Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bivitri Susanti dan Suara Kritisnya

Asfinawati

Asfinawati

Majelis Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, meluruskan narasi bengkok tentang hukum. Lewat Dirty Vote mengungkap kecurangan pemilu.

29 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bivitri Susanti kerap mengambil risiko ketika berhadapan dengan penguasa.

  • Ia juga berupaya mendidik mahasiswanya untuk berpikir kritis.

  • Bivitri berhadapan dengan polisi untuk membebaskan mahasiswa yang ditangkap saat demonstrasi.

PEREMPUAN hampir selalu lekat dengan berbagai cap, seperti lemah dan penakut. Konstruksi ini dapat kita temui dalam berbagai karya populer, misalnya film, novel, kartun, dan lagu. Pemberian label ini bahkan merembes pada undang-undang dan kebijakan. Salah satunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengkonstruksi “suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”.

Konstruksi tersebut tak berubah dalam perbaikan aturan itu 45 tahun kemudian. Praktik itu telah berlangsung belasan atau bahkan puluhan abad. Bizantium pada abad ke-6 juga memiliki pengaturan serupa: laki-laki menjadi kepala rumah tangga dan mengatur urusan di luar rumah. Sedangkan perempuan melahirkan dan mengurus anak serta mengatur urusan rumah tangga (Ringrose, 2003).

Bivitri Susanti jelas perempuan yang sama sekali berbeda dengan imajinasi sosial tersebut. Tidak hanya mendobrak stereotipe, Bibip—panggilan Bivitri—dalam beberapa hal menjadi yang terdepan bahkan saat dibandingkan dengan laki-laki yang mendapat jalur lebih mudah secara sosial. Saya kebetulan berada dalam organisasi yang sama dengannya, Lembaga Kajian Keilmuan, saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam berbagai perbincangan dengan teman-teman seangkatan, saya kemudian mengetahui bahwa Bibip pernah menjadi ketua kelompok pencinta alam di sekolah menengah atas. Dunia dengan anggota perempuan yang jauh lebih sedikit daripada laki-laki. 

Pada 1998, sebelum lulus kuliah, Bibip bersama Aria Suyudi (Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera 2024-2029) mengajak banyak seniornya mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). PSHK berfokus menjalankan kajian dan advokasi mengenai reformasi hukum dengan fokus pada legislasi dan peradilan. Bibip menjadi ketua pertama PSHK.

Mendirikan organisasi dari nol tentu tidak mudah. Saya sempat mendengar cerita dinamika penentuan arah gerak hingga hal-hal teknis tapi penting dari organisasi baru tersebut, seperti pengadaan kantor, meja, dan kursi. PSHK bisa disebut berdiri pada saat yang tepat. Orde Baru telah memorak-porandakan hukum dengan menyalahgunakannya sebagai perpanjangan tangan besi otoritarian. Reformasi 1998 menjadi peluang untuk membangun keping-keping tersebut.



Saya bertemu kembali dengan Bibip saat berada dalam satu koalisi memantau rancangan undang-undang, juga pengisian anggota Komisi Yudisial pertama. Saya menyaksikan keluwesan Bibip saat menjadi bagian tim lobi koalisi masyarakat sipil. Mewakili koalisi, ia gencar melobi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari berbagai partai politik agar kerja Komisi Yudisial bisa optimal. Di situ pula saya menyaksikan ia bersuara keras dalam pernyataan kepada pers setelah hasil voting keluar. Saat itu koalisi menilai DPR tak menepati janjinya. Mereka ternyata punya perintah lain dari pimpinan partainya. 

PSHK serta Yayasan Studi Hukum dan Kebijakan kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera sebagai roda penggerak pembaruan hukum. Bibip menjadi salah satu pengajar. Sebagai pengajar institusi formal pendidikan, dosen dalam kacamata pendidikan kritis memiliki kontradiksi dengan pembebasan setidaknya dalam pandangan Ivan Illich. Illich mengangkat adanya kurikulum tersembunyi dalam pendidikan sebagai jalan menuju kekuatan/power yang lebih besar. 

Bibip berhasil mengeluarkan dirinya dari jebakan tersebut dengan membalik arah birokratisasi pendidikan menuju penumbuhan nalar kritis. Ia memang salah satu pengajar untuk pengembangan kemampuan akademik yang salah satu sesinya mengajarkan penalaran dan cara berpikir kritis. Saya sering mendengar, saat Bibip mengajar, kelas kerap terdengar riuh oleh antusiasme melalui contoh dan metode yang diberikan. Bibip dan Rizky Argama (Direktur Eksekutif PSHK) mengajak mahasiswa ke Monumen Nasional dalam kuliah Ilmu Negara sebagai upaya menumbuhkan nalar kritis. Mereka meminta mahasiswa memperhatikan diorama sejarah Indonesia versi negara, lalu membandingkan dengan penjelasan di kelas serta merefleksikan pertumbuhan negara, legitimasi kekuasaan, hegemoni, dan lainnya.  

Saya teringat kata-kata Paulo Freire. Penyadaran diperlukan untuk melawan penindasan, yaitu menyadari kontradiksi sosial dan politik, kemudian bertindak melawan unsur-unsur yang menindas dari kondisi sosial-politik tersebut. Tindakan itu memerlukan pengembangan sikap kritis untuk membantu memahami dan menganalisis hubungan manusia dan melaluinya kita menemukan diri kita sendiri. Pada akhirnya proses penyadaran menumbuhkan kesadaran akan hak kita untuk memilih dan menciptakan realitas yang kita inginkan.

Bibip tidak berhenti sampai di situ. Saya memperhatikan pendengarnya terus meluas. Ia menggunakan media sosial dan media formal. Bukan perkara mudah untuk selalu berbicara kepada publik. Terpeleset lidah, kehilangan inspirasi, ataupun menambah kerentanan adalah beberapa risikonya. Orang yang menyaksikan ini pasti sulit untuk tidak mengatakan bahwa Bibip perempuan pemberani dan memiliki energi besar.

Suatu ketika saya dihubungi sebuah badan eksekutif mahasiswa yang kesulitan menghubungi Bibip. Saya menghubungkan Bibip dengan para mahasiswa yang mengundangnya untuk menjadi pembicara. Singkat cerita, Bibip menghadiri acara yang diadakan di luar Jakarta itu. Ia tak memilih forum kecil atau besar. Ia sangat paham bahwa mahasiswa harus terus diajak berpikir kritis. Ketika ada kesempatan, Bibip akan datang untuk membagikan ilmu dan pengalamannya.

Bibip juga selalu siap berada di barisan depan perlawanan terhadap kebijakan ngawur pemerintah. Bersama pegiat antikorupsi, ia membela dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, yang mengalami kriminalisasi setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Begitu pula saat pemerintah dan DPR menggembosi KPK lewat revisi undang-undang. Bibip agaknya tak terlalu mempertimbangkan berbagai risiko dalam isu-isu yang membuat para pegiat demokrasi berhadapan dengan penguasa.

Saat aksi peringatan darurat 2024, saya geleng-geleng kepala mendengar cerita Bibip yang membebaskan beberapa mahasiswa yang nyaris ditahan polisi. Dalam perjalanan pulang, ia melihat polisi menahan mahasiswa yang menolak revisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota karena memperkokoh dinasti Jokowi. Bibip langsung meminta polisi membebaskan mereka. Sambil diselingi tawa, ia mengaku mengandalkan gaya emak-emak marah ketika berhadapan dengan polisi. Saya mengingat, Bibip saat itu mengenakan kaus pink bertulisan “Suatu saat si miskin tak akan memiliki apa pun untuk dimakan kecuali si kaya”. 

Entah diniatkan entah tidak, Bivitri Susanti sejak muda telah mengambil jalan yang cenderung berbeda dari perempuan pada umumnya, setidaknya dalam kehidupan sosial di Indonesia. Ia menceburkan diri dalam dunia yang berisiko dan menjadi pemimpin untuk menghadapi risiko tersebut. Ia tak terbatas dan membatasi diri karena keperempuanannya. Banyak orang muda dan ahli pun melihat dia menjadi salah satu simbol dari sikap kritis, yang merupakan prasyarat penting terjadinya perubahan. Bibip telah menjadi model untuk publik: bersikap kritis dan menyuarakannya. Sikap kritis yang tak boleh berhenti dan harus menguat ketika berhadapan dengan penguasa yang menyengsarakan rakyat dan merusak demokrasi di negeri ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus