Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Perlawanan kampus muncul di tengah kemerosotan demokrasi.
Para akademikus melihat sepak terjang Jokowi melenceng dari koridor etik dan demokrasi.
Beberapa rektor memimpin langsung gerakan keprihatinan terhadap pemerintahan Jokowi.
HAMPIR setahun terakhir Rimawan Pradiptyo aktif menjalin komunikasi dengan aktivis dan akademikus lintas kampus. Lewat sejumlah grup aplikasi percakapan, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini membahas banyak hal, dari isu pendidikan tinggi hingga kemunduran demokrasi di era Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam setiap grup WhatsApp yang ia buat, Rimawan menjadi moderator dan fasilitator hingga ikut mengawal diskusi—termasuk mengingatkan bila ada informasi yang terindikasi hoaks. “Konsentrasi saya pada isi dan nilai gerakannya,” katanya kepada Tempo di ruang rapat Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Jumat, 13 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia, misalnya, memoderasi grup WhatsApp “Jogja Gumregah” untuk konsolidasi antarkampus di Yogyakarta. Dibentuk pada 21 Agustus 2024, grup ini berisi 416 orang. Anggotanya adalah akademikus dan aktivis organisasi masyarakat sipil. Ada pula grup WhatsApp “Indonesia Pusaka” yang menjadi ruang koordinasi dosen antarkampus se-Indonesia yang ia buat pada 2 Februari 2024.
Rimawan Pradiptyo (kiri) dalam acara "Kampus Menggugat" sekaligus memperingati Hari Kartini, di Balairung Universitas Gadjah mada, Yogyakarta, 21 April 2024. Dok. Pribadi
Menurut Joash Elisha Stephen Tapiheru, Rimawan salah satu sosok yang berperan memunculkan isu sebagai bahan diskusi di antara topik yang berseliweran. “Biasanya ia aktif dalam diskusi rutin setiap Rabu,” ucap dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu saat ditemui di Podocarpus Corner, Yogyakarta, Jumat, 6 Desember 2024.
Dari diskusi di grup percakapan itu, para akademikus membahas rencana aksi. “Perdebatannya sengit. Ada yang setuju bergerak, ada juga yang tidak setuju,” ujar Rimawan. Apabila diskusi berujung pada kesepakatan untuk melakukan advokasi, ia berkontribusi merumuskannya hingga ke tataran teknis.
Dalam ingatan Rimawan, setidaknya dia ikut mengorganisasi dua gerakan di UGM yang menyuarakan pentingnya penegakan etik. Salah satunya deklarasi “Kampus Menggugat: Tegakkan Etika & Konstitusi, Perkuat Demokrasi”. Saat itu mereka mengajak masyarakat sipil untuk tidak terkooptasi. Mereka juga mendesak lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif taat pada demokrasi dan konstitusi.
Inisiator gerakan ini adalah Kepala Pusat Studi Pancasila Agus Wahyudi dengan melibatkan guru besar dari pelbagai fakultas di UGM. Deklarasi berlangsung di Balairung UGM pada Selasa, 12 Maret 2024. Wakil Rektor UGM Arie Sujito hadir dalam aksi ini.
Selain diikuti civitas academica UGM, deklarasi dihadiri Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid, Rektor Universitas Widya Mataram Edy Suandi Hamid, serta Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Busyro Muqoddas.
Arie Sujito mengatakan deklarasi itu merupakan bentuk keresahan akademikus. Menurut dia, kaum intelektual punya tanggung jawab moral untuk merespons merosotnya demokrasi. “Demokrasi terancam sehingga perlu antisipasi jangan sampai kemerosotannya makin tajam,” tutur Arie.
Rimawan Pradiptyo di Yogyakarta, 20 Desember 2024. Foto: Berto Wedhatama
Kegelisahan para akademikus muncul setelah Mahkamah Konstitusi pada 16 Oktober 2023 membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, sepanjang berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Putusan inilah yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi yang belum berusia 40 tahun, bisa menjadi calon wakil presiden, berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto. Saat itu Gibran menjabat Wali Kota Solo, Jawa Tengah. Putusan kontroversial ini diduga melibatkan cawe-cawe Jokowi dan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang juga paman Gibran. Baik Jokowi maupun Anwar menampik tudingan ini.
Sejumlah alumnus sempat mengontak para akademikus. Mereka mendesak UGM bersikap. Bagi mereka, sikap dan kebijakan Jokowi tak mencerminkan jati diri seorang alumnus UGM. Afnan Malay, eks aktivis yang kini menjadi pengacara, mengatakan UGM ikut menanggung dosa karena mendukung kekuasaan yang tak terkontrol dalam sepuluh tahun terakhir.
Dari situlah gerakan intelektual kampus muncul. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhamad Isnur menilai Rimawan adalah salah satu tokoh di balik perlawanan kampus. “Dia konsisten membangun jejaring akademikus di Indonesia,” kata Isnur.
Alissa Wahid, putri sulung mantan presiden Abdurrahman Wahid, menyebut Rimawan sebagai konsolidator gerakan perguruan tinggi melawan regresi demokrasi. Tapi Rimawan tidak butuh panggung. Dia bukan tipe orang yang harus berada di depan. “Dia selalu di belakang dan mungkin masyarakat tidak terlalu tahu siapa dia,” ucap Alissa.
Untuk merancang gerakan, para akademikus bertemu di sejumlah tempat, dari sebuah rumah makan di Jalan Kaliurang, Kafe Podocarpus, lalu pindah ke kafe di Lembah UGM. Saat berkumpul, mereka urunan untuk membeli kopi, teh, dan jajanan. “Kami enggak ada sponsor,” tutur guru besar hukum pidana Marcus Priyo Gunarto, Kamis, 5 Desember 2024.
Sebelum pembacaan deklarasi “Kampus Menggugat”, civitas academica berkumpul di Balairung UGM membacakan Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2024. Mereka mengingatkan Jokowi yang sudah melenceng dari koridor etik dan demokrasi.
Satu setengah bulan sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa UGM memasang baliho bergambar Jokowi dengan dua sisi wajah mencolok di area bundaran kampus. Di tengah baliho terpampang kalimat “Penyerahan Nominasi Alumnus UGM Paling Memalukan”.
“Kampus Menggugat” kembali digelar di Balairung UGM saat peringatan Hari Kartini, 21 April 2024. Sejumlah perempuan aktivis, dosen, dan mahasiswa berkumpul di sana, termasuk novelis Okky Puspa Madasari. Aksi ini menyorot memburuknya demokrasi di ujung kepemimpinan Jokowi.
Menanggapi Petisi Bulaksumur dan sikap kritis civitas academica UGM ihwal kepemimpinannya, Jokowi hanya berujar, “Ya, itu hak demokrasi.” Adapun Pratikno tak menjawab panggilan telepon dan pesan WhatsApp yang dikirim ke nomor telepon selulernya, Senin, 23 Desember 2024.
Pratikno adalah mantan Rektor UGM yang kemudian menjadi Sekretaris Kabinet dalam dua periode pemerintahan Jokowi. Ia kini memegang jabatan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di pemerintahan Prabowo Subianto.
•••
SEPERTI efek domino, gerakan mengecam Joko Widodo menular ke kampus lain. Dalam catatan Marcus Priyo Gunarto, sebanyak 258 kampus ikut meneriakkan keprihatinan terhadap pemerintahan Jokowi. Bahkan ada rektor yang memimpin langsung gerakan tersebut, seperti Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dan Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Simon P.L. Tjahjadi.
Sehari setelah Petisi Bulaksumur UGM dibacakan, akademikus, mahasiswa, dan alumnus UII berkumpul di halaman Auditorium Gedung Kahar Muzakkir di Kampus Terpadu Sleman, Yogyakarta. Rektor Fathul Wahid membacakan pernyataan sikap civitas academica UII berjudul “Indonesia Darurat Kenegarawanan”.
Menurut Guru Besar Ilmu Media dan Jurnalisme UII Masduki, tim kecil Rektor UII membahas pernyataan sikap itu sepulang dari deklarasi Petisi Bulaksumur UGM. UII mengulang kembali aksinya pada 14 Maret 2024 di tempat yang sama. Kali ini Fathul membacakan pernyataan sikap “Selamatkan Demokrasi Indonesia”.
Sebelumnya, Masduki membentuk Forum Cik Dik Tiro atau FCD untuk mengkonsolidasikan akademikus, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan mahasiswa melawan kooptasi rezim pada 10 Desember 2023.
Suara kritis juga datang dari perguruan tinggi di luar Yogyakarta. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo mengatakan kampus bergerak karena tumbuhnya kesadaran bersama bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Gerakan mahasiswa yang tiba-tiba “menghilang” akibat represi membuat para guru besar bersepakat mengeluarkan pendapat kritis bahwa kampus masih eksis. “Kami enggak mungkin turun ke jalan, sudah tua-tua,” tutur Harkristuti saat ditemui di ruang rapat Dewan Guru Besar Gedung Rektorat UI, Rabu, 11 Desember 2024.
Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo (tengah) menyampaikan Deklarasi Kebangsaan Kampus Perjuangan di Gedung Rektorat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Harkristuti mengajak pimpinan rektorat, senat akademik, Majelis Wali Amanat, akademikus muda, dan mahasiswa membacakan “Deklarasi Kebangsaan Kampus Perjuangan” di Gedung Rektorat UI, Depok, Jawa Barat, bersamaan dengan Sidang Terbuka Dies Natalis Ke-74 UI, Jumat, 2 Februari 2024. Para guru besar membacakan deklarasi dengan mengenakan toga. Deklarasi itu berisi seruan agar tak ada kecurangan dalam pemilu dan para akademikus akan selalu mengawasinya.
Pada deklarasi kedua, Kamis, 14 Maret 2024, UI tak sendiri. Guru Besar Antropologi Hukum UI Sulistyowati Irianto berkoordinasi dengan sejumlah guru besar dari berbagai universitas, seperti Universitas Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan Institut Pertanian Bogor. Mereka menyelenggarakan temu ilmiah di Fakultas Kedokteran UI Salemba, Jakarta Pusat. Salemba dipilih karena di tempat itulah mahasiswa UI, Arief Rahman Hakim, tewas dalam aksi Tri Tuntutan Rakyat pada 1966.
Guru Besar Antropologi Hukum Sulistyowati Irianto. Dok. Pribadi
Di sana Sulis—panggilan Sulistyowati—mengumpulkan guru besar dengan latar belakang keilmuan berbeda. Ada Profesor Hariadi Kartodihardjo dari IPB berbicara tentang lingkungan dan ekonom Faisal Basri berbicara perihal dampak penurunan demokrasi Indonesia yang berpengaruh pada persoalan ekonomi. Adapun Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera mengulas dampak politisasi hukum. Sementara itu, Suraya Abdulwahab Afiff dari UI membahas konflik agraria.
Di puncak acara, Sulis membacakan Petisi Salemba bertajuk “Universitas Memanggil”. Petisi itu menuntut pemerintah menegakkan konstitusi serta memulihkan hak kewarganegaraan dan peradaban berbangsa. Dasarnya adalah orasi ilmiah para pakar mengenai sederet persoalan yang dihadapi Indonesia. “Ini menjadi dasar mengapa kami butuh bersuara lagi setelah pemilu,” kata Sulis.
•••
DI Universitas Padjadjaran, Bandung, Guru Besar Hukum Tata Negara Susi Dwi Harijanti gelisah setelah akademikus Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta mengeluarkan pernyataan sikap. Ia lantas menghubungi Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf. “Teman-teman dari universitas lain sudah bergerak, Unpad bagaimana, Kang?” ujar Susi, sebagaimana dikisahkan kembali kepada Tempo, Ahad, 8 Desember 2024.
Keduanya lantas berbagi tugas. Arief menghubungi pimpinan Unpad. Susi, yang menjadi Ketua Kelompok Kerja Sosial Humaniora di Dewan Profesor, menggalang civitas academica seperti mahasiswa, dosen, guru besar, dan profesor emeritus.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti di Bandung, Jawa Barat, 18 Desember 2024. Tempo/Prima mulia
Susi juga memantik diskusi di grup WhatsApp guru besar Universitas Padjadjaran. Pesan itu lantas menyebar ke grup WhatsApp dosen Unpad. Dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Bandung pada Jumat pagi, 2 Februari 2024, Susi berkonsolidasi dengan mahasiswa dan dosen. Sebagian dosen menyatakan telah menyiapkan naskah seruan, tapi belum ada pencetusnya.
Susi mengundang dosen untuk datang berkonsolidasi di kantornya di Gedung Sri Soemantri. Dua dosen datang, juga beberapa mahasiswa yang langsung diberi tugas membuat flyer dan formulir di Google Form. “Saya menyusun draf seruan moralnya,” ucapnya.
Arief kemudian merevisi draf tersebut lebih dari lima kali. Revisi berlangsung hingga menjelang pembacaan. Pembaruan dilakukan karena ada masukan agar kalimatnya lebih tajam dan sistematis.
Tarik-ulur ihwal waktu pembacaan seruan sempat terjadi karena ada yang menganggap prosesnya terlalu cepat. Akhirnya mereka membacakan seruan pada Sabtu, 3 Februari 2024, pukul 9 pagi, sehari sebelum debat terakhir calon presiden-wakil presiden.
Di teras depan bekas Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran, Ketua Senat Akademik Ganjar Kurnia membacakan “Seruan Padjadjaran”. Isinya: tujuh poin yang mengkritik penyelenggaraan negara yang makin melenceng dari nilai-nilai perguruan tinggi. Susi dan Arief berdiri mengapit Ganjar.
Seruan itu diteken seribuan orang, baik guru besar aktif dan pensiunan, dosen, mahasiswa, maupun alumnus, melalui Google Form. Rektor tak ikut meneken. “Rektor tidak perlu turun langsung, tapi tidak melarang,” kata Susi.
Saat merumuskan naskah “Seruan Padjadjaran”, Susi sempat berkonsultasi dengan dosen UGM, Rimawan Pradiptyo. Komunikasi itu diawali Rimawan yang mengirim pesan lewat aplikasi WhatsApp kepada Susi. Rimawan menanyakan apakah setuju jika dibuat grup WhatsApp yang anggotanya terdiri atas kalangan akademikus dan organisasi masyarakat sipil. Susi setuju karena grup itu bisa menjadi alat kerja sama yang bagus.
Susi juga berdiskusi dengan Rimawan untuk berkonsolidasi dengan para dosen berbagai kampus yang sebelumnya telah mengeluarkan pernyataan sikap. Susi mengenal Rimawan saat keduanya masuk tim Percepatan Reformasi Hukum. Susi menjadi ketua kelompok kerja peraturan perundang-undangan, sedangkan Rimawan di kelompok kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi. “Mas Rimawan bisa membuat jaringan yang luas dalam waktu singkat,” ujar Susi. “Buat saya, itu luar biasa.” ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo