DI segenap penjuru Nusantara tempo doeloe, "pacaran" merupakan dongeng dari negeri antah-berantah. Perkawinan adalah proyek yang dirancang dan digarap orangtua. Sekarang, di zaman exocet ini, keadaan berbalik total. Dalam perkara cinta, bahkan dalam banyak hal, veto orangtua kehilangan tuah. Bila di beberapa daerah Indonesia ada yang masih mencoba bertahan, umumnya berakibat fatal: anak buron bersama pasangannya. Ambil contoh kisah Ida Ayu Tantri. Oleh orangtuanya, ia diharapkan menikah dengan lelaki satu marga. Tetapi gadis Desa Dauh Puri ini malah memilih Wayan Jingga dari Klungkung. Tantri dan Wayan kebetulan teman kuliah. Di sini Tantri jatuh cinta. Kuliah malam, selain dipergunakan sebagai alasan ke luar rumah, juga dimanfaatkan Tantri untuk memadu cinta dengan Wayan. Bahkan, ketika Wayan mengajaknya menikah, Tantri menyambut gembira. Tanpa diketahui orangtua, ia menerima pinangan Wayan pada 1984, dan memilih dilarikan dari Desa Dauh Puri. Setahun kemudian, dengan seorang bayi sebagai senjata, ia bertandang ke rumah orangtuanya. Ditolak mentah-mentah, diusir, dan dibenci. Tapi, "Saya tidak merasa menyesal menjadi istri Wayan," katanya. Masih di Bali. Marina -- ini lelaki, lho -- sekolah di Denpasar dan kos di rumah orangtua Rai. Diam-diam Marina sering mengintip Rai, lalu jatuh cinta. Gayung bersambut, Rai menerima "intipannya". Secara sembunyi-sembunyi, mereka menggalang percintaan gelap. Setiap orangtua Rai lengah, Marina mengajaknya pacaran. Celakanya, ulah itu akhirnya tercium juga. Keruan Rai didamprat habis-habisan, sementara Marina didaulat minggat. Tetapi cinta Marina sudah tak terbendung. Lewat seorang kurir, ia mengajak Rai kawin lari. Rupanya, Rai pun sudah I love you total pada Marina. Ajakan disambut, ia tinggalkan rumah orangtuanya, lalu kawin dengan Marina. Setahun lamanya, Rai dikutuk bapak-ibunya. Belakangan, ia memperoleh "info" bahwa orangtuanya rindu padanya. Kembali layar ditutup dengan happy ending. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, ada istilah "merariq" -- kawin lari. Cara ini yang dilakukan Angkasa, siswa kelas 3 SMA Leppidno Cakranegara, Mataram, terhadap Elsye Dwiana, siswi kelas 2 SMKK, Mataram. Elsye orang Jawa, sedang Angkasa anak Sasak. Kebetulan keduanya berlatih silat pada Bambang. Di sini cinta terjalin selama dua tahun. Tetapi hubungan itu tidak direstui orangtua Elsye. Dan inilah yang mendorong Angkasa menempuh "merariq" pada tanggal 11 September 1985. Hasilnya adalah baku hantam antara keluarga Angkasa dan Elsye. Belakangan, konflik itu reda. Else dan Angkasa senang, apalagi mereka telah hidup serumah. Kasih Jawa-Lombok pada Dumilah, 25 tahun dan Ilham, 30 tahun (ini bukan nama asli, lho), pun harus menempuh jalan "merariq". Orangtua Dumilah tak setuju berat bila anaknya dikawini Ilham yang asli Sasak. Sebab, kakak Dumilah telah menikah dengan adik Ilham. Apa daya? Kawin larilah. Ternyata, pengadilan pun membela mereka, "karena sudah dewasa", dan mereka bisa menikah baik-baik di KUA Bojonegoro, meskipun tanpa wali yang datang. Mereka pun mengaku bahagia, Ilham bisa bekerja di kantor Pemda NTB di Mataram. Di Sulawesi Selatan, Kusnadi Kamaluddin dan Yurina melakukan "silariang" pada bulan Maret 1985. Start dari Ujungpandang, dulu Makassar, finish di Malang. Keduanya asli Makassar dan sejak kecil tinggal di satu kota. Anehnya, perkenalan justru terjadi di Bandung. Tahun 1984 mereka mengunjungi Bandung melalui jalur dan kepentingan berbeda. Kusnadi, saat itu 23 tahun, adalah pemain sepak bola kesebelasan Makassar Utama yang sedang melakukan pertandingan persahabatan melawan kesebelasan Persib Bandung. Pada saat yang sama, Yurina, 19 tahun, mahasiswi semester kedua Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Ujungpandang, mengadakan "Kunjungan Antarkampus" bersama kawan-kawannya ke salah satu universitas di Kota Kembang tersebut. Secara kebetulan mereka bertemu di sebuah rumah makan kawasan Dago. Tiba-tiba ada semacam dorongan gaib yang menggerakkan Kusnadi untuk melirik Yurina. Entah mengapa Yurina pun ganti melirik. Keruan Kusnadi tersipu-sipu seraya tersenyum. Eh, Yurina juga tersipu dan tersenyum pula. Sama mesranya dengan senyum Kusnadi. Hingga di sini, jelas sudah makna lirik-lirikan itu. Di Ujungpandang, lirik-lirikan berkembang jadi surat-suratan, lalu gandeng-gandengan. Terakhir didamprat bapak-ibu. Andi Rahim, ayah Yurina, murka luar biasa melihat putri bungsunya asyik-masyuk dengan Kusnadi. Pasalnya, Yurina itu turunan "andi", sebuah gelar kebangsawanan dan sudah dijodohkan dengan lelaki sederajat yang juga berdarah biru. Sedang Kusnadi cuma "Tau Samaa" -- rakyat jelata, anak pelatih sepak bola kecil-kecilan. Singkat cerita, cinta ditentang. Tentu saja Yurina kelabakan. "Saya tak mau dijodohkan. Saya hanya mencintai Kak Kusnadi," begitu Yuri mengisahkan masa silamnya. Pernyataan itulah yang dulu pernah diucapkan pada Kusnadi. Mendengar ikrar pacarnya, semangat juang Kusnadi membara. "Saat itu juga saya bertekat meninggalkan Ujungpandang bersama Yurina," kata Kus sambil tersenyum bangga. "Saya memilih Surabaya." Di Surabaya Kusnadi segera bergabung dengan kesebelasan Suryanaga. Ia memperoleh gaji Rp 200 ribu per bulan. Sebulan kemudian, Maret 1985, mereka menikah di rumah seorang kawan yang satu klub kesebelasan, tanpa disaksikan sanak-saudara. Tahun 1987 Kusnadi pindah ke kesebelasan Arema Malang. Dengan ditemani Yurina dan dua anak perempuan yang masih balita, ia meneruskan tugasnya sebagai back di lini bawah. Selama itu mereka tidak pernah melupakan orangtua. Berkali-kali mereka mencoba mengadakan kontak. Hasilnya cukup menggembirakan. Ada kabar dari Sulawesi, kedua orangtua mereka sudah rukun, bahkan ingin menengok cucu. "Tinggal tunggu waktu saja," ujar Kusnadi dan Yurina gembira. "Silariang" rupanya cukup digemari di Sulawesi Selatan. Selain pasangan Kusnadi-Yurina, kisah serupa dilakukan Abidin dan Tati -- bukan nama sebenarnya. Terjadi pada bulan Juni 1987. Keduanya sama remaja. Abidin 20 tahun, sementara Titi baru 18 tahun. Sama-sama satu SMA dan satu kelas, meski berbeda usia. Keduanya juga bertetangga di bilangan Kecamatan Panakukkang, Ujungpandang. Orangtua Titi berasal dari daerah Enrekang dan menyandang gelar "Andi". Abidin anak rakyat biasa dari daerah Enrekang. Ayahnya pensiunan pegawai negeri golongan satu. "Cinta bermula di kelas satu bangku SMA, sebuah sekolah swasta tempat kami sama-sama belajar," tutur Abidin pada Erwin Patenjengi dari TEMPO pekan lalu. Diam-diam mereka menggalang cinta lewat pintu belakang. Tak bisa bertemu di rumah, di sekolah pun jadi. Itu pun harus hati-hati. Maklum, keluarga Andi biasanya sangat ketat mengawasi putrinya yang memasuki masa remaja. Masalah muncul setelah ujian Ebtanas, April 1987. Murid kelas tiga libur panjang. Ini penderitaan pertama. Penderitaan kedua datang pada pertengahan 1987, saat hasil ujian diumumkan. Biasanya, siswa yang lulus akan memperlihatkan sukaria. Tetapi, sepasang merpati ini malah gundah-gulana. Bagi mereka, "lulus" adalah malapetaka. Artinya, kesempatan kencan semakin sempit, bahkan boleh jadi tak mungkin. Dan itu terjadi. Sejak lulus, Titi jarang diperbolehkan ke luar rumah. Ini yang menyebabkan pikiran Abidin kacau-balau. Titi, yang ayu, kenes, dan putih bersih, terbayang selalu. Titi pun merasa setali tiga uang. Sesekali, Titi memang dapat mengecoh orangtuanya untuk memenuhi ajakan pujaan hatinya. Mula-mula aman, tapi lama-lama tercium juga. Seisi kampung tahu bahwa ada sepasang sejoli bercengkerama di suatu tempat. Keruan saja orangtua dan kakak Titi berang. Setiap kali ia pulang kencan, tamparan singgah di pipinya, belum lagi hardikan bertubi-tubi yang membuat panas telinga. Sejak itu, Titi mendapat pengawasan ekstraketat. Ke mana pergi selalu dikawal oleh salah seorang anggota keluarganya. Kisah tamat? Oo, . . . tidak. Sekali lagi cinta menunjukkan kedahsyatannya. Suatu malam di bulan Juni 1987, sekitar jam 20.00 Waktu Indonesia Bagian Tengah, saat ayahbunda dan kakandanya lengah, Titi berjingkat lewat pintu belakang. Pakaian, gelang emas, dan uang simpanannya dibawa. Ketika itu Abidin tengah rebahan di kamarnya. Tiba-tiba terdengar ketukan di jendela. Abidin segera membukanya dan terkejut: Titi. Bahagia campur bingung tumpang-tindih. "Mengapa malam-malam datang?' tanyanya pada Titi cemas. "Kita harus bertindak cepat," sahut Titi gelisah. "Kita harus meninggalkan tempat ini." Titi menceritakan "sesuatu" yang tak pernah diketahui orang lain, kecuali mereka berdua. "Kemarin sore ibuku memergokiku muntah-muntah. Beliau nampaknya mulai curiga." Janin telah tumbuh di rahim Titi. Kalau saja itu diketahui ayah atau kakaknya, "badik berkilau pasti menembus perut saya," ujar Titi. Abidin tentu saja kalang-kabut. Ia berpikir keras untuk memecahkan persoalan itu. Melamar Titi tidak mungkin. Sebab, sudah jelas, orangtua Titi tak merestui, lagi pula ia tak punya uang. "Ayah saya hanya pensiunan, sedang biaya kawin sangat mahal," kata Abidin. Di lain pihak, Titi merasa tak mungkin dapat berpisah dengan Abidin. "Semua orang sudah tahu hubungan kami. Malu rasanya kalau batal menikah dengannya. Lebih-lebih saya sudah mengandung. Tak bisa tidak, saya harus bersuami Kak Abidin," kata Titi. Akhirnya mereka sepakat "silariang". Keluarga Abidin waktu itu sedang menonton televisi. Malam menunjukkan pukul 20.00 Waktu Indonesia Bagian Tengah. Hanya dengan sebuah tas jinjing berisi pakaian dan uang, mereka pergi terminal Panaikang. Dari sini terus naik mobil omprengan menuju Kota Madya Parepare, kota kecil berpenduduk 90 ribu jiwa yang jaraknya 150 kilometer di utara Ujungpandang. Karena tidak ada kerabat di sini, mereka meminta sopir omprengan untuk mengantar ke penginapan. Sialnya, semua penginapan penuh. Mereka terpaksa menyewa mobil omprengan untuk dijadikan " hotel" darurat. Selagi enak-enaknya mereka memejamkan mata, seorang polisi mendatangi dan melakukan pemeriksaan. Surat kawin, KTP, dan sebagainya diminta. Celakanya, baik Titi maupun Abidin belum punya KTP, apalagi surat kawin. Tanpa pikir panjang, si polisi menggiring mereka ke Polres setempat. Semalaman keduanya harus meringkuk di sel. Esok paginya, mereka dihadapkan pada Kapolres. Untunglah, Kapolres tergolong petugas bijaksana. Ia menanyai sebab-musabab mengapa buron, lalu menganjurkan menikah. Tentu saja Abidin setuju, begitu juga Titi. Pagi itu juga mereka diantar menemui seorang lelaki di Pasar Lakessi. Lelaki ini segera membawanya ke imam desa -- sejenis amil atau penghulu -- di Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, bilangan utara Parepare. Sang imam bersedia mengawinkan Abidin dan Titi, asal Abidin menyediakan Rp 70 ribu. Abidin setuju. Maka, resmilah mereka menjadi pasangan suami-istri, meski hanya disaksikan lelaki tak dikenal itu, tanpa dihadiri sanak saudara. Secarik kertas diberikan oleh imam desa sebagai tanda sah. Antiklimaks kisah mulai di sini. Sekonyong-konyong, seusai ijab kabul, Abidin merasa bersalah terhadap kerabat di Ujungpandang. Ia mengajak Titi pulang. Tentu Titi takut. Namun ketika Abidin menjelaskan bahwa ia memiliki kakak yang bisa dijadikan pelindung, Titi bersedia. Hari itu juga, pulanglah mereka. Tidak ke rumah orangtua, melainkan ke rumah kakak Abidin di Perumnas Panakukkang. Empat hari lamanya mereka bersembunyi di sana, sambil menjalani bulan madu. Abidin tak berani ke luar rumah, sebab, bila ketahuan oleh handai tolan Titi, ia pasti dibunuh. Dan itu sah menurut tradisi "siri" -- pembalasan dendam kepada pihak yang membikin malu. Pada hari kelima, Abidin mengajak pindah ke rumah orangtuanya. Tetapi, di sini pun ia tetap tak berani ke luar rumah. Tentu Abidin tak mau dibunuh. Kepada kakak dan orangtuanya ia mengatakan ingin berdamai dengan keluarga Titi. Orangtua Abidin pusing dibuatnya. Menurut adat, perdamaian hanya bisa terjadi bila diadakan "abbaji" -- upacara permintaan maaf setelah "silariang". Abidin harus menyediakan sejumlah uang, "erang-erang" -- hadiah, dan sirih-pinang. Itu saja belum cukup. Sebab, yang terpenting adalah kesediaan keluarga pihak perempuan untuk berdamai. Jika tidak, jangan harap. Sewaktu-waktu "siri" dapat terjadi. Untunglah, berkat bantuan Daeng Raba, seorang pengurus masjid, diplomasi perdamaian sukses. Daeng tiga kali mengadakan pendekatan. Orangtua Titi minta Rp 450 ribu, sirih pinang, dan "erang-erang". Perkara sirihpinang, gampang. Tapi mengenai Rp 450 ribu. . . ? "Apa boleh buat, kami terpaksa mencari uang, meski dengan meminjam. Yang penting 'abbaji'," kata Abidin mengisahkan masa silamnya. Singkat cerita, "abbaji" terlaksana. Orangtua kedua belah pihak berdamai, bahkan ingin mengadakan pernikahan ulang. Abidin dan Titi menurut. Kini, percecokan usai. Mereka hidup berbahagia dengan seorang anak di sebuah rumah sederhana tak jauh dari kedua orangtua. Abidin pun telah bekerja di Kantor Dinas Pendapatan Daerah, menggantikan ayahnya yang pensiun. Akhir "silariang" yang menyenangkan, ternyata, tidak dialami pasangan Nurcholis -- Andi Wati, maaf, juga nama samaran. Lima belas tahun lalu mereka bertemu pandang di sebuah pesta perkawinan di Desa Usa, Bone -- bukan United States of America -- sekitar 175 kilometer sebelah timur Ujungpandang. Di desa kecil ini mereka hidup bertetangga. Waktu itu Nurcholis masih 21 tahun, sementara Wati baru 16 tahun dan masih sekolah pula. Semenjak bertemu pandang, masing-masing merasa terpikat. Karena Nurcholis merasa hanya rakyat kecil sedang Wati turunan Andi, ia tak berani terang-terangan main cinta. Sebaliknya, Wati pun gentar untuk menerima Nur di rumahnya. Apa boleh buat, akal gerilya terpaksa ditempuh. Mereka acap bertemu di kebun orangtua Wati atau di mana saja asal aman. Enam bulan gerilya berlangsung. Pada bulan ketujuh Nurcholis tak bisa membendung hasrat cintanya. Ia minta ayah ibunya melamar Wati. Hasilnya mudah ditebak: lamaran ditolak tegas. Sejak saat itu, Wati dipingit. Nurcholis frustrasi. Tapi tak patah arang. Diam-diam ia menunjuk mak comblang untuk menyampaikan ajakan "silariang". Wati setuju. Dua hari kemudian, di tengah malam larut tahun 1973, keduanya minggat ke Ujungpandang. Karena khawatir bakal ketahuan, pagi harinya, lewat Bandara Hasanuddin, mereka memutuskan terbang ke Samarinda, Kalimantan Timur. Desa USA geger. Ayah Wati marah besar. Dihajarnya ayah Nurcholis sampai babak belur. Sementara Wati dan Nurcholis menumpang pada salah seorang saudara Nurcholis. Seminggu kemudian menikah secara resmi di Samarinda. Tak berapa lama, Nurcholis mendapat pekerjaan di perusahaan minyak. Mereka memulai babakan baru. Hari berganti hari. Dua tahun sudah di Samarinda. Wati berbahagia mendampingi Nurcholis meski belum dikaruniai anak. Selama itu tak sekali pun mereka pulang kampung. Kadang memang muncul perasaan berdosa ketika teringat pada orangtua. Toh cinta jauh lebih berdaulat. Lambat laun mereka merasa tenteram di Samarinda. Rasa berdosa pun perlahan sirna. Nurcholis dan Wati boleh lupa. Tidak begitu dengan Arman, saudara sepupu Wati. Arman tak suka Nurcholis membawa kabur Wati. Entah mengapa. Yang jelas, di kalangan masyarakat Bone, juga beberapa daerah di Indonesia, perkawinan antara saudara sepupu biasa terjadi. Dua tahun Arman melacak ke mana Wati dilarikan. Dan terjadilah tragedi tahun 1975. Arman berhasil menemukan persembunyian Nurcholis. Dengan badik pusaka keluarga, ia meninggalkan Bone, berlayar ke Samarinda. Tanpa banyak cingcong, ia tikamkan badik ke perut Nurcholis. Lunaslah "siri"-nya. Wati melolong seraya mendekap tubuh Nurcholis yang rebah berlumur darah. Arman tak peduli. Ia pergi begitu saja, pulang ke Bone, tanpa pernah tertangkap polisi Samarinda yang mengejarnya. Selesai? Untung, belum. Nurcholis ternyata selamat berkat pertolongan dokter. Tapi nasib malang belum saatnya pergi dari Wati. Setelah sebelas tahun tinggal di Samarinda dan setelah tiga putra lahir, datang warta dari Bone bahwa ayahnya sakit keras. Nalurinya sebagai seorang anak tergerak. Ia mengajak Nurcholis mudik dengan harapan segenap keluarga telah melupakan peristiwa lama. Harapan itu terkabul di tengah keluarga Nurcholis. Keduanya beserta ketiga anak mereka disambut haru. Tetapi tidak demikian di keluarga Wati. Sembah sujud mereka ditampik dengan sejumlah sumpah-serapah. Dengan hati lebur Wati kembali ke Samarinda. September 1987, ayahnya kembali sakit. Kali ini lebih gawat. Berita disampaikan mertua lewat surat. Wati mengajak Nurcholis mudik lagi. "Oke," jawab Nur, kemudian bergegas menulis permohonan perlop ke kantornya. Sayang, belum lagi sempat bertemu, ayah Wati keburu meninggal. Tak ada yang diinginkan Wati, selain menangis dan bersujud di sisi jenazah sang ayah. Tapi jalan cerita pelaku "silariang" ini telanjur belepotan, ia bentrok lagi dengan keluarga. Ibunya menghardik, menghalangi niatnya menyentuh jenazah, lalu mengusirnya, bahkan enggan mengakuinya sebagai anak. Wati hanya bisa menangis dan berlindung di dada suaminya. "Saya sangat sedih, Bapak meninggal sebelum memaafkan saya," katanya pada Syahrir Makkurade dari TEMPO di Watampone, akhir September 1988 lalu, saat mereka sedang berkunjung ke Sulawesi. "Namun, saya percaya, Allah subhanna wa taala akan menggerakkan hati ibu untuk menerima saya kembali," katanya lirih di antara derai air rnata. Wati sampai saat ini tetap berdoa. Ia yakin betul bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Celakanya, si ibu mengerti hak "paten"-nya atas surga. Sampai hari ini ia belum memaafkan anaknya. Wati tak tahu apakah dengan begitu Tuhan menutup surga baginya. Siapa pun tak tahu, kecuali Allah swt. Yang jelas, seperti kata Quran, Allah jauh lebih pemaaf daripada manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini