Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi*
Prabowo Subianto semula adalah bintang terang. Di militer, ia menjadi Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus pada usia 44 tahun. Dua tahun kemudian kariernya menanjak menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Karier militer ini meredup dan terlepas pada 24 Agustus 1998, ketika Dewan Kehormatan Militer memberhentikannya sebagai panglima atas perannya dalam kasus penculikan belasan aktivis mahasiswa 1997-1998.
Memasuki bursa calon presiden pada 2012, Prabowo menjadi bintang terang. Dalam sejumlah jajak pendapat, dia menjadi calon terkuat sampai awal 2013. Sinarnya meredup ketika Joko Widodo menjadi favorit baru di kalangan pemilih, kelak untuk pemilihan umum presiden 2014.
Beban masa silam sebagai jenderal dan janji masa depan sebagai calon presiden menyodorkan keunikan atas cara Prabowo memetakan wilayah peperangan politik dan strategi elektoralnya sebagai upaya untuk menggapai posisi kepresidenan. Sejumlah kontradiksi muncul, dan itu kelak akan menentukan peruntungan elektoralnya.
Bagi Prabowo, wilayah perang itu terbagi dalam dua front: domestik dan internasional. Dua front ini harus dihadapi sekaligus karena catatan masa silam Prabowo menjadi perhatian komunitas internasional. Retorika dan kebijakan yang kelak diambil Prabowo sebagai calon presiden menjadi pemeriksaan kalangan internasional pula.
Kasus penculikan—ditambah tuduhan akan perannya pada kerusuhan 13-15 Mei 1998, yang memuat elemen anti-Cina—berujung pada penolakan terhadap Prabowo di sebagian komunitas internasional. Sampai kini, misalnya, Kedutaan Amerika Serikat belum mencabut larangan pemberian visa kepada Prabowo. Karena itu, dalam sejumlah kesempatan, Prabowo berusaha menjelaskan posisinya dalam hiruk-pikuk dan huru-hara 1998 dengan menerangkan konteks peristiwa penculikan untuk publik internasional.
Pada 5 Februari 2001, dalam wawancaranya dengan majalah Newsweek, Prabowo membela diri dengan mengatakan, "Dulu semua kesalahan ditimpakan pada orang-orang komunis. Kini (saat zaman berubah) semua kesalahan ditimpakan pada para loyalis Soeharto." Dalam wawancara dengan Al-Jazeera tertanggal 21 September 2013, dia menanggapi lagi isu itu dengan menambahkan penggalan argumen pembelaan atas posisinya bahwa Nelson Mandela pun pernah ditolak Amerika—terlepas dari kenyataan bahwa posisi masing-masing sebenarnya berlawanan: yang satu pelanggar hak asasi dan yang lain pejuang hak asasi.
Front domestik pun telah lama digarapnya. Ketika mendirikan Partai Gerindra pada 2008, Prabowo mengajak mantan aktivis terculik untuk bergabung ke partai itu dengan menyodorkan sebuah skema rekonsiliasi. Ketika isu anti-Cina menggayuti pundaknya, Prabowo dan Gerindra menyelesaikannya dengan memberikan sokongan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk menjadi pasangan Jokowi pada pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012. Isu-isu ini diselesaikan Prabowo meskipun dampak magnitude elektoralnya tidak sebesar yang diduga banyak orang.
Kedua front perang ini semakin penting ketika melihat strategi elektoral Prabowo dan caranya memetakan wilayah perang dalam isu-isu masa kini. Secara sistematis, dia mulai memetakan target pemilih domestik untuk diubahnya menjadi pendukung politiknya setelah mengikuti konvensi capres Golkar 2004. Prabowo mengambil alih kepemimpinan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia pada Desember 2004, dengan mengalahkan Jafar Hafsah dan Setiawan Djody, dan sampai kini ia menjadi ketua umum organisasi tani tersebut. Langkah berikutnya, Prabowo juga memasuki Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia pada Agustus 2008, dan posisi ketua umum dipegangnya sampai periode ini.
Menyiapkan diri untuk pemilu presiden 2014, tahun ini jangkauan Prabowo meluas. Kalangan nelayan, misalnya, dia dekati dengan melakukan kegiatan buka puasa bersama pada Juli lalu. Setelah itu, ia menyatakan dukungan pembentukan bank tani dan nelayan, yang dinyatakan di depan publik pada Oktober 2013. Isu buruh pun disentuh Prabowo ketika dia mendatangi persidangan Wilfrida—tenaga kerja Indonesia yang terancam hukuman mati—di Malaysia pada 28 September 2013.
Strategi elektoral Prabowo mendekati kelompok petani, nelayan, pedagang, dan buruh memberi asosiasi populis ala Indonesia kepada mantan komandan itu. Kelompok-kelompok itu kerap digambarkan sebagai kelompok kolektif yang mayoritas dari segi jumlah tapi menyandang status minoritas dalam pergulatan politik kebijakan selama ini. Ditambah kelompok masyarakat pedesaan, kelompok-kelompok ini menjadi sandaran untuk menimbun dukungan politik, yang secara lebih rinci semua kelompok ini ditempatkan sebagai subyek kunci dalam rumusan 6 Program Aksi Gerindra pimpinan Prabowo. Dalam Program Aksi, badan usaha milik negara pun ditempatkan sebagai aktor kunci yang seharusnya menguasai perekonomian sehingga Indonesia bisa membangun kedaulatan ekonomi.
Dalam berbagai retorika di depan publik Indonesia, Prabowo, misalnya, mengkritik arah kebijakan ekonomi pemerintah sekarang yang bersifat neoliberal, sebagaimana diutarakannya dalam pidato kuliah umum di upacara wisuda STKIP, Oktober ini. Dengan sistem ekonomi Indonesia sekarang ini, menurut dia, banyak kekayaan Indonesia lari ke luar negeri.
Koreksi terhadap praktek kebijakan neoliberal yang diajukan Prabowo disampaikan di forum lain secara lebih spesifik. Misalnya, dalam hal privatisasi perusahaan negara, seharusnya batas maksimal penjualan saham ke tangan privat tak lebih dari 30 persen.
Untuk publik domestik, citra "populis" ini dikombinasikan dengan cara pandang nasionalistik yang populer di kalangan pemilih Indonesia. Petani, nelayan, buruh, dan pedagang adalah kelompok yang menanggung beban terbesar ketika isu impor komoditas pertanian dibuka lebar. Para pedagang dengan loket kecil di pasar tradisional terimpit oleh merebaknya jaringan retail multinasional. Buruh pun tergencet oleh kemungkinan relokasi pabrik jika pemiliknya ingin memindahkan pabrik itu ke negara lain. Karena itu, retorika nasionalistik ini klop belaka dengan kepentingan berbagai kelas mayoritas yang selama ini dijelajahinya.
Problemnya, pada saat yang sama, Prabowo harus pula menghadapi front komunitas internasional dengan kepentingan yang sering kali bertolak belakang dengan pilihan sikap dan kebijakan nasionalistik yang ditawarkannya. Sebagian besar komunitas internasional lebih menyukai ekonomi Indonesia yang terbuka dengan lalu-lalang usaha dan modal yang tidak terhambat. Respons Prabowo, seperti tercatat dalam wawancara dengan reporter Wall Street Journal, Juli 2013, menyatakan bahwa ekonomi Indonesia adalah ekonomi terbuka. Prabowo menegaskan bahwa ia sepenuhnya mendukung sektor privat dan investasi dari luar negeri. Bahkan dia mengutip kesuksesan ekonomi Korea Selatan, yang dimotori oleh chaebol (konglomerasi multinasional, seperti Samsung dan Hyundai), sebagai sebuah template pembangunan yang layak ditiru. Yang mana Prabowo yang sesungguhnya?
Dua wajah Prabowo yang berbeda muncul di front yang berbeda. Ia menampilkan wajah nasionalis di front domestik, tapi memermak atau memperlunak wajah itu ketika berhadapan dengan komunitas internasional. Organisasi kolektif petani, nelayan, pedagang, dan buruh serta BUMN adalah aktor pokok dalam kehidupan ekonomi yang dijualnya pada kampanye pasar politik dalam negeri, tapi sektor privat dan investor luar negeri disebutnya sebagai pemain pokok di panggung-panggung internasional—dua hal yang kontradiktif.
Dua wajah Prabowo yang berbeda muncul pula pada isu lain yang berkaitan dengan pandangannya terhadap demokrasi. Di berbagai forum, ia mengakui aturan main politik telah berubah sejak 1998. Dengan mendirikan Gerindra, ia mengikuti aturan main itu bahwa kekuasaan politik di Indonesia hanya bisa diraih melalui pemilu. Tapi praktek demokrasi dan proses pengambilan kebijakan publik di Indonesia terlalu semrawut. Karena itu, baginya, Indonesia sekarang memerlukan a strong man—orang kuat—sebagaimana dinyatakannya di kuliah umum RSIS, Singapura, pada awal Agustus 2012.
Model orang kuat itu diberi personifikasi, yakni Lee Kuan Yew, yang diagungkan Prabowo karena mantan perdana menteri ini berhasil mengubah Singapura dari status negara berkembang menjadi negara maju dalam dua dekade. Problemnya, Lee Kuan Yew mengambil kebijakan untuk Singapura secara otoriter. Dalam banyak kasus, ia tidak memperbolehkan pers bebas di Singapura. Wajah demokrat dan wajah otokrat bergantian muncul dalam panggung-panggung publik yang dihadiri Prabowo.
Di tingkat personal, Prabowo memberi pula dua potret yang berlainan. Ia dikenal sebagai sosok temperamental, sebagaimana digambarkan dalam sebuah versi yang bercerita tentang upayanya menembus penjagaan istana presiden pada saat genting suksesi kepemimpinan Mei 1998. Seraya meminta izin memasuki istana, ia berkeras membawa senjata api ke dalam istana, meskipun upaya itu tidak berhasil. Namun, di saat lain, dia bisa melemparkan "humor" penyesalannya bahwa ia tidak melakukan kudeta pada tahun gawat itu.
Kemunculan wajah Prabowo yang berlainan ini berhubungan dengan kerumitan pemetaan politik yang dibuatnya. Ia harus berperang di dua front yang berbeda dengan tuntutan yang kerap kali berlawanan. Demi perluasan basis dukungan elektoral, ia memerlukan dukungan mayoritas yang banyak ditemuinya di kelompok-kelompok kolektif yang tertarik dan merasa lebih nyaman dengan sentimen nasionalisme. Tapi sebagian dukungan ini bisa menyurut jika kontradiksi yang diidapnya sampai ke para pendukungnya di Tanah Air. Dan tampaknya ini terjadi seiring dengan tampilnya Jokowi, yang memiliki basis sosial dukungan politik yang beririsan dengan Prabowo.
*) Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, direktur eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo