Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Marzuki Darusman: Sampai Kapan pun Bisa Digugat

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEJAK Marzuki Darusman, 62 tahun, di Kejaksaan Agung tak pernah lepas dari bayang-bayang kontroversi kasus Sjamsul Nursalim. Di masa kepemimpinannya (1999-2001), sang taipan pernah masuk bui. Tapi di masanya pulalah Sjamsul lolos dari jerat hukum dan memilih ”mondok” di Singapura, setelah diizinkan berobat ke luar negeri.

Marzuki pernah pula berkirim surat ke Departemen Kehakiman Amerika Serikat tujuh tahun silam agar dibantu melacak aset Nursalim. Bagaimana duduk perkara sebenarnya, politisi Partai Golkar ini menuturkannya kepada Metta Dharmasaputra dari Tempo dalam perbincangan di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis petang pekan lalu. Petikannya:

Bisa diceritakan surat Anda ke Amerika?

Itu sebetulnya belum surat resmi, baru berupa bahan untuk kunjungan ke Amerika. Percuma mengirim surat kalau tidak ada payung kerja sama.

Maksudnya?

Pada waktu itu, pemeriksaan kami sudah sampai tingkat penyidikan yang memungkinkan untuk memonitor transaksi dolar. Kalau mau membongkar aliran dana, harus minta bantuan bank sentral Amerika. Untuk itu, perlu ada perjanjian antara pemerintah dan Amerika agar mereka bisa membantu kita melalui Fincen (Financial Crimes Enforcement Network). Dasar kami adalah hasil analisis Forsat.

Siapa yang ditemui di sana?

Janet Reno, Jaksa Agung Amerika. Dia menyatakan siap membantu.

Mengapa tak berlanjut?

Ada komplikasi politik saat itu. Gus Dur mendapat tekanan yang tinggi, sehingga saya pun mengalami tekanan harus menangkap orang sebanyak-banyaknya. Padahal bukan begitu semestinya memberantas korupsi.

Implikasinya untuk kasus Sjamsul?

Kasus ini dianggap hanya bagian kecil, sehingga kami tidak fokus menanganinya. Apalagi ada perlawanan dalam bentuk akses politik ke lingkungan pemerintahan. Tapi saya tidak mau menuduh siapa-siapa.

Sampai ke lingkaran Istana?

Itu setelah Gus Dur jatuh. Pada masa Presiden Megawati, kita lihat akhirnya Sjamsul mendapatkan release and discharge (pengampunan). Ini menggambarkan pemerintah menganggap tak ada persoalan dengan Sjamsul yang pernah menetap di Singapura.

Bukankah izin berobat dikeluarkan semasa kepemimpinan Anda?

Betul. Sebelumnya, saat dicekal Departemen Keuangan, dia juga sudah berobat dua kali dan kooperatif. Tidak ada masalah.

Meski dicekal, boleh ke luar negeri?

Boleh, dong. Pertimbangan medis memungkinkan dia dirawat di Jepang. Menurut peraturan, ada pertimbangan keagamaan dan kesehatan.

Kemungkinan kabur?

Pegangan kami adalah jaminan Adnan Buyung Nasution, pengacaranya, dan Itjih Nursalim, istri Sjamsul. Jadi tidak ada alasan untuk khawatir. Lagi pula penahanannya untuk penyidikan, bukan penuntutan. Tapi kemudian dia terguncang saat akan kembali ke Indonesia karena ada pergantian Jaksa Agung dari saya ke (almarhum) Baharuddin Lopa.

Maksudnya?

Saya bisa mengerti Pak Lopa juga di bawah tekanan publik. Dia membuat pernyataan Sjamsul akan ditangkap sepulangnya ke Tanah Air. Para konglomerat merasa kerja sama dengan pemerintah ternyata tidak membuahkan hasil. Jadi, ada pergeseran. Pak Lopa ke arah represi, sedangkan saya restorasi keadilan. Dia mengatakan utamanya adalah melakukan hukuman, dan pemulangan uang nomor dua. Karena itu, Sjamsul tak jadi pulang.

Adnan Buyung dan Itjih harus bertanggung jawab?

Seharusnya begitu. Bentuk pertanggungjawaban itu bisa berupa jaminan uang atau jaminan lain, yang bisa memaksa Sjamsul pulang, seperti penyitaan perusahaan. Tapi proses pertanggungjawaban tidak pernah ada. (Adnan Buyung melalui asistennya, Bunga Surawijaya, menolak berkomentar. ”Kasus Nursalim sudah ditutup, utangnya sudah lunas berdasarkan skema MSAA,” kata Bunga kepada Muchamad Nafi dari Tempo. Ia juga membantah Buyung memberikan jaminan. ”Marzuki sendiri yang mengizinkan,” ujarnya.)

Bagaimana Anda menyikapi release and discharge?

Kejaksaan Agung tidak pernah mengakuinya. Kami menganggap telah terjadi pelanggaran pidana.

Jadi, tidak bisa konglomerat bebas dari jerat pidana?

Kejaksaan Agung, dengan keputusan presiden, memungkinkan untuk mendeponir perkara kalau pengembalian uangnya cukup substantif bagi negara. Tapi itu pun kalau sudah ada undang-undang yang mengakui R & D.

Bagaimana dengan kasus Sjamsul?

Kejaksaan Agung harus menyimpulkan dulu ada-tidaknya tindak pidana. Tapi kesimpulan itu belum pernah ada.

Bukankah kejaksaan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan?

SP3 itu berarti tidak cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan. Ini tidak sama dengan deponir. Jadi, sampai kapan pun, masalah R & D bisa digugat kembali.

Kejaksaan berencana mengkaji ulang kasus BLBI. Saran Anda?

Gugat R & D. Atas dasar apa itu diberikan. Kalau tidak ada deponir, kasus harus dilanjutkan. Tapi masalahnya tidak ada yang mau mendeponir, karena risiko politiknya tinggi.

Peluang membatalkan surat lunas?

Sangat terbuka. Sebab, itu baru keputusan politik Presiden Megawati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus