Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal Maret, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla punya predikat baru: blogger. Hampir setiap hari dia menyempatkan diri menulis di blognya. Pada 15 Maret lalu, misalnya, Kalla mengulas peluang kemenangan Golkar dalam pemilihan umum April depan. ”Ada tiga alasan sederhana mengapa Golkar bisa menang,” tulisnya. Salah satu faktor adalah warna kuning kebanggaan Beringin. ”Karena warna kuning hanya dipakai Golkar, dari jauh pun sudah ketahuan,” tulisnya. Ringan, terkesan menyederhanakan masalah, tapi ada benarnya.
Tak cukup hanya menulis, Kalla merasa perlu bertemu langsung dengan para blogger di Ibu Kota. Pertengahan Maret lalu, sebuah ”kopi darat” digelar di sebuah restoran di Jakarta Selatan. Sekitar satu jam, saudagar Bugis ini tangkas menjawab pertanyaan puluhan blogger. Ketika ditanya mengapa dia tiba-tiba berminat menulis blog, Kalla menjawab terus terang, ”Ini kan menjelang pemilihan umum. Kalau tidak mendengar, bagaimana bisa tahu keinginan publik?”
Gerak lincah Kalla merambah dunia maya tak lepas dari manuver politik terbarunya, pertengahan Februari lalu. Saat itu, di pengujung Rapat Koordinasi Nasional Golkar, Kalla akhirnya menyerah pada desakan para ketua Golkar daerah. Dia menyatakan siap menjadi calon presiden. ”Mereka bertanya, kalau Bapak diajukan, Bapak keberatan atau tidak. Saya bilang bagaimana saya bisa keberatan sama Anda. Saya tidak bisa keberatan, karena itu adalah amanah,” kata Kalla ketika itu.
Kesediaan Kalla membuat mesin partai Golkar kembali menderu-deru. Sebelumnya, sebagian elite Beringin merasa tersandera oleh posisi Kalla sebagai RI-2. Mereka tak rela jika partai pemenang pemilihan 2004 hanya dapat kursi wakil presiden. ”Itu salah dan tak boleh terjadi lagi,” kata Ketua Dewan Penasihat Golkar, Surya Paloh.
Majunya Kalla sebagai calon presiden Golkar juga meredakan perseteruan internal Beringin. Sejumlah faksi yang sebelumnya getol menyorongkan jago masing-masing langsung tenggelam. Nama Sultan Hamengku Buwono X, misalnya, kini hanya terdengar sayup-sayup. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.
Begitu urusan rumah tangga beres, Golkar kian mantap menyongsong pemilu. Kalla rajin menyambangi partai lain, membuka kemungkinan membangun koalisi. Awal Maret lalu, dia menemui Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Setelah pertemuan itu, santer terdengar kabar bahwa Golkar, PDI Perjuangan, plus Partai Persatuan Pembangunan bakal merajut koalisi segi tiga emas. ”Sudah makin mendekat satu sama lain,” kata Surya Paloh.
Meski begitu, komunikasi Kalla dengan Partai Demokrat tak lantas ditinggal begitu saja. Kalla masih punya Lembang Sembilan, salah satu mesin politiknya sejak pemilihan 2004. Para pentolan lembaga ini terang-terangan berharap duet SBY-JK berlanjut. ”Hanya badai yang bisa memisahkan mereka,” kata tangan kanan Kalla di sana, Alwi Hamu. ”Belum ada talak tiga.”
Manuver dua kaki ala Golkar ini bukan hal aneh. Sejak berdiri pada Oktober 1964, partai warisan Orde Baru ini memang didesain untuk menjadi partai pemerintah. ”Sulit bagi kami untuk menjadi oposisi,” kata Ketua Harian Badan Pemenangan Pemilu Golkar, Firman Subagyo, pekan lalu. ”Platform partai ini adalah kekaryaan, menjadi partai penguasa untuk mendorong pembangunan,” katanya lagi.
Kemunculan Golkar pada akhir Orde Lama dipicu oleh makin menguatnya posisi Partai Komunis Indonesia. Sebanyak 97 organisasi fungsional yang mengklaim diri sebagai organisasi non-politik kemudian sepakat bernaung di bawah Sekretariat Bersama Golongan Karya. Dengan dukungan tentara, sekretariat ini tumbuh menjadi cikal bakal Partai Golkar.
Pada 1971, Golkar menjadi peserta pemilihan umum untuk pertama kalinya. Mereka langsung meraih suara terbanyak. Sejak saat itulah, peran Golkar sebagai mesin politik Orde Baru dimulai.
Setelah Soeharto jatuh, dengan cerdik Partai Beringin melepaskan diri dari semua stigma Orde Baru. Akbar Tandjung, politikus kawakan Golkar yang terpilih menjadi ketua umum pada 1998, berperan penting menciptakan citra baru partai ini. Kerja kerasnya berbuah manis: Golkar kembali menang pemilihan umum legislatif, April 2004.
Namun kegagalan calon presiden Golkar, Jenderal (Purn) Wiranto, memenangi kursi RI-1 menjungkirbalikkan nasib Beringin. Mereka ”terpaksa” menjadi oposisi, meski hanya dua bulan. Pada Desember 2004, Jusuf Kalla, tokoh Golkar yang dipecat karena menolak mendukung calon presiden resmi partainya, naik menjadi ketua umum dan mengembalikan Golkar pada ”khitah”-nya sebagai partai pemerintah.
Partai Golongan Karya
Nomor Urut: 23
Ketua Umum: M. Jusuf KallaWakil Ketua Umum: Agung Laksono
Sekretaris Jenderal: Soemarsono
Ketua Dewan Penasihat: Surya Paloh
Tanggal berdiri: 20 Oktober 1964
Proyeksi suara
Sejarah dalam pemilu
Lewat berbagai cara, Golkar selalu menang pemilu selama Orde Baru (1971-1997) dengan perolehan suara 60-70 persen. Dalam Pemilu 1999, untuk pertama kalinya Golkar kalah dan hanya meraih 22 persen suara. Dalam Pemilu 2004, meski perolehan suara turun menjadi 21,6 persen, Golkar kembali ke posisi nomor wahid.
Karakter caleg
Politisi yang terkena kasus korupsi
Abdullah Puteh, mantan Gubernur Aceh dan eks anggota DPR, divonis 10 tahun penjara dalam kasus pengadaan helikopter.
Adiwarsita Adinegoro, mantan anggota DPR dan eks Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, divonis 6 tahun penjara dalam kasus korupsi foto udara Departemen Kehutanan.
Nurdin Halid, mantan anggota DPR, divonis 2 tahun penjara dalam kasus pengadaan minyak goreng.
Antony Zeidra Abidin, eks Wakil Gubernur Jambi dan mantan anggota DPR, divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus aliran dana Bank Indonesia ke parlemen.
Hamka Yandhu, mantan anggota DPR, divonis 3 tahun penjara dalam kasus aliran dana Bank Indonesia ke parlemen.
Saleh Djasit, mantan Gubernur Riau dan eks anggota DPR, divonis 4 tahun penjara dalam kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo