Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah ”aliran” lazim digunakan sebagai alat untuk menerangkan perilaku politik di Indonesia. Asal-muasalnya ditarik dari antropologi dengan ranah kajian di daerah Jawa. Namun konsep ini juga sudah lama digunakan sebagai alat untuk menjelaskan dunia pemilihan umum di Indonesia. Misalnya, dulu, pada 1950-an, sering dicatat bahwa basis dukungan dari kaum santri diarahkan ke kekuatan politik di kubu ”kanan” (Nahdlatul Ulama dan Masyumi), sedangkan kaum abangan berada di kubu ”kiri” (Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia).
Saya agak ragu menggunakan pendekatan politik ”aliran” sebagai alat keterangan untuk memahami sikap pemilih terhadap masing-masing kekuatan partai politik. Bagaimana, misalnya, menjelaskan pemaknaan santri dan abangan di tengah masyarakat Minahasa? Bahwasanya ada pembelahan sikap partisan dalam masyarakat Indonesia tidak pernah saya ragukan. Yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana menafsirkan garis pembelah dalam pemilu di Indonesia. Pendek kata, garis (atau aliran) ”kanan” dan ”kiri” itu apa?
Sejak Pemilu 1999, saya sering dihubungi kolega dari luar negeri yang ingin tahu, manakah partai ”kiri” dan yang mana pula partai ”kanan”. Masalahnya, konsep ”kiri-kanan” menurut bangsa Barat sangatlah berbeda dengan di sini. Di sana, ”kiri” lebih identik dengan pihak yang mendukung peran besar pemerintah dalam tatanan ekonomi. Sedangkan sayap ”kanan” lebih diidentikkan sebagai pendukung pasar yang bebas atau minim ”campur tangan” pemerintah.
Padahal penataan ekonomi di Indonesia justru pragmatis, yakni menggunakan sistem yang dinilai efektif pada saat tertentu. Perkembangan kebijakan ekonomi selama Orde Baru contohnya. Liberalisasi ekonomi terjadi sebelum boom minyak pertama. Industrialisasi padat modal dari negara diterapkan selama boom minyak pada 1970-an. Pada akhir 1970-an hingga 1986 dilaksanakan pembangunan sarana sosial ekonomi pedesaan. Namun, setelah harga minyak mulai jatuh pada pertengahan 1980-an, dicanangkan kebijakan deregulasi yang mengutamakan pasar ekspor. Lalu, sejak 1990-an, ekonomi pasar digerakkan dengan mengutamakan proyek dan industri ”khusus”.
Jelas sekali, di bawah pemimpin yang sama, posisi ”ideologis” kebijakan ekonomi cukup sering berpindah haluan. Jadi, jika ”kiri-kanan” dalam konteks Indonesia tidak didasari pembelahan sikap ideologis ekonomi, lalu apa yang dijadikan dasar? Secara singkat, jawaban berputar sekitar posisi agama Islam dalam ranah umum.
Pembelahan kekuatan pemilu sepanjang garis ”kiri-kanan” di Indonesia terdiri atas tiga kelompok kekuatan politik. Secara sederhana gambaran kelompok ini dapat dicatat sebagai 3B, yaitu kelompok Bantengis (kiri), kelompok Bintangis (kanan), dan belakangan, selama satu generasi terakhir ini, muncul kelompok ketiga, yakni kelompok menengah, sebut saja kelompok Beringinis.
Pada kubu ”kiri” terletak kelompok yang mempunyai sikap yang sangat waswas terhadap potensi munculnya perbedaan kewarganegaraan berdasarkan latar belakang agama atau peletakan posisi khusus untuk agama Islam dalam tatanan konstitusional negara. Contoh partai ini adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera. Pada posisi sayap ”kanan” terletak kekuatan politik yang menilai agama Islam harus merupakan bagian tak terpisah dari roh dan semangat kebangsaan Indonesia. Contoh partai ini adalah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang, dan Partai Bintang Reformasi.
Sekian puluh tahun lalu, pecahan politik/ideologis di antara kedua kelompok ini tak terjembatani. Pada waktu itu, bangsa boleh dianggap terpolarisasi di antara kedua visi kebangsaan ini. Kegagalan untuk menentukan secara final posisi agama Islam dalam rancangan konstitusi dalam Konstituante pada akhir 1950-an merupakan bukti dahsyatnya perpecahan tersebut.
Namun kini tampak bangsa Indonesia berhasil mengembangkan visi ”menengah” di antara kedua visi tradisional itu. Secara singkat saya menyebut posisi menengah ini sebagai Negara Ketuhanan. Kekuatan politik di ranah menengah ini menilai Islam beserta agama lain sebagai sumber pemikiran yang dapat mengilhami kebijakan publik, walau tidak sebagai penentu atau dasar. Contoh partai di ranah menengah ini adalah Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional.
Sering kali Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional dianggap sebagai partai Islam, mungkin karena kedua partai ini mempunyai hubungan khusus dengan organisasi massa Islam di Indonesia. Namun saya tidak menilai bahwa pengelompokan ini benar. Dalam debat Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang penerapan Piagam Jakarta, misalnya, kedua partai ini justru menolak, sedangkan partai Islam (kubu kanan) seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang mendukung. Dalam kepengurusan sampai posisi puncak, jumlah aktivis nonmuslim di kedua partai ini cukup tinggi, termasuk yang menjadi calon anggota legislatifnya.
Dalam diskursus nasional tentang bakal calon presiden 2009 baru-baru ini, pernah muncul wacana agar perlu diajukan calon presiden yang berhaluan islamis. Kendati partai seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Keadilan Sejahtera serta aktivis islamis lainnya menilai positif ide tersebut, dalam kurun waktu satu hari, baik Partai Amanat Nasional maupun Partai Kebangkitan Bangsa menolak perlunya wacana atau ”calon Islam” dengan argumentasi bahwa semua calon presiden yang muncul adalah pemeluk agama Islam.
Jika ingin menemukan garis pembelahan dalam sebuah masyarakat, perlu ditemukan isu ”lightning rod”, yaitu isu yang secara sangat tegas membelah masyarakat politik. Selama beberapa tahun terakhir ini, saya menilai bahwa produk legislatif paling menghebohkan adalah Undang-Undang Pornografi. Dalam debat ini kelihatan sekali perpecahan antara kiri dan kanan serta peran mediasi yang dilakukan oleh pihak di ranah menengah. Kedua partai kiri menolak secara total rancangan undang-undang ini, sedangkan partai dari kubu kanan mendukung versi awal yang bersifat pornografi dan pornoaksi. Peran partai menengah dalam debat ini adalah melunakkan beberapa elemen pada rancangan undang-undang ini sehingga tidak seekstrem seperti rancangan awal.
Sebelum ini, debat Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Piagam Jakarta merupakan contoh lightning rod politik. Kubu kiri dengan sangat tegas dan bulat menolak wacana menuju ke situ. Tapi kubu kanan mendukungnya. Sekali lagi pihak menengah memainkan peran penting dalam menjembatani kedua kubu ini. Walau setiap unsur dari kubu menengah menolak Piagam Jakarta, tetap dibuka negosiasi tentang apa yang dapat diterima kubu kanan agar tetap berjuang secara sehat dalam sistem.
Peran kubu menengah sebagai jembatan merupakan landasan stabilitas politik Indonesia yang substantif. Landasan stabilitas substantif itu menjadi semakin kokoh mengingat konsentrasi suara pemilih Indonesia berada di ranah menengah ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa suara pemilih moderat ini merupakan mayoritas mutlak di Indonesia.
Dengan realitas bahwa ranah menengah merupakan rumah untuk mayoritas pemilih, tidak mengherankan jika partai di kubu kiri dan kanan berupaya merangkul pemilih dari kubu menengah. Maka, untuk membuktikan diri sebagai partai terbuka pada aktivis Islam, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membuka jaringan dukungan Islam. Sedangkan dari kubu kanan, Partai Keadilan Sejahtera melakukan kegiatan besar di Bali untuk menunjukkan bahwa partai terbuka untuk semua warga negara.
Tindakan partai-partai ini sangat rasional walau tidak bebas ancaman. Misalnya, jika partai pindah terlalu jauh dari ”habitatnya”, dukungan untuk partai itu dapat diancam oleh partai lain yang lebih tegas membela posisi tradisional masyarakat pemilih tersebut dan yang mencari dukungan dari bagian ”pasar pemilih” yang sama.
Tingkat stabilitas politik substantif yang ada di Indonesia sekarang ini telah mencapai titik paling tinggi dalam sejarah Republik. Sumber kelabilan zaman ini tinggal pada ego ketokohan, terutama jika yang bersangkutan tidak mau mematuhi vonis rakyat. Pengendalian terhadap tipe tokoh yang ”spoiler” ini adalah penciutan tingkat dukungan untuk diri dan partainya pada pemilu. Dalam hal ini, putusan terakhir berada di tangan masyarakat pemilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo