Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tren Kantor Generasi Milenial

Fenomena coworking space atau ruang kerja kolaboratif menjamur seiring dengan pesatnya bisnis ekonomi digital. Peminatnya dari perusahaan startup dan kalangan anak muda.

26 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANGAN jembar di lantai 10 Plaza Kuningan Menara Selatan, Jakarta, menyuguhkan pemandangan tak lazim sebuah area perkantoran. Tiga orang tampak sedang bermain biliar, beberapa orang lain berpendar di meja-meja bar sembari berdiskusi. Ada juga pemandangan orang-orang dengan laptop di atas pangkuan tengah duduk di kursi dan sofa.

Di sinilah ruang kerja kolaboratif atau coworking space milik EV Hive City. Di tempat ini, orang-orang yang ada di dalamnya tak mesti satu instansi. Ada yang datang dari perusahaan-perusahaan startup, para pekerja freelance, serta pegawai korporasi-korporasi yang ingin menyewa ruang kantor murah. "Empat puluh persen dari startup," kata Head of Human Capital EV Hive Bibi Asdaputra saat mengajak Tempo berkeliling, Rabu pekan lalu.

EV Hive menawarkan beberapa paket sewa ruangan yang jauh lebih murah ketimbang harga sewa kantor di gedung-gedung perkantoran strategis. Di sini mereka bisa berbagi ruang kerja dengan yang lain, juga bisa membuka kesempatan melakukan kolaborasi antar-pengguna ruangan tersebut.

Untuk paket pertama, daily pass, seorang penyewa atau pengguna cukup membayar Rp 50 ribu untuk bisa memanfaatkan ruang bersama selama seharian. Pengguna paket ini akan mendapatkan fasilitas berupa Internet dan minuman. Setelah daily pass, ada beberapa paket yang lebih mahal, misalnya paket per bulan seharga Rp 1 juta sampai ruang kantor privat seharga Rp 4 juta per bulan.

Di Plaza Kuningan itu, EV Hive punya tiga lantai, dari 9 hingga 11. Total luasnya 6.000 meter persegi. "Ini terbesar di Asia Tenggara," kata Bibi. Di Jakarta, mereka punya enam tempat lagi. Di Tangerang ada satu. Di Medan juga ada yang semacam ini. Menurut Bibi, pengguna atau member coworking space jaringan mereka sudah lebih dari 1.000 orang. Ekspansi dari satu menjadi delapan tempat ini hanya terjadi dalam setahun.

Pertumbuhan jumlah unit milik EV Hive ini turut menjadi faktor penyumbang angka pertumbuhan coworking space di Indonesia. Perkumpulan Coworking Indonesia-asosiasi usaha ini-mencatat angka pertumbuhan 410 persen selama tiga tahun terakhir. Dari hanya 30-an tempat pada 2016, kini ada 170 tempat di 27 kota Indonesia. Tahun depan, bisnis ini diprediksi menggeliat.

Sebaliknya, bisnis sewa ruangan kantor justru tengah lesu. Menurut laporan konsultan properti Jones Lang Lasalle, pada kuartal ketiga tahun ini, rata-rata okupansi ruang perkantoran di central business district atau kawasan segitiga emas, Sudirman, Jakarta, hanya 81 persen. Di luar kawasan ini di Jakarta, rata-rata okupansinya paling tinggi 76 persen.

Okupansi yang rendah ini membuat pengelola kantor konvensional mulai berpikir mencari cara untuk tetap meningkatkan pendapatan. Sebagian di antara mereka mulai menggarap bisnis kantor virtual atau virtual office. Ada juga yang mulai melirik bisnis coworking space. Menurut laporan Jones Lang Lasalle, mereka yang menggunakan virtual office dan coworking space adalah generasi milenial atau anak muda saat ini. Tahun depan, virtual office dan coworking space berpeluang besar menjadi tren baru bisnis properti.

Tak hanya di Jakarta, bisnis coworking space juga tengah naik daun di kota lain. Di Semarang, pertumbuhan jumlah coworking space yang masif terjadi pada jaringan Impala yang didirikan Gatot Hendraputra pada 2016. Awalnya dia menyewa ruangan seluas 450 meter persegi di lantai dua di atas Spiegel Bar and Bistro Semarang dengan harga sewa Rp 100 juta untuk tiga tahun. Setahun menjalankan bisnis ini, Gatot kini sudah punya delapan space. "Sebagian besar penggunanya startup," ujarnya.

Menurut Gatot, biaya operasional tempat-tempat tersebut rata-rata Rp 30 juta per bulan. Sejauh ini bisnisnya bisa bertahan menutup biaya tersebut. Gatot mengatakan keuntungan di bisnis tidak terlalu banyak. "Yang penting tetap jalan dan tidak merugi," ujarnya.

Yang terjadi pada EV Hive agak berbeda. Menurut Bibi Adisaputra, karena masih berekspansi, mereka sampai saat ini belum mencapai break-even point. Ekspansi ini bisa terus dijalankan karena mereka didanai East Ventures, perusahaan venture capital yang berbasis di Jakarta, Singapura, dan Tokyo.

Awalnya mereka membangun ruang bekerja untuk beberapa startup yang mereka danai di Jalan Kyai Maja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 2015. Dalam perkembangannya, penghuni ruang kerja itu bukan hanya dari perusahaan startup binaan mereka. Sebab, para wirausaha itu mengajak orang-orang lain untuk bekerja sama. Walhasil, pada 2016, East Ventures serius mengembangkan ruang kerja kolaboratif ini.

Menurut Bibi, saat ini ekspansi EV Hive masih terus didanai East Ventures, yang patungan dengan entitas bisnis lain ataupun pemerintahan. Di EV Hive The Breeze Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, misalnya, mereka patungan dengan Sinar Mas Land. Lalu di EV Hive International Financial Centre Sudirman, Jakarta, East Ventures bekerja sama dengan Kepple Land.

Menjamurnya tempat kerja semacam ini terjadi akibat kebutuhan tempat berkolaborasi di dunia nyata yang semakin tinggi. Dimas Prasojo, pendiri startup layanan jasa bantuan hukum berbasis online PopLegal, menyatakan banyak alasan kenapa ia menggunakan coworking space. "Dari segi biaya, tentu saja bekerja dari rumah lebih hemat," ucapnya. "Tapi, di coworking space, saya bisa berkolaborasi, bahkan mendapatkan pengguna layanan saya."

Itulah sebabnya, Dimas, yang sudah menyewa ruang kantor di Prudential Centre Virtual Office di Kota Kasablanka buat dua anggota stafnya, tetap rajin datang ke BLOCK71-salah satu inkubator startup yang juga menyediakan ruang kerja kolaboratif di bilangan Ariobimo Sentral, Kuningan, Jakarta.

Manajer Komunitas BLOCK71 Tinnike Lie, mengatakan Dimas diberi keistimewaan di BLOCK71. Dia bisa menggunakan fasilitas ruang kerja di sana secara gratis. "Dimas salah satu mentor di sini," tuturnya.

Sebagai mentor, menurut Tinnike, Dimas memberi konsultasi dalam program yang mereka beri nama office hour. Itu program tempat anggota atau pengguna BLOCK71 bisa berkonsultasi satu lawan satu dengan seorang mentor di bidang yang ingin didalami. Dimas mentor di bidang hukum.

Presiden Perkumpulan Coworking Indonesia Faye Alund mengatakan jejaring memang menjadi nilai jual utama coworking space. "Apalagi kalau jejaring itu kemudian menghasilkan peningkatan ekonomi buat seseorang," ujarnya. Di masa mendatang, menurut Faye, kalau infrastruktur Internet di banyak kota makin baik dan komunitas wirausaha sudah terbentuk, permintaan coworking space akan meningkat.

Di ruang kerja kolaboratif milik Faye sendiri, Kumpul, 75 persen pemasukan masih didapatkan dari jasa mereka membuat program inkubasi dan pelatihan. Barulah 25 persen dari iuran anggota. Bagaimanapun, bisnis yang dibangun Faye ini sudah mencapai break-even point dalam 18 bulan. Sekarang ia sudah mulai menikmati untung.

Menurut Faye, kondisi ideal-pemasukan coworking space adalah dari iuran anggota-baru akan terjadi ketika ruang kerja kolaboratif sudah menjadi sesuatu yang mainstream, seperti pusat kebugaran. "Sekarang, gym kecil saja punya 300 member," ujarnya. "Coworking space belum seperti itu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus