Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sektor teknologi keuangan diprediksi makin marak tahun depan. Pendatang baru di bidang peer-to-peer lending akan bermunculan, termasuk pemain pelayanan sistem pembayaran nontunai. Perbankan tak mau tinggal diam dengan menghadirkan pelayanan branchless banking. Bisnis kesehatan model baru yang dijalankan perusahaan rintisan juga menunjukkan potensi menggiurkan. Populasi masyarakat Indonesia yang besar, ditambah tingginya kebutuhan akses pelayanan kesehatan, memikat pemodal asing masuk ke startup kesehatan. Dua sektor ini diprediksi menjadi pilihan investor tahun depan.
Menggenjot Kredit Lewat Aplikasi
Teknologi finansial menjadi mainan baru perusahaan rintisan. Diharapkan menjadi motor ekonomi digital masa depan.
SELURUH area lantai 18 gedung Menara BTPN di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, tak ubahnya tempat nongkrong di pusat belanja. Desain interior bergaya pop art menghilangkan kesan ruang kantor dalam ruangan seluas hampir satu kali lapangan bola itu. Suasana cair dan santai terlihat meski seratusan karyawan tengah bekerja. Dari sinilah Jenius, aplikasi keuangan digital milik BTPN, digodok dan dilahirkan. "Kami memang meniru sistem kerja perusahaan startup," ujar Wakil Direktur BTPN Djemi Suhenda kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
BTPN memberi perlakuan khusus bagi Jenius. Alih-alih merekrut ahli keuangan, perusahaan ini mempekerjakan para anak muda yang ahli di bidang pemasaran, branding, dan teknologi digital. Aplikasi yang diluncurkan setahun lalu itu dirancang menggantikan pelayanan bank konvensional buat nasabah. Melalui aplikasi ini, nasabah sudah bisa mengakses pelayanan dasar perbankan, dari membuka rekening, mentransfer dana, hingga merencanakan tabungan tanpa harus datang ke kantor bank.
Dalam pertimbangan BTPN, kata Djemi, ketimbang berinvestasi besar untuk membangun kantor cabang dan memperluas jaringan anjungan tunai mandiri, perusahaannya memilih berfokus membangun landasan digital untuk pelayanan yang mereka sediakan. Satu tahun sebelum meluncurkan Jenius, BTPN meluncurkan program pelayanan perbankan seluler bernama WOW. Program ini berhasil menambah 3,4 juta nasabah baru.
Alasan yang dikemukakan Djemi cukup masuk akal jika melihat hasil riset soal ekonomi digital yang dirilis McKinsey Global Institute pada 2016. McKinsey menyebutkan, dalam 10 tahun terakhir, ekonomi digital telah menyumbang setidaknya 10 persen dari produk domestik bruto dunia dengan nilai mencapai US$ 7,8 triliun atau sekitar Rp 104 ribu triliun. Laporan itu juga menyebutkan pertumbuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan dua bank atau lebih naik hingga 25 persen.
Sepanjang 2011-2014 pun jumlah nasabah bank yang mengakses pelayanan mobile banking tumbuh tujuh kali lipat. Di sisi lain, jumlah konsumen bank yang tidak puas dengan pelayanan perbankan yang ada saat ini terus naik hingga lebih dari 10 persen. Sedangkan dalam beberapa tahun terakhir industri perbankan lesu darah.
Data terbaru Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan kredit perbankan secara tahunan (year-on-year) sampai September 2017 sebesar 7,9 persen. Angka ini hanya naik tipis jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit per September 2016 yang mencapai 6,4 persen (year-on-year). Bank sentral memprediksi pertumbuhan kredit sampai akhir tahun ini lebih rendah dari target sebesar 8-10 persen.
Becermin pada data tersebut, kata Djemi, bank harus lebih kreatif dalam mempertahankan nasabah lama sekaligus menjaring nasabah baru. "Salah satu caranya dengan mengembangkan pelayanan digital." Namun, untuk masuk ke area ini, bank masih berhati-hati. Untuk membuat platform digital atau memperluas pelayanan dengan meluncurkan sistem pembayaran baru seperti uang elektronik, dibutuhkan investasi cukup besar. "Sementara untungnya tidak seberapa, baru terasa dalam jangka panjang."
Hal ini diakui Senior Vice President Transaction Retail Banking Sales Bank MandiriThomas Wahyudi. Menurut dia, untuk membangun pelayanan baru seperti sistem pembayaran uang elektronik, bank harus menyediakan dana triliunan rupiah demi investasi infrastruktur. "Tapi bank tidak bisa mengolah dana pihak ketiga yang masuk ke sistem ini," ujarnya, akhir September lalu. Praktis, hanya bank-bank besar yang bisa melakukan inovasi semacam ini.
Peluang besar bagi bank agar bisa menggenjot pendapatan dari keuangan digital sebetulnya terdapat pada sektor kredit. Namun sejumlah regulasi masih menghambat bank untuk masuk ke sektor ini. Misalnya, bank masih diwajibkan melakukan verifikasi data secara tatap muka dengan nasabah. Inilah yang bisa memperlambat proses pencairan dana. Prinsip kehati-hatian bank dalam menjaring debitor juga dianggap belum sesuai dengan sistem digital yang serba cepat. "Untuk saat ini, bank baru bisa leluasa berinovasi di sektor pelayanan perbankan digital," kata Djemi.
Ceruk pelayanan keuangan digital yang belum tergarap banyak oleh bank ini kemudian dimanfaatkan puluhan perusahaan rintisan (startup) dengan menyediakan landasan digital dalam mempertemukan debitor dan kreditor. Pelayanan yang mereka sediakan adalah akses permodalan dengan sistem modal sesama (peer-to-peer/p2p lending). Berbeda dengan bank yang memiliki batas dan syarat ketat untuk debitor, aneka startup pendanaan ini mampu menjangkau kalangan yang berada di luar radar bank.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riswinandimengatakan keberadaan perusahaan p2p lending berguna bagi para pelaku usaha kecil-menengah untuk mendapatkan pendanaan tanpa harus meminjam ke bank. Menurut dia, saat ini masih terdapat 49 juta UKM di Indonesia yang belum bankable dan membutuhkan akses terhadap pinjaman. "Keunggulan pelayanan semacam ini adalah mampu memberikan solusi yang praktis, lincah, dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat," ujarnya, dua pekan lalu.
Otoritas mencatat, saat ini sudah ada 25 perusahaan p2p lending yang mendapatkan izin dari OJK, sebanyak 33 perusahaan sedang dalam proses pendaftaran, dan 27 perusahaan lain sudah menyampaikan minat untuk mendaftar. Total hingga kuartal akhir tahun ini terdapat 85 startup p2p lending yang beroperasi. Secara kinerja, OJK melaporkan, per September 2017, pertumbuhan penyaluran dana melalui startup p2p lending telah mencapai Rp 1,6 triliun.
Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech)Adrian Gunadi mengatakan jumlah penyaluran dana tersebut naik hampir tujuh kali lipat dibanding tahun lalu. Tingginya pertumbuhan penyaluran dana oleh fintech disebabkan oleh masih besarnya pasar kredit. Berdasarkan perhitungan Aftech, masih ada peluang berupa kebutuhan pinjaman sebesar Rp 800 triliun untuk modal usaha masyarakat menengah ke bawah di Tanah Air.
Untuk tahun depan, Adrian memproyeksikan pertumbuhannya bisa double digit. "Tahun depan sektor p2p lending pasti bakal lebih bergairah, banyak startup baru, dan akan ada kolaborasi antara startup dan bank atau startup lain di sektor perdagangan elektronik." Kolaborasi antar-perusahaan menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Berbeda dengan bank yang sudah memiliki nasabah, para perusahaan p2p lending harus berjuang mempromosikan diri lebih dulu kepada konsumen.
Meski begitu, Adrian, yang juga pendiri startup p2p lending Investree, mengatakan dalam jangka pendek para pengusaha di sektor fintech masih harus membentuk ekosistem bisnis. "Meski prospeknya bagus, tantangannya juga besar."
Di luar pelayanan jasa keuangan dan p2p lending, sektor fintech bakal makin marak dengan kehadiran perusahaan penyedia sistem transaksi nontunai. Chief Executive Officer Go-Jek Nadiem Makarim mengatakan peralihan sistem transaksi dari tunai menjadi nontunai mulai masif di Indonesia. "Maka, ke depan, sektor fintech bakal makin panas," ujarnya, Oktober lalu. Go-Jek merespons potensi ini dengan memperluas jangkauan sistem pembayaran Go-Pay mulai tahun depan. Selama ini, Go-Pay hanya digunakan untuk pembayaran pelayanan Go-Jek.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara melihat sektor fintech akan menjadi salah satu motor ekonomi digital di masa depan. "Kehadiran aneka aplikasi di bidang ini terbukti mampu menciptakan inklusi keuangan," ujarnya, Senin pekan lalu. Walhasil, beban pemerintah meningkatkan jumlah penduduk yang terpapar pelayanan keuangan dan perbankan hingga 75 persen pada 2019 menjadi lebih ringan. "Fintech harus terus didorong," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo