DAGELAN konyol yang biasa dijumpai di panggung-panggung lawak belakangan bisa "ditonton" di gedung pengadilan. Kasus bekas Kepala Bulog Beddu Amang adalah satu contoh "tontonan" itu. Beddu bisa lepas (sementara) dari perkara korupsi Rp 95 miliar menyangkut ruilslag Bulog dan Goro setelah putusan sela dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Majelis hakim berpendapat?antara lain?bahwa Beddu Amang sebagai anggota MPR harus diperiksa setelah ada izin dari presiden. Jaksa memang punya surat dari Sekretariat Negara. Tapi, lucunya, surat Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung yang diajukan jaksa hanya berisi keterangan bahwa Beddu adalah anggota MPR, tak sepotong kalimat pun menyebut kata "izin". Apalagi "surat keterangan" itu malah ditembuskan ke presiden, jadi menguatkan fakta bahwa itu sama sekali bukan izin presiden. Inilah poin yang paling mengocok perut: bagaimana mungkin pihak Kejaksaan Agung yang memeriksa Beddu Amang setiap dua minggu itu sampai tak meminta izin Presiden? Padahal, semua orang tahu, anggota MPR harus mendapat izin Presiden jika berurusan dengan perkara pidana. Juru Bicara Kejaksaan, Soehandoyo, punya jawaban: Beddu tak mencantumkan keanggotaan MPR itu dalam daftar identitas pekerjaan. Itu berarti begini: kalau Beddu tak "mengaku sebagai anggota MPR", ya, boleh dong kejaksaan tidak tahu. Waduh.
Di antara sekian kasus, kasus Beddu menyiratkan satu hal penting: dunia peradilan di sini masih jauh dari rasa keadilan orang banyak. Dan itu bukan berarti salah para hakim. Bisa saja, salah pengusut yang tidak serius. Terutama pada Soeharto, mantan Presiden yang sudah setahun ini turun takhta, hukum masih kelihatan "tunduk" jika berhadapan dengan kasus-kasus seputar kroninya, termasuk kasus Bulog-Goro ini. Penegakan hukum selalu saja dibarter dengan negosiasi yang menguntungkan para kroni itu. Kasus korupsi dana cengkeh senilai Rp 115,7 miliar yang menyebabkan terdakwa Nurdin Halid, anggota DPR dari Golkar, bebas adalah contoh lain. Kasus dana reboisasi hutan yang dipinjamkan ke pengusaha Bob Hasan dan IPTN adalah contoh yang lain lagi. Ingat, itu baru kroninya. Bagaimana Soehartonya? Baru sekali "ditanya-tanya" kejaksaan, pemeriksaan kasus Soeharto sampai berita ini turun boleh dikata macet. Dan sulit mengatakan bahwa Kejaksaan Agung tak punya andil dalam "kemacetan" itu.
Lihatlah kasus ruilslag Bulog-Goro tadi. Ketika Bulog menunjuk Goro sebagai pelaksana ruilslag gudang Bulog di Kelapa Gading dengan tanah di Marunda saja, penyelewengan sudah terjadi. Walau dideking surat persetujuan Presiden Soeharto yang keluar 11 Oktober 1995, penunjukan Goro bertentangan dengan Keppres Nomor 16/1994 atau Nomor 24/1995 (juga diteken Soeharto) yang mengharuskan dilakukan lelang (tender) untuk jasa pemborong di atas Rp 1 miliar. Pelanggaran lain atas Surat Keputusan Menteri Keuangan: peserta tender harus lima pihak, Goro hanya pemain tunggal. Lalu, pemenang tender wajib membangun bangunan dan fasilitas pengganti, Goro bahkan tak mampu membebaskan tanah. Pelanggaran prosedur ini bisa mengundang ancaman pidana.
Praktek ruilslag Bulog-Goro juga compang-camping. Gudang Bulog di Kelapa Gading sudah dibongkar Goro, tapi tanah pengganti untuk Bulog di Marunda belum siap. Akhirnya Goro minta kredit Rp 20 miliar dari Bukopin untuk membebaskan tanah. Ajaibnya, kredit untuk Goro itu dijamin dengan deposito Bulog. Kredit ini belakangan macet dan Bukopin mencairkan deposito Bulog. Jelaslah sampai di sini Bulog dirugikan.
Pembebasan 150 hektare tanah di Marunda seret. Goro menyerah dan menunjuk Hokiarto, mitra Goro yang pemilik Bank Hokindo, untuk membebaskan tanah. Untuk tahap pertama seluas 60 hektare, Goro mengucurkan Rp 20 miliar. Ternyata Hokiarto hanya menerima Rp 16,25 miliar pada 19 Agustus 1996. Ke mana sisa yang Rp 3,75 miliar? Sebuah tim mengabarkan bahwa para tersangka kasus Bulog-Goro ini mendapat "jatah" yang tak sedikit. Ditemukan ada seorang komisaris Goro yang kemudian mengembalikan uang komisi Rp 625 juta saat Kejaksaan Agung mulai memeriksa kasus ini. Semua patgulipat ini ditaksir merugikan Bulog sebagai perusahaan milik negara sebesar Rp 95 miliar dan karena itu Kejaksaan Agung turun tangan.
Kejanggalan demi kejanggalan terlihat jelas dalam kasus ini. Umpamanya, mengapa pada 3 Maret 1999 Kepala Bulog (baru) Rahardi Ramelan justru membatalkan ruilslag ini. Rahardi mengatakan bahwa Bulog tak dirugikan dengan ruilslag itu. Tanah Bulog seluas 8 hektare di Kelapa Gading itu diubah Rahardi menjadi penyertaan modal Bulog di Goro atau diperlakukan seperti sewa-menyewa. Kalau jalan negosiasi yang biasa ditempuh Orde Baru itu dianggap membereskan soal ini, bukankah itu tak cukup untuk menghapuskan tindak pidana korupsi yang sudah terjadi? Jika trio kroni itu?Beddu Amang, Tommy Soeharto, Ricardo Gelael?kelak melenggang bebas begitu saja, itulah pertanda bahwa hukum memang tetap berada di tangan "mereka".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini