Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MISTARUDDIN sebenarnya cuma seorang murid Madrasah Aliyah Negeri Jamboaye, Aceh Utara. Seumur-umur, rasanya ia tak pernah terlibat urusan dengan polisi. Tapi, Selasa pekan lalu, remaja ini terpaksa menyatroni Markas Kepolisian Resor Aceh Utara di Cunda. "Kami ingin membebaskan teman-teman yang ditahan di sana," tuturnya, lantang.
Sehari sebelumnya, beberapa kawan Mistaruddin memang ditahan polisi karena melakukan konvoi berkeliling kota sambil mengibarkan bendera Aceh Merdeka. Mereka merupakan sebagian kecil dari ribuan siswa sekolah menengah dari pelbagai kecamatan di Aceh Utara yang sejak dua pekan silam rajin berpawai sembari meneriakkan yel-yel referendum.
Malang tak dapat ditolak. Begitu rombongan Mistaruddin dan ribuan anak berseragam sekolah itu tiba di markas yang dituju, aparat keamanan telah menyongsong. Mendadak, situasi pun berubah begitu cepat. Bentrok tak terhindarkan. Letusan terdengar. Seorang siswa STM Bireun bernama Ahmadi dan anggota Brigade Mobil, Prada Pasaran Sihombing, tewas terkena timah panas. Beberapa siswa lain mengalami luka-luka.
Sebetulnya sedang terjadi proses negosiasi antara kedua pihak. Tapi, entah siapa yang menyulut, tiba-tiba tembakan menyalak. "Saat itu saya langsung menyuruh agar semua tiarap," kata Kepala Polisi Resor Aceh Utara, Letkol Pol. Iskandar Hasan. Ia melihat salah seorang anak buahnya tertembak hingga terjengkang di balik pagar. Pelakunya juga melepaskan tembakan ke arah para siswa sekolah menengah itu. Setelah itu, ia langsung kabur ke balik kios di sebelah kantor polisi.
Presiden Habibie memang pernah menyinggung opsi referendum ini saat berkunjung ke sana, 26 Maret silam. Prinsipnya oke, asal disetujui MPR hasil pemilu nanti. Tapi, rakyat setempat, yang sudah berkorban ribuan nyawa akibat kekejaman tentara dan entah berapa triliun rupiah demi pembangunan pusat, rupanya tak puas dengan tawaran itu. Sehingga, tuntutan pun terus dikumandangkan, walau korban berjatuhan.
Duh, Giliran Hatta Rusuh |
Ambon masih membara. Setelah Tual, pekan lalu giliran Hatta, sebuah pulau kecil di sekitar Kepulauan Banda Neira, dilanda rusuh. Pemicunya, lagi-lagi, soal sepele. Seorang warga hendak menggelar pesta pernikahan, lengkap dengan dansa-dansi. Tapi, aparat tak memberi izin. Merasa tidak puas, sekelompok pemuda lalu membuat onar. Mereka melempari rumah penduduk di tengah malam. Rumah Marthin Manusa terbilang paling parah akibat amukan itu. Ia lalu melapor kepada petugas keamanan.
Esok harinya, Selasa lalu, pelaku pelemparan pun diperiksa aparat keamanan. Rupanya salah seorang pemeriksa, Praka Kaswari dari Yonif 731 Kabaresi, ringan tangan menampar pelaku pelemparan itu. Buntutnya bisa ditebak, merasa diperlakukan tidak adil, si pelaku tadi membawa rombongan untuk menyerbu desa tempat Marthin tinggal. Serangan mereka mengakibatkan Dade Umar, 27 tahun, tewas. Sekitar 40 rumah terbakar dan rusak berat. Ratusan penduduk terpaksa mengungsi.
Insiden kemudian juga merembet ke pulau-pulau lain, antara lain Lontar dan Banda. Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Maluku Mayor Jenderal Jekrie Philips menyebutkan ada lima korban meninggal dan seorang luka berat di Lontar. "Ini ulah hasutan kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab," ujar Kepala Kopolisian Daerah Maluku Kolonel Bugis S. Saman kepada Friets Kerlely dari TEMPO. Lagi-lagi ada provokatornya, Pak?
Golkar Masih Curang? |
Kecurangan pemilu sudah mulai tercium. Ini terjadi di Kelurahan Kuin Selatan, Kecamatan Banjar Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ceritanya, Kamis pekan lalu, M. Ramli, seorang petugas pemungutan suara, melaporkan kepada Panitia Pemenangan Pemilu Daerah (Pappuda) PDI Perjuangan bahwa ia melihat seorang petugas pendaftaran pemilih dari Partai Golkar, Mar’i Anton, membawa 35 lembar formulir pendaftaran yang sudah berisi nama dan alamat pemilih.
Padahal formulir yang sudah diisi tersebut mestinya dipegang calon pemilih sesuai nama dan alamat yang tertera. Karena curiga, Ramli lalu mengecek kebenaran nama dan alamat yang ada di formulir itu. Ternyata, kecurigaan Ramli terbukti. Nama dan alamat tersebut fiktif. Sebagai contoh, sebuah formulir atas nama Mursi Atin. Di situ tertulis alamatnya di Jalan Kuin Selatan, Gang Ananda, nomor 49, RT 6, RW 02. Setelah dicek, alamatnya memang benar, tetapi ternyata tak ada yang bernama Mursi di sana.
Namun, Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan Banjar Utara Edwin Fitra Djaja, dalam siaran persnya Kamis silam, buru-buru menjelaskan bahwa kasus tersebut sekadar salah pengertian saja. Ini akibat kurangnya sosialisasi prosedur pendaftaran. Ia juga menegaskan bahwa 35 nama yang tercantum dalam formulir temuan Ramli itu memang benar ada. Hanya saja kini mereka sedang bekerja di sebuah perusahaan kayu lapis di Kabupaten Batola, Kal-Sel dan jarang mudik ke Kuin Utara.
Toh, Wakil Ketua Pappuda PDI Perjuangan, M. Faisal, tak percaya begitu saja. "Saya mengimbau agar rekan-rekan dari partai politik lain segera menurunkan orangnya ke lapangan untuk mengecek pelaksanaan pendaftaran pemilih ini," ujarnya kepada Almin Hatta dari TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo