Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Transaksi Ajaib di Rumah Uang

Sumber dana pembelian cek pelawat masih misteri. Satu rekening khusus diduga menjadi penampungan.

19 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMUTUS rantai" aliran cek pelawat itu meninggal lima tahun lalu. Ferry Yen alias Suhardi Suparman, begitu namanya. Iklan dukacita dipasang dalam setengah halaman koran. Ia tertulis meninggal pada usia 50 tahun. Jenazahnya diperabukan di krematorium Marunda, 11 Januari 2007, empat hari setelah ia meninggal.

Setahun lebih setelah itu, Ferry "hidup" kembali. Namanya disebut-sebut di gedung pengadilan korupsi oleh Budi Santoso, Direktur Keuangan PT First Mujur Plantation and Industry. Perusahaan ini diselidiki karena merupakan asal 480 lembar cek pelawat bernilai Rp 24 miliar yang ditebar ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004, saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Bersaksi di pengadilan tindak pidana korupsi, April 2010, Budi mengatakan perusahaannya membeli cek dari Bank Internasional Indonesia melalui Bank Artha Graha atas pesanan Ferry. "Cek itu untuk membeli lahan perkebunan," kata Budi ketika itu.

Dalam salinan berita acara pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi, Budi bercerita cek pelawat itu merupakan uang muka pembelian lahan kelapa sawit 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Adalah Presiden Direktur First Mujur Hidayat Lukman alias Teddy Uban yang meminta dia mengeluarkan Rp 24 miliar untuk pembayaran.

Menurut Budi, Ferry meminta uang diserahkan dalam bentuk cek pelawat, Rp 50 juta per lembar. Budi memerintahkan stafnya membeli cek dari Bank Internasional Indonesia karena Artha Graha tak mengeluarkan cek jenis itu. Ia mengeluarkan Rp 24 miliar dalam tujuh lembar cek untuk pembelian. Menurut dia, uang berasal dari pencairan kredit berjangka dari Bank Artha Graha. Budi menyebutkan cek diserahkan kepada Ferry segera setelah diterima dari Bank Internasional Indonesia.

Nyatanya, dalam kecepatan kilat, cek itu sudah sampai ke meja Nunun Nurbaetie, pemilik PT Wahana Esa Sejati. Selisih waktu cek diterima First Mujur dengan penerimaan di kantor Nunun hanya dua jam. Beberapa saat kemudian, seperti terungkap dalam dokumen persidangan, Nunun menyuruh salah satu direktur perusahaan itu, Arie Malangjudo, mengantar cek ke sejumlah politikus anggota Dewan periode 1999-2004.

Inilah transaksi ajaib yang masih menjadi misteri dalam perkara suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Dari sejumlah sumber yang ditemui Tempo, ditemukan kejanggalan pertama, yaitu soal waktu. Penyelesaian transaksi pembelian cek dari Bank Artha Graha ke Bank Internasional Indonesia—dikenal dengan istilah real time gross settlement atau RTGS—selesai sekitar pukul 08.00 WIB. Tapi pencairan tujuh lembar cek seperti yang disebutkan Budi Santoso baru dilakukan satu jam lebih setelah itu. "Belum lagi soal cepatnya cek sampai ke Nunun," kata seorang sumber.

Sumber lain yang mengetahui perkara ini tak percaya First Mujur dan Artha Graha—secara harfiah berarti "rumah uang"—tak mengetahui proses perpindahan cek pelawat. Bankir senior ini memastikan tak pernah ada pembelian lahan kelapa sawit dari Ferry Yen oleh First Mujur. "Itu bohong," katanya.

Dari penelusuran lembaga berwenang, ditemukan asal-muasal duit Rp 24 miliar dari Bank Artha Graha cabang Medan. Duit mengalir ke rekening First Mujur, yang juga merupakan anggota grup Artha Graha milik pengusaha Tomy Winata. Di situ disebutkan duit untuk kredit berjangka. Ini kejanggalan kedua: penggunaan utang berjangka untuk membeli cek pelawat. Lazimnya, utang semacam ini digunakan untuk investasi jangka panjang. "Baru kali ini dalam sejarah, kredit berjangka digunakan untuk membeli cek perjalanan," kata seorang sumber.

Ada satu lagi mata rantai yang terputus, yaitu perpindahan cek dari First Mujur ke Nunun Nurbaetie. Sumber Tempo menganalisis, pembelian 480 cek itu sudah dirancang sejak awal sehingga alirannya bisa sangat cepat. "Seperti sudah ada skenario yang disiapkan." Sumber ini juga yakin cek pelawat tak pernah sampai ke tangan Ferry.

Sumber ini menyebutkan besar kemungkinan tak hanya satu kelompok usaha yang memberi "sumbangan" pada saat pemilihan Miranda Swaray Goeltom sebagai deputi gubernur senior. Menurut dia, beberapa kelompok diduga saweran buat membeli cek pelawat. Ia menunjuk adanya satu rekening khusus yang berakhiran 000 di Bank Artha Graha. Isi rekening "nomor cantik" ini belakangan digunakan untuk melunasi "kredit" yang diberikan Artha Graha Medan.

Masalahnya, tak mudah membuka nomor rekening itu. Menurut sumber Tempo, Artha Graha bahkan menolak memberikan akses ke Bank Indonesia untuk menyelidiki transaksi pada rekening ini. "Kalau rekening ini dibuka, pasti ketahuan siapa saja penyumbangnya," seorang sumber menyebutkan.

Bank Artha Graha cabang Medan, yang diduga memberikan kredit berjangka ke First Mujur, tak mau memberi keterangan. "Silakan ke Artha Graha di Jakarta saja. Di sana yang menyetujui," kata anggota staf bernama Lusi.

Manajemen Bank Artha Graha Jakarta juga tak mau memberi keterangan. Wakil Presiden Direktur Artha Graha Wisnu Tjandra tak mengangkat telepon dan tak membalas pesan pendek yang dikirimkan ke telepon selulernya. Adapun Sekretaris Perusahaan Harris C.J. Simbolon, yang semula berjanji memberi keterangan, juga enggan mengangkat telepon. Pemilik Artha Graha, Tomy Winata, menolak menjawab pertanyaan Tempo.

Nunun saat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2008 menyangkal pernah menerima cek pelawat. "Saya tak pernah menerima traveler's cheque dari mana pun," katanya seperti tertulis dalam berita acara pemeriksaan. Ia juga menyangkal pernah melancarkan pemilihan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior.

Lalu siapa Ferry Yen? Kalangan pengusaha kelapa sawit di Sumatera Utara tak mengenalnya. Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Timbas P. Ginting, mengakui tak semua pengusaha sawit bergabung dengan asosiasi itu. Tapi, ia menambahkan, dengan 5.000 hektare lahan sawit—yang disebutkan dijual ke First Mujur—seharusnya Ferry masuk asosiasi. Sebab, anggota asosiasi lazimnya memiliki minimal 200 hektare lahan sawit.

Hidayat Lukman alias Teddy Uban, yang disebutkan bertransaksi dengan Ferry, juga tak dikenal. Pengusaha sawit setempat, Fauzi Hasballah, juga tak mengenal dua nama itu. Kepastian datang dari Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara Aspan Sofian Batubara. Aspan, yang dihubungi Tempo, langsung meminta stafnya mencari dua nama itu. "Setelah dicek, nama itu tak ada," ujarnya.

Linda Suryadi, istri Ferry, kepada Tempo pernah mengatakan tak mengetahui suaminya menjadi pengusaha kelapa sawit. Ia mengatakan Ferry Yen menjadi pedagang. Tapi Linda tak mengetahui apa yang dijual suaminya. "Saya tak tahu aktivitasnya di luar," katanya.

Pramono, Kartika Candra, Rusman Paraqbueq (Jakarta), Soetana Monang Hasibuan (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus