Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMIS, 7 November 2002. Malam itu suasana di rumah Presiden (waktu itu) Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar No. 27, Menteng, Jakarta Pusat, gerah. Rapat kabinet terbatas digelar dengan agenda ihwal pembebasan pemilik bank dari tuntutan hukum. Terjadi perdebatan sengit di antara para petinggi pemerintahan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (waktu itu) Kwik Kian Gie paling getol menolak pemberian release and discharge kepada pemilik bank. Kwik ngotot meminta agar perjanjian master of settlement and acquisition agreement (MSAA) direvisi. Namun, Kepala BPPN Syafruddin Temenggung dan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti berkukuh, perjanjian MSAA dijalankan apa adanya.
Dorodjatun, sebagai komandan tim ekonomi dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), harus bekerja keras. Usia pemerintahan Megawati tinggal dua tahun, sedangkan nasib PKPS tak juga jelas. Setelah secara maraton berulang kali membahas di sidang kabinet, pada 30 Desember 2002 pemerintah akhirnya memutuskan memberi kepastian hukum kepada pemilik bank yang kooperatif membayar utangnya.
Lalu ditekenlah Instruksi Presiden Nomor 8/2002. ”Saat itu, kami harus bertindak cepat,” ujar pria berusia 68 tahun tersebut saat ditemui di Hotel Arya Duta, Jakarta, pekan lalu. Mengapa pemerintah saat itu berani menerbitkan surat lunas utang bagi pengemplang kakap meski mereka membayar jauh di bawah angka nominal yang semestinya? Berikut penjelasan Dorodjatun:
Mengapa KKSK merekomendasi BPPN mengeluarkan surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim?
Pada masa Presiden B.J. Habibie, pemerintah memutuskan kebijakan master of settlement and acquisition agreement (MSAA) atau perjanjian penyelesaian kewajiban dengan penyerahan aset kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). MSAA didasarkan pada penyelesaian di luar pengadilan. Pemegang saham bank tentu yakin, mereka tidak akan meneken MSAA jika tidak dimasukkan release and discharge atau bebas dari tuntutan hukum.
Mengapa mengacu pada MSAA?
Itu sudah masuk perjanjian. Pada masa pemerintah Mega, ketika menjabat Ketua KKSK, saya hanya menyatakan, upaya terbaik dan maksimal telah dilakukan. Kami sudah melihat dokumen dan saksi-saksi. Itu juga tertuang dalam perjanjian dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bahwa masalah penyelesaian kewajiban pemegang saham bank (PKPS) harus selesai pada Desember 2003. Malahan dengan IMF seharusnya selesai pada 2002, tapi terpaksa diperpanjang.
Bukankah ada temuan tim Forsat (Divisi Investigasi BPPN) tentang beberapa kejanggalan penyerahan aset Sjamsul?
Waktu itu penyelesaian PKPS sudah melalui jalur legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Itu juga sudah dilaporkan dalam pidato tahunan Presiden pada saat menyampaikan Nota Keuangan Anggaran Negara ke DPR. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah mengaudit. Ada pula audit internal BPPN dan Komite Pengawas yang dipimpin Mar’ie Muhammad, mantan Menteri Keuangan.
Benarkah Komite Pengawas BPPN pernah merekomendasi soal kecurangan Sjamsul?
Itu kalau diketahui ada indikasi pidananya, tapi ini mengacu pada penyelesaian perdata. Itulah susahnya. Tapi, soal tindak pidana yang tidak terkait perjanjian MSAA, harus dikejar sendiri.
Adakah indikasi kerugian negara?
Iya, tapi waktu itu (saat MSAA diteken) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum ada. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) baru didirikan menjelang berakhirnya pemerintahan Megawati. Saya bukan mencari dalih, tapi rambu-rambunya waktu itu begitu.
Bukankah Komite Pengawas BPPN pernah meminta kasus Sjamsul diusut?
Saya tidak ingat. Silakan tanya ke Mar’ie. KKSK juga dibantu tim dari lembaga hukum yang anggotanya tidak sembarangan, seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Ruang lingkup kerja KKSK bukan soal pidana, tetapi perdata. Namanya juga out of court settlement.
Sjamsul bertindak kooperatif?
Bagi kami, sejauh ia mengikuti perjanjian MSAA, itu yang diperiksa. Kalaupun ada persoalan sekarang ini, seperti kasus tambak udang Dipasena, itu kan aset yang harus dibersihkan dan diserahkan ke PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA). Sebab, kami tidak bisa menjual pada harga yang diminta orang (di bawah harga dasar). Kami tidak berani jual sehingga diserahkan ke PPA.
Bagaimana proses pengambilan keputusan soal pemberian surat keterangan lunas itu?
BPPN, Komite Pengawas, tim bantuan hukum, KKSK, semua terlibat hingga akhirnya diberikan surat keterangan lunas. Surat itu diteken Kepala BPPN saat itu, Syafruddin A. Temenggung.
Kalau ada tindak pidana?
Kalau sekarang diketahui ada tindak pidana (tidak terkait PKPS), silakan dikejar. Apalagi, banyak sekali persoalan yang tidak selesai begitu saja.
H.S. Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo