Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dosakah Mereka yang Lari

Kisah kawin lari di beberapa daerah, seperti Lombok, Bugis-Makassar, dan Bali. Mereka kawin lari karena tidak mendapat restu.

8 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA merah magrib di langit barat menggelap, parang-parang mulai dihunus. Sekitar empat puluh orang mengepung sebuah rumah di Desa Ranggagata, Lombok Tengah. Mereka nampak siap untuk melabrak. Inilah langkah cinta. Marjan Rifa'i, lelaki yang terpanah asmara itu, kemudian bertindak. Dia menarik tangan kekasihnya, Mariati, pergi menembus gelap, melintasi persawahan dan kampung. Dia tak gentar pada apa yang akan terjadi. Dia tak peduli pada heboh dan kemarahan keluarga Mariati. Dia hanya punya satu pilihan: lari, lari, dan lari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Suasananya seperti mau ngrampok saja," kata Marjan, mengisahkan kejadian menegangkan--13 tahun lalu--yang kini diceritakannya sambil tertawa. Sebenarnya, bukan hanya "seperti mau ngrampok", Marjan memang "ngrampok beneran" untuk bisa memenuhi keinginan kawin: merampok gadis. Yang membuatnya tak disebut sebagai rampok, bersama ke-40 orang kawannya itu, adalah karena gebrakan itu disetujui sang gadis. Dua M--Marjan dan Mariati--memang telah sepakat untuk kawin lari. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa seorang sarjana, seperti Marjan, kawin lari? Apa boleh buat, lulusan IKIP yang kini berusia 35 tahun ini bersaing dengan tujuh Romeo. Di tengah persaingan sengit, Mariati menjatuhkan pilihan, lalu mereka diam-diam pacaran--walaupun hanya selama dua minggu. Apa daya, ayah Mariati tak setuju. Marjan-Mariati pun terpaksa memilih jalan pintas. Malang, dua kali mencoba, dua kali gagal. Maka, Marjan mengerahkan kawan-kawannya untuk usaha ketiga.

Bahwa di dunia setua begini, kawin lari ternyata masih terjadi memang cukup mengherankan. Bukan hanya dilakukan Marjan, tapi juga oleh Adrian, Ilham, Kamaluddin, serta sederet nama lainnya. Saling mencintai saja ternyata belum meluruskan pernikahan. Seribu satu rambu masih terus menghambat bahtera di pelabuhan-pelabuhan cinta. Syukurlah, adat tak membiarkan anak-cucunya telantar. Baik adat Bali, Lombok, Bugis-Makassar, atau adat suku lain menyediakan akal yang mujarab. Orang Bali menyebutnya "ngerorot" atau "ngerangkat". Suku Sasak--penduduk Pulau Lombok menamakannya "merariq" sedang dalam bahasa Bugis atau Makassar sama-sama "silariang". Lalu para lajang yang ngebet kawin itu berhasil mendaratkan cinta mereka dengan restu adat. Demikianlah kawin lari tak selalu mengerikan. Karena adat menciptakan kawin lari sebagai pemecahan jalan yang sudah buntu. Dengan memenuhi beberapa ketentuan, cinta yang terjegal tetap bisa diafdalkan. 

Alasan utama kawin lari umumnya karena orangtua ogah menerima calon menantunya. Tetapi apa dasar penolakan itu acap berliku-liku.

Para orangtua memiliki idola masing-masing dalam memilih menantu. Di samping itu, beragam daerah, beraneka pula persoalan para orangtua yang melatarbelakangi keputusan mereka. Bila kemudian ada pasangan yang lari, tak heran alasannya bukan hanya semata-mata karena orangtua tak suka, tetapi karena beberapa persyaratan lain.

Alasan yang lumrah adalah perbedaan status sosial. Ini terasa pada masyarakat yang menganut garis bapak (patrilineal), yang punya lapis-lapis sosial ketat. Mau mempersunting seorang gadis dari kelas bangsawan tak mudah, kalau Anda bukan bangsawan. Terpaksa kawin lari. Sulit, Kawan. Lihatlah bagaimana misalnya keluarga Arab "sayid" acap emoh bermenantukan mereka yang bukan "sayid".

Seorang bangsawan Sasak yang kini menjadi Kepala Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan pada Kantor Wilayah P Dan K Nusa Tenggara Barat, Lalu Wacana, berkisah, "Dulu," katanya, "wanita golongan 'menak' tidak boleh kawin dengan laki-laki dari golongan orang kebanyakan atau 'kawula'.". Yang dimaksud "menak" adalah orang-orang bergelar "raden" dan "lalu"--di beberapa tempat ada pula sebutan "bapa"--atau "puling". Status itu jelas berbeda dengan golongan kebanyakan yang disebut "kawula" atau "jajar karang".

Keadaan serupa terdapat di Bali, yang masyarakatnya mengenal susunan kasta. Bahkan di Sulawesi Selatan yang tak mengenal kasta, status kebangsawanan pun ada. Masyarakat Makassar mengenal turunan "karaeng" di Bugis ada turunan "petta" yang lalu bersebutan "andi"--misalnya Andi Meriem Mattalatta di Mandar dan Toraja ada "puang" dan "lai". Hampir mustahil--apalagi di masa lalu pemuda dari keluarga. kebanyakan menikahi gadis-gadis bangsawan itu.

Nekat melanggar, hukumannya pasti. Hingga tahun 50-an, menurut Lalu Wacana, di Lombok dosa melintasi tabu itu akan dihajar dengan apa yang disebut "teselong": diusir ke luar kampung. Sebuah hukuman yang menyedihkan waktu itu. Sekarang pun semacam pengusiran ringan--dikucilkan keluarga--bila pengantin lelaki kalah status masih saja terjadi. Di Mataram, Baiq Ernawati anak bangsawan ditendang dari daftar keluarga lantaran dia nekat kawin dengan Jaelani Mustafa, Juli 1986 lalu walaupun untuk pernikahan itu, yang diawali kawin lari, keluarga Ernawati tetap mengirimkan wali.

Ernawati-Jaelani sebenarnya cukup beruntung. Di masa silam "pendosa" macam mereka tak punya waktu untuk bersedih karena masyarakat langsung menjatuhkan hukuman mati. Kadang dengan cara yang dramatis: melemparkan keduanya ke laut.

Masyarakat Sasak sulit menerima lelaki "luar" sebagai menantu. Biasanya mereka lebih suka bermenantukan keponakan sendiri. Perjodohan begini, menurut para tetua adat, dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keluarga atau agar warisan tidak pecah. Maka, acap seorang pemuda langsung merasa menjadi bakal suami saudari sepupunya. Dalam keadaan seperti itu, tak ada pilihan buat lain selain mengajak gadis idamannya "merariq".

Di beberapa daerah, kawin lari terjadi karena pihak laki-laki tak cukup punya biaya untuk menempuh cara baik-baik. Sampai sekarang banyak orang di Sulawesi Selatan mengukur harga dirinya selaku orangtua anak gadis dengan jumlah uang atau perhiasan yang harus dibayar pihak laki-laki. Sering permintaan pihak gadis kelewat tinggi. Ini yang melahirkan "silariang". Kasus serupa juga terjadi di Nias, ketika calon lelaki dituntut untuk menyediakan sekian banyak babi. Pada masyarakat Bali yang relatif banyak berhubungan dengan kehidupan modern pun, kasus begini masih terjadi.

Sama-sama di luar persetujuan orangtua, kawin lari ada yang agak terhormat ada yang sangat tidak terhormat. Yang kedua ini, di lingkungan Bugis-Makassar, penyebabnya adalah seks. Yakni bila kedua remaja yang berkasihan telah bersebadan dan membuahkan kehamilan. Mengadu pada orangtua tak mungkin. Ini soal "siri". Dan di sana "siri" adalah jalan terpendek menuju kematian di ujung badik. "Ipo tua ipo mate," kata para tetua adat. Dengan "siri" orang hidup, dengan "siri" orang mati. Pilihan satu-satunya bagi mereka adalah lari. Kawin lari menjadi semacam upaya menyelesaikan rasa malu dengan dalam tanda kutip lebih bijaksana. 

Napas kebijaksaan adat di dalam kawin lari makin jelas, kalau kita simak bahwa lembaga tersebut tidak hanya ditempuh oleh gadis yang pilihannya ditolak orangtua. Kawin lari juga dilakukan oleh mereka yang bercinta atas restu orangtua. Masyarakat Lombok misalnya mengenal apa yang disebut "merariq". Orangtua si gadis tidak menghalangi anaknya dibawa "merariq", malah merekalah yang mengotakinya. Pelarian di sana tidak lagi menjadi kisah pahit.

Semakin banyak saudara laki-laki seorang ayah gadis--dan banyak keponakannya yang telah perjaka -semakin besar peluang ayah itu menyuruh anaknya "merariq". Bisa jadi dia suka bermenantukan keponakan. Tetapi memilih salah satu keponakan berarti menyingkirkan keponakan yang lain. Kekerabatan bisa retak. Tak ada pilihan lain yang lebih baik bagi ayah itu selain mempersilakan anaknya "merariq" dengan pemuda pilihan sendiri, sementara dia berpura-pura tak tahu. Cara ini pun dipilih bila dia tak suka bermenantukan keponakan sendiri, yang, demi keutuhan keluarga, dia tak mungkin berkata tidak. 

Beberapa gadis lebih suka di-"merariq" ketimbang kawin biasa. Bila seorang dara beranjak matang, sejumlah pemuda pengincarnya akan bertandang. Apel gaya Lombok ini disebut "midang", selalu djlakukan malam hari. Pada masa lalu si gadis akan menyuguhkan kotak rokok dan sirih pinang pada pemuda yang pertama bertandang. Bila ada pemuda lain datang, yang apel pertama akan mengembalikan kotak rokok dan sirih pinang pada gadisnya. Baru si gadis akan memberikan suguhan itu pada yang baru datang.

Memberikan langsung suguhan pada pesaing--tanpa lewat tangan gadis? Wah, jangan. Ini menyulut perselisihan. Sebab, itu sama halnya menghalangi pesaing memperoleh pelayanan dari cewek yang diincarnya. Walaupun, tentu, ketersinggungan tak akan diperlihatkan di situ. Selain tabu menurut adat, gengsi dong berantem di depan cewek.

Dari sekian banyak pengapel, tak tampak jelas siapa yang akan beruntung. Seorang gadis akan selalu--dan wajib--ramah dan melayani sama terhadap semua yang datang. Siapa pun dia. Sekalipun mungkin gadis itu telah memilih jantung hatinya. Tak jarang bila setiap petandang sama-sama merasa diberi hati, sama-sama merasa berhak memiliki.

Menurut Muchali, Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram, setelah si gadis menetapkan pilihannya, "kerahasiaan hubungan mereka dijaga ketat." Sampai ada kesepakatan antara keduanya untuk kawin lari. Terang-terangan berpacaran atau bertunangan tak mungkin. Adat hanya mengenal pertunangan antarkeluarga. Lagi pula, dengan cara begitu, si gadis harus menolak petandang lain. Itu juga tak dibenarkan masyarakat: hanya akan menimbulkan sakit hati orang lain. Daripada repot-repot menghadapi banyak orang untuk menjelaskan sikapnya, sang cewek meminta pemuda pilihannya agar membawanya pergi. Perkawinan Muchali pun dulu, tahun 1976, demikian.

Ketika matahari menghilang dan bulan belum muncul, ketika orang-orang sedang khusyuk berzikir atau salat di surau, bila sejoli telah bersepakat, mulailah adegan mendebarkan itu. Si perjaka mendekati rumah gadisnya, mengendap. Si cewek keluar rumah, menyelinap. Hanya ada satu kata yang layak dinasihatkan pada mereka: hati-hati.

Di Lombok, pelaku kawin lari tak harus terlalu hati-hati terhadap keluarga pihak wanita. Musuh utamanya justru pemuda lain yang pernah "midang" dan juga merasa memiliki gadis itu. Bila mereka kebetulan berpapasan, dan musuh cukup punya nyali, rampas-merampas dan bahkan pertumpahan darah bukan tak mungkin mewarnai "merariq". Inilah saat sang gadis merasa berdiri di atas bara. Sebab, siapa pun yang menang dalam perebutan itu, ia hanya bisa pasrah dan menurut. Walaupun mungkin pemenangnya bukan pemuda pilihannya. Kembali ke rumah saat itu? Tak mungkin. Pantang, kata adat, seperti juga pantang bagi orangtua menampung kembali anak gadisnya yang "merariq".

Karena wanita yang sudah "merariq" pantang balik ke rumahnya, Romeo-Romeo kita pun harus konsekuen. Tetapi apa yang terjadi pada bulan Maret yang lalu sungguh lucu. Hakim Lalu Mariyun sempat menghukum Erfan 21 hari. Romeo ini dipersalahkan membawa lari seorang janda asal Praya, tetapi kemudian membatalkan mengawininya. Lho, kenapa, Fan? "Habis saya tak punya uang, dan tak mendapat izin istri," dalih Erfan. Eh...katanya masih bujang. 

Di Bali pun, kawin lari tidak selamanya berarti jalan terakhir setelah buntu. Ada orang merasa dirinya lebih jantan, kalau berhasil menggondol kekasihnya dengan cara melarikan. Ada semacam romantika, keasyikan psikologis, yang mendorong langkah itu diambil. Kadangkala keputusan itu dilaksanakan oleh kedua mempelai dengan perhitungan ekonomi dan efisiensi. Kalau dirasa pernikahan melalui jalan peminangan akan menjadi bertele-tele dalam kehidupan yang sudah makin cepat ini kalau berbagai upacara dianggap akan menghamburkan terlalu banyak duit ekstra orangtua para gadis sendiri menganjurkan agar anak perawannya dilarikan saja. Dan hukum melindungi tindakan yang dramatis itu, asal yang melakukannya benar-benar atas dasar suka sama suka. Perlu diingat ada yang disebut "melegandang", pernikahan yang kemudian mau tak mau dilakukan, karena sang lelaki "berhasil" merampas kehormatan wanita idamannya. Jalan ini biasanya ditempuh oleh lelaki yang tertolak. Tapi lebih baik jangan mencoba. Gaya ini tak direstui adat dan hanya tinggal dalam cerita-cerita.

Pada masyarakat Bugis-Makassar bukan hanya pengucilan dan cercaan yang membayangbayangi kasus kawin lari. Tapi juga kemungkinan bersimbahnya darah dan kematian. Bagi pihak wanita, "silariang" adalah pembuat onar, pencoreng muka keluarga. Maka, pelakunya layak mendapat "pelajaran". Sebaliknya bagi keluarga lelaki--walaupun mereka sering, atau berpura-pura, tak tahu-menahu--mereka bangga anak atau saudara lelakinya membawa lari gadis untuk dikawin. Bagi mereka, itu sikap gagah: berani menanggung risiko apa pun. Sekalipun kematian.

Akibat tersinggung soal anak gadis, di Sulawesi Selatan memang kelewatan. Dengarlah kisah Pananrangi Hamid dari Balai Kajian dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan provinsi itu. Di Kabupaten Jeneponto, kata Pananrangi, dari 30 kasus pembunuhan di tahun 1970-an, 80 persen di antaranya lantaran "siri" soal wanita. Ketika dia meneliti kasus-kasus kawin lari di Kecamatan Bangkala, Jeneponto, mata badik pun sempat mengancamnya.

Persoalannya sederhana. Selama meneliti, Pananrangi tak punya pilihan tempat menginap selain di rumah mahasiswinya. Padahal, biasanya, tabu bagi orangtua membiarkan laki-laki lain menginap di rumahnya sampai beberapa malam bila dia mempunyai anak gadis. Pananrangi merasa tak enak melanggar kebiasaan itu. Maka, dia banyak mengajak berbincang orangtua mahasiswinya, untuk mengenakkan suasana.

Berhasil? Sementara ya, tapi belum. Selagi dia duduk di teras, anak lelaki tuan rumah datang membawa ayam jantan. Di depan Pananrangi, anak muda itu menghunus badiknya dan..srettt... dengan cepat badik menyabet leher ayam. Tanpa sempat berkotek, ayam kehilangan kepala. Dan sang pembunuh berlalu begitu saja seolah tidak pernah melakukan apa-apa. Pananrangi paham isyarat apa yang ditujukan buatnya. "Jangankan membawa lari saudaraku, meng-'gombali' saja kau akan bernasib macam ayam itu." 

Tetapi asmara memang nekat. Dengan ancaman macam itu pun masih ada yang tak ragu-ragu menerobos. Bila seorang gadis dijemput di rumahnya, dan diajak lari, ayah atau saudara gadis itu biasanya akan berusaha mengejar. Tertangkap berarti si lelaki mati--kadang sekalian dengan anak perempuannya. Bila toh lolos, dendam itu akan selalu disimpan. Kapan pun mereka ditemukan, berapa tahun pun setelah "silariang" terjadi, badik masih selalu siap minum darah. Paling tidak mereka akan membikin kenduri, mengadakan "ripalumpangi tanah", menganggap anaknya telah hilang tertutup tanah, dan tak akan pernah mau menerimanya kembali. Beberapa keluarga setuju berdamai dengan tata cara tertentu yang disebut "abaji".

Pada masa lampau, bukan hanya keluarga yang menghukum. Masyarakat yang bersimpati pada keluarga gadis itu pun serta. Seperti yang dikatakan Abdul Azyz Hafid--Kepala Taman Budaya Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan provinsi itu--masyarakat akan menenggelamkan pasangan kawin lari tersebut ke laut. Persis seperti apa yang terjadi di Lombok.

Yang tanpa ampun adalah bila wanita menempuh "erangkale kalotoro". Dalam kasus ini seorang wanita lari dari rumah, lalu berlindung di rumah imam desa. Di situ dia menunjuk laki-laki yang dia maui menjadi suaminya. Sampai di sini betapa bijaksananya adat dalam memberikan kebebasan memilih dan bertindak buat kaum wanita. Tapi apa yang akan terjadi kalau laki-laki yang ditunjuk menolak. Payah. Wanita itu hanya punya satu pilihan: "nyala"--minggat sejauh-jauhnya. Pulang ke rumah hanya akan bearti mengantar nyawa. Bahkan ke mana pun dia pergi, amat besar kemungkinan dibunuh karena dianggap telah mempermalukan keluarga.

"Erangkale kalotoro" hanya salah satu ragam kawin lari yang dikenal di Bugis-Makassar. Sedikit lebih terhormat dari cara itu adalah "erangkale basah". Ini hampir serupa dengan jenis pertama: pihak wanita yang lari. Bedanya, lelaki yang ditunjuknya setuju menjadi suaminya. Sedang ragam lainnya adalah "silariang" bila kedua pihak sama-sama suka dan lari bersama, serta "nilariang". "Nilariang" adalah kawin lari yang terjadi lantaran si laki-laki menculik, memaksa, menipu, tanpa si wanita berkehendak melakukannya.

Apa jua alasan kawin lari, apa pun lagak ragam daerah, ada kesamaan adat yang mengatur soal itu. Pasangan yang lari, di Sulawesi Selatan, selalu berlindung ke rumah seorang imam desa-- pada sembarang desa. Di situ mereka aman. Betapapun marah keluarga, tak akan terjadi pembunuhan di situ. Mereka "maddakka"--memasrahkan nasib.

Tata cara Bali soal ini sedikit berbeda. Biasanya, si gadis dibawa lari ke perlindungan keluarga pihak pria. Malah, menurut Cokorda Raka Krsnu--Kepala Bidang Urusan dan Penerangan Agama Hindu Provinsi Bali, "perlindungan itu juga dari "kelihan banjar" atau "kelihan adat" setempat." Sedang di Lombok tempat persembunyian pekawin lari umumnya bukan di rumah pihak lelaki sendiri atau di rumah kepala kampung. Tapi di rumah orang lain sama sekali. Dari tempat persembunyian, pihak pemuda memberi tahu kepala kampung bahwa mereka membawa gadis orang.

Proses lebih lanjut, di ketiga daerah tadi, bukan lagi urusan pemuda atau keluarganya. Tanggung jawab telah beralih pada kepala kampung setempat. Seorang kepala kampung di Sulawesi Selatan yang dipilih sebagai tempat "maddakka" akan menikahkan pasangan itu, sekalipun mungkin orangtua gadis belum juga menyetujui. Lebih dari itu kepala kampung pulalah yang menghubungi pihak keluarga gadis, mengupayakan perdamaian--"abaji".

Proses "abaji", itu tak mudah. Pembicaraan soal itu bisa alot, sebab menyangkut seberapa tersinggung keluarga pihak wanita atas kasus "silariang" itu. Kalaupun tidak sejauh itu, soal biaya pesta yang diminta keluarga pihak wanita pun bisa menjadi penghambat. Maka, sering pasangan kawin lari baru bisa baik-baikan lagi dengan keluarga istri setelah mereka punya anak. Kadang malah sama sekali untuk selamanya.

Di Lombok--kendati keretakan keluarga separah itu juga terjadi--umumnya perkara kawin lari lebih mudah didamaikan. Kepala kampung tempat pasangan "merariq" bersembunyi akan menghubungi kepala kampung asal si gadis. Kepala kampung yang terakhir inilah yang memberitahukan pada orangtua si gadis tempat anaknya berada. "Mesejati", pemberitahuan, ini harus dilakukan paling lambat tiga hari setelah kejadian. Waktu yang lebih longgar dibanding ketentuan "ngluku" di Bali yang paling lambat hanya sehari semalam. Lewat dari batas itu, si pria dianggap memang tak beritikad baik dan pantas dimusuhi.

Bila semua baik, setelah lari, proses diteruskan. Tahap demi tahap pembicaraan ditempuh, misalnya di Lombok dilakukan "meselabar" perundingan tentang penyelesaian, terutama menyangkut biaya buat upacara adat. Setelah dibebani berbagai macam denda, akhirnya pasangan itu dinikahkan, tak bedanya seperti pernikahan biasa.

Walhasil, di mana peristiwa kawin lari kita letakkan sekarang? Sebagai lembaga terobosan yang mencerminkan kearifan adat untuk menyelesaikan salah satu jalan buntu di masyarakat? Sebagai upaya manusia untuk memprotes kanal-kanal sosial yang memecah masyarakat pada kelompok-kelompok. Sebagai pendidikan untuk berani mengambil risiko? Atau sebagai dosa besar. Tindakan nekat orang-orang yang tak mempedulikan aturan dan emoh mengikuti pilihan orangtua? Tindakan yang diambil karena keterpaksaan yang sama sekali tak ideal?

"Jangan dibiarkan, sebab mereka akan sembarangan membawa anak orang di tengah jalan," kata Djalaludin Arzaki, Sekretaris Musyawarah Adat Sasak. Dan Daeng Limpo, tetua adat Makassar, menambahkan, "Sampai kapan pun kawin lari tetap kami anggap perbuatan tercela."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus