Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTRI Aditya merasa ada sesuatu yang tak beres dengan badannya. Karyawan swasta di Palmerah, Jakarta Barat, itu merasakan nyeri hebat di perut. Ia lantas mencari informasi melalui Google di telepon selulernya. Banyak macam obat tercantum di sana, tapi dia tidak tahu harus mengkonsumsi yang mana. Di rumahnya, ia hanya punya stok parasetamol untuk pereda nyeri, tapi tidak berani minum sembarangan.
Ia lantas mengunduh aplikasi Halodoc. Di sana ada sejumlah fitur, termasuk konsultasi dengan dokter. Setelah menentukan dokter pilihan, ia menggunakan fitur obrolan dengan dokter dan menjelaskan keluhannya. Jawaban atas pertanyaannya datang sekitar 15 menit kemudian.
Layaknya pemeriksaan di klinik, dokter bertanya apa saja gejala-gejalanya. Putri menjawab semua pertanyaan itu. "Apakah saya kena tifus, Dok?" ujarnya. Dokter menjelaskan gejala tifus dan menyatakan keluhan Putri tak termasuk di dalamnya. Putri meminta izin minum parasetamol untuk mengurangi rasa nyeri. Dokter mengizinkannya untuk meredakan sakit sementara dan menyarankan Putri segera pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Setelah Putri meminum parasetamol, sakitnya tak juga pergi. Dia kemudian pergi ke Rumah Sakit St. Carolus di Jakarta Pusat. Dokter di sana memberi tahu bahwa ia bukan kena tifus, melainkan radang usus buntu. Keesokan harinya Putri memutuskan dioperasi. Ia mengaku terbantu oleh aplikasi yang bisa melayaninya seketika. "Puas sekali untuk konsultasi yang butuh penanganan cepat tapi tidak darurat," kata perempuan 25 tahun itu, Selasa pekan lalu.
Halodoc adalah salah satu aplikasi kesehatan yang muncul di Indonesia dalam kurun lima tahun ini. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, saat ini ada 16 aplikasi kesehatan semacam itu, seperti Alodokter, Tanyadokter.com, dan Konsula.com. Ketua Ikatan Dokter Indonesia Daeng M. Faqih menilai kemunculan aplikasi kesehatan ini terjadi karena perkembangan teknologi digital dan kebutuhan besar masyarakat akan pelayanan kesehatan yang cepat dan terjangkau.
Halodoc, yang dirintis Jonathan Sudharta pada 2014, terilhami oleh masih banyaknya masyarakat yang belum mendapatkan akses ke layanan kesehatan secara memadai dan cepat. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Jonathan sempat membuat studi mengenai orang yang menggunakan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan di Jakarta, datang ke rumah sakit, daftar, menunggu dokter, konsultasi, dapat resep, ke apotek, dan ambil obat. Waktu yang dibutuhkan untuk semua layanan itu sekitar empat jam. "Dengan aplikasi, bisa berkonsultasi via telepon dan video. Setelah itu, dijamin dua jam obatnya sampai rumah," kata Rudiantara, Selasa pekan lalu.
Menurut Jonathan, aplikasi Halodoc yang berbasis web dan aplikasi itu memberi peluang bagi pasien untuk bisa berkonsultasi langsung dengan dokter tanpa menunggu lama. "Yang konsultasi itu dari berbagai daerah. Ada yang dari Papua dan Sulawesi," ujarnya kepada Tempo, Senin pekan lalu. Ia mengaku tergerak untuk membuat startup ini karena tahu bagaimana panjangnya proses mengakses kesehatan karena dia pernah menjadi medical representative. "Saya kebetulan punya ketertarikan pada teknologi informasi. Maka jadilah aplikasi ini."
Hadirnya aplikasi kesehatan membuat rumah sakit serasa berada di ujung jari. Orang bisa berkonsultasi langsung dengan dokter pilihannya, baik yang gratis maupun berbayar. Dalam Halodoc, ada dokter yang menetapkan tarif untuk biaya konsultasi. Besarnya Rp 60-125 ribu. "Besar biaya konsultasi ditentukan oleh tiap dokter," kata Jonathan. Halodoc mendapatkan pembagian keuntungan dari pembayaran itu. Jonathan tak mau menyebutkan jumlahnya. "Persentase bagiannya cuma satu digit," tuturnya.
Versi terbaru layanan Halodoc diluncurkan pada Mei lalu. Menurut Jonathan, perbedaan paling mencolok adalah pada soal waktu yang diperlukan bagi pengguna untuk dapat memperoleh informasi harga dan ketersediaan obat yang akan dibeli. "Dulu membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Sekarang hanya 30 detik," ujarnya.
Sebelumnya, saat memesan obat, pemesan harus menunggu konfirmasi ketersediaan dan harganya dari apotek-apotek yang bermitra dengan Halodoc. Kini, menurut Jonathan, pengguna dapat mengetahui informasi dan harga obat yang hendak dipesan secara langsung berdasarkan ketersediaannya di apotek terdekat. "Pemakai Halodoc awalnya ribuan. Kini sudah lebih dari 1 juta karena tertolong oleh platform Go-Jek," ucap Jonathan.
Aplikasi kesehatan Alodokter punya cara kerja serupa. Selain berbasis situs web, ada yang berbasis aplikasi Android. Situs Alodokter memuat aneka informasi soal kesehatan. Aplikasi mobile-nya, yang diluncurkan pada Maret tahun lalu, memungkinkan pengguna berinteraksi seperti dokter-pasien di rumah sakit. "Prinsipnya, kami membantu menjembatani antara masyarakat dan dokter," kata Nathanael Faibis dalam wawancara melalui surat elektronik, Selasa pekan lalu.
Dalam konsultasi dokter lewat aplikasi Alodokter, pengunjung dapat menerima jawaban atas pertanyaannya dalam waktu 10 menit saja. Sedangkan di situs Alodokter, pengunjung butuh waktu sekitar 24 jam. Menurut Nathanael, kecepatan layanan dipengaruhi jumlah dokter. Saat awal peluncuran layanan pada 2014, Alodokter hanya memiliki seorang dokter. "Kini Alodokter memiliki lebih dari 350 dokter," tuturnya. Pengguna Alodokter kini sudah mencapai 14,5 juta. "Pertumbuhannya sangat kuat dalam tiga tahun terakhir ini."
Potensi sektor kesehatan ini juga tecermin dari modal yang masuk ke sektor ini. Halodoc berhasil mendapat pendanaan Seri A (pendanaan awal dari dana ventura) senilai US$ 13 juta yang dipimpin VC Clermont Group, yang bermarkas di Singapura, pada 2016. Yang juga ikut dalam pendanaan ini adalah perusahaan aplikasi transportasi online Go-Jek, e-commerce Blibli.com, dan NSI Ventures.
Alodokter mendapatkan pendanaan Seri A senilai US$ 2,5 juta, yang dipimpin Golden Gate Ventures. Pada tahun ini, Alodokter memperoleh suntikan dana US$ 9 juta untuk putaran pendanaan Seri B, yang dipimpin SoftBank Ventures Korea. Investor Alodokter saat ini, Golden Gate Ventures dan FengHe Group, juga ikut dalam pendanaan baru ini.
Menurut Jonathan, sektor kesehatan memiliki potensi pasar yang besar. Pasar sektor kesehatan pada 2016 sebesar US$ 30 juta. Nilai itu merupakan akumulasi dari pasar untuk rumah sakit, farmasi, dan semacamnya. Ia belum bisa memperkirakan berapa persen dari jumlah itu untuk startup atau layanan kesehatan online. "Pertumbuhannya, menurut taksiran optimistis, bisa 8 persen per tahun," tuturnya. "Jika kita melihat pemain kesehatan digital top Cina, kita yakin potensi itu sangat besar untuk sektor kesehatan di Indonesia."
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara punya optimisme besar untuk bisnis online bidang kesehatan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kini lebih dari Rp 2.000 triliun dengan alokasi dana untuk sektor kesehatan sebesar 5 persen, terbesar kedua setelah pendidikan, yang 20 persen. "Bayangkan potensinya. Kan juga ada 16 ribu dokter," ucapnya. Bagi Rudiantara, kesehatan menjadi sektor yang punya masa depan cukup bagus secara bisnis setelah pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo