SAMBIL menyelam minum air. Pepatah itulah yang agaknya dipakai oleh Departemen Kehutanan serta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyiasati kekurangan dana pada saat krisis. Di satu pihak, Departemen Pendidikan kekurangan dana untuk membiayai perguruan tinggi negeri, di lain pihak Departemen Kehutanan punya lahan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang bermasalah. Nah, betul-betul klop.
Secara garis besar, pihak perguruan tinggi negeri (PTN) bisa mengelola HPH dengan memperhatikan aspek lingkungan, misalnya dengan menerjunkan mahasiswa kehutanan di lahan sendiri. "Kalau insinyur kehutanan hanya di kampus, nanti kerjanya main karaoke saja, jiwa forester-nya tidak ada," kata Muslimin Nasution, Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Di lain pihak, dengan pendapatan yang diperoleh dari hutan HPH, kampus diharapkan bisa lebih mandiri. "Agar perguruan tinggi bisa menjadi lembaga yang berkelas dan berkualitas," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Juwono Sudarsono.
Kedua menteri ini, bersama pihak-pihak yang terkait, bertemu pekan lalu dalam rapat kerja nasional antara perguruan tinggi dan pakar kehutanan untuk menggodok model alokasi HPH untuk perguruan tinggi. Sesuai dengan kebijakan restrukturisasi HPH yang digulirkan oleh Menteri Muslimin, sekitar 3,2 juta hektare hutan?dari 11,5 juta hektare hutan yang direstrukturisasi?akan dialokasikan untuk perguruan tinggi, koperasi, dan pondok pesantren. Untuk tahap pertama, 38 PTN akan mendapat jatah maksimal 300 ribu hektare. Sampai saat ini ada tujuh universitas yang sudah menandatangani nota kesepakatan itu.
Ide kampus masuk hutan itu sebenarnya bukan barang baru di dunia pendidikan. Gagasan ini merupakan modifikasi dari land grant college yang dibakukan di Amerika Serikat dalam Federal Morill Acts pada 1862. Dengan model ini?yang kini diterapkan oleh 50 universitas?kebutuhan akan lulusan perguruan tinggi yang terampil di sektor pertanian dan industri bisa terjawab. Universitas pun memiliki penghasilan yang memuaskan.
Kampus masuk hutan pun sebenarnya tidaklah asing di Indonesia. Sejak 1970 beberapa perguruan tinggi yang punya fakultas kehutanan, seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Mulawarman (Unmul) di Samarinda, Kalimantan Timur sudah mendapat kesempatan untuk mendayagunakan HPH. Kemudian ditambah dengan beberapa universitas lain, seperti Universitas Syah Kuala di Aceh dan Universitas Sumatra Utara. Hanya disayangkan, tidak semua pakar kehutanan itu mampu menjalankan pengelolaan HPH.
IPB bisa diajukan sebagai contoh. Karena masih asing dengan bisnis tersebut, HPH mereka di Riau tak terkelola dan akhirnya pada 1987, hutan itu diserahkan pengelolaannya ke sebuah perusahaan HPH, dengan sistem bagi hasil. Untuk setiap meter kubik kayu, IPB mendapat US$ 6 (saat itu sedolar AS hanya bernilai Rp 100) dengan total produksi 40 ribu meter kubik per tahun. Jadi, IPB hanya mendapat Rp 24 juta setahun. Dengan uang sejumlah itu, tentu mustahil untuk memandirikan kampus. "Hanya untuk penelitian, dan itu pun tidak besar-besar," kata Zahrial Coto, Dekan Fakultas Kehutanan IPB.
Nasib serupa terjadi pada HPH milik UGM yang ada di Jambi. Meski mereka telah mendapatkan HPH pada 1970, baru 10 tahun kemudian HPH seluas 50 ribu hektare itu dikelola. Itu pun dilakukan bersama perusahaan HPH. Karena ketidakcocokan dengan perusahaan tersebut, kerja sama tersebut berakhir pada 1995. Walau begitu, dari hasil tersebut, UGM bisa menyimpan dana abadi di Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Jumlahnya? "Ya, ada em-nya lah (maksudnya miliar)," ujar Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sambas Sabarnurdin. Dari bunga dana abadi sebesar Rp 150 juta per tahun itu, fakultas bisa melakukan berbagai penelitian.
Memang, tak semua PTN gagal mengelola HPH-nya. Universitas Sumatra Utara, misalnya, mampu mengurus kebun kelapa sawitnya yang tiap tahun menghasilkan Rp 1 miliar. Uang itu bisa menutup setengah dari kebutuhan biaya operasional pendidikan pascasarjana mereka.
Masalahnya, luas kebun sawit itu hanya 130 hektare. Sangat kecil bila dibandingkan dengan lahan HPH seluas 300 ribu hektare. Apalagi, HPH yang "disumbangkan" untuk universitas-universitas itu berasal dari pengusaha yang sembrono. Tengok saja hutan di Jambi yang sekarang dijatahkan untuk IPB. Sebagian dari lahannya adalah hutan jatah PT Barito Pacific Timber milik Prajogo Pangestu yang manajemen hutannya amburadul. "Sehingga paling banter, kami hanya bisa menerapkan manajemen yang baik (well-managed) saja, bukan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management)," kata Coto.
Sikap berhati-hati seperti itu sebenarnya realistis sekali, karena untuk mampu mengelola hutan secara menguntungkan, pihak PTN minimal harus punya modal kerja dan mitra kerja yang andal. Kalau mendapat mitra kerja perusahaan HPH yang dikelola dengan baik dan cukup berpengalaman, tentu pihak PTN akan diuntungkan. Tapi, jika mitra kerjanya payah, tujuan untuk mandiri secara finansial, ya, tinggal angan-angan.
Bina Bektiati, I.G. Maha Adi, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini