong itu sebagai "eetvader" (bapak makan).
Penangkapan-penangkapan terjadi. Rezim fasis Jerman di Belanda menangkap tiga orang Indonesia lima hari setelah pendudukan. Mereka adalah pegawai Hindia Belanda yang mendapat cuti ke Negeri Belanda. Mereka ditangkap dengan alasan karena pemerintah Hindia Belanda menangkapi warga Jerman di tanah air. Parlindoengan mengaku heran dengan alasan penangkapan itu. Tapi, akhirnya, ia dan empat kawannya pun ikut ditangkap.
Sejarawan Harry Poeze dari Universitas Leiden dalam pengantar Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi mengatakan, sejak Jerman menyerang Uni Soviet pada Juni 1941, para pemimpin Perhimpoenan sudah diburu para polisi Jerman. "Hubungannya jelas: mereka ini dipandang sebagai orang-orang komunis," kata Poeze.
Poeze menilai, di bawah kepemimpinan Parlindoengan, PI sebenarnya telah lebih melunak. Perhimpoenan, misalnya, lebih memilih bekerja sama dengan kaum sosial demokrat Belanda dari Partai Buruh Sosial-Demokrat (SPAD) ketimbang dengan Partai Komunis Belanda (CPH). Tapi kerja sama itu ditempuh lebih karena alasan taktis. PI tampaknya tetap tak bisa menghapus jejak pemimpin sebelumnya yang condong ke Moskow.
Di bawah kepemimpinan Abdoelmadjid Djojoadhiningrat dan Roestam Effendi pada awal 1930-an, Perhimpoenan berpaling ke kubu komunis. Ini berbeda dari arah semula pada awal 1920-an ketika Perhimpoenan dipimpin Hatta dan Iwa Kusumasumantri, yang menjadikan perhimpunan sebagai wadah merumuskan cita-cita nasionalisme. Akibatnya, PI menjadi terasing dari kaum nasionalis di tanah air dan hampir dianggap organisasi ilegal oleh pemerintah Belanda.
Parlindoengan tampaknya harus bertanggung jawab atas masa lalu pendahulunya. Ia juga mesti bertanggung jawab atas artikel di majalah Perhimpoenan yang memuat persetujuan antara Stalin dan Hitler pada September 1939 saat Polandia dibagi-bagi. Dalam artikel itu disebutkan bahwa Perang Dunia pada akhirnya diselesaikan sebagai perang di antara kaum imperialis.
Ya, Parlindoengan pada akhirnya menjadi korban fasisme yang ia sebut ganas itu.
Yos Rizal Suriaji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo