Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pecah Koalisi Batu Tulis

Prabowo mengikat kontrak politik dengan Megawati pada 2009. Berantakan karena muncul Jokowi.

28 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pesan itu disampaikan Glenny Kairupan, utusan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, kepada tuan rumah, Megawati Soekarnoputri. Makan siang di rumah Ketua Umum PDI Perjuangan itu, dengan menu sabu-sabu Kayangan, baru saja usai.

Menurut Glenny, yang menceritakan peristiwa empat tahun lalu itu, pesan pertama adalah kedua partai tak mungkin mempersoalkan hasil pemilihan umum April 2009. Kedua, Gerindra meminta PDI Perjuangan mengajukan calon wakil presiden yang akan dipasangkan dengan Prabowo. "Megawati menanggapi pesan itu dengan senyum," kata Glenny kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Ia menuturkan pendamping Megawati yang hadir ketika itu menggerutu. Di antaranya Taufiq Kiemas, suami Mega, dan politikus senior Theo Syafei. Glenny mengatakan Taufiq ketika itu menyemprot, "Yang bener, Glen, Prabowo itu cuma dapet berapa? Masak, lebih kecil daripada wakilnya?"

Glenny balik badan. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada Prabowo. Putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu lalu mengirim kembali dua politikus Gerindra, Fadli Zon dan Muchdi Purwoprandjono—kini bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan.

Bermodal 4,5 persen suara Gerindra di pemilihan umum legislatif, Prabowo percaya diri mencari kawan koalisi. Ia mendatangi Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dan Wiranto, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat. Prabowo juga melobi Soetrisno Bachir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Kepada mereka, Prabowo menjajakan diri sebagai calon presiden.

Prabowo hanya mau jadi calon presiden. Begitu pula ketika kemudian ia bertamu ke rumah Mega, yang partainya mengantongi 14,03 persen suara. Tapi semua partai yang ia lobi telah memutuskan berkoalisi dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagian lain bergabung dengan Jusuf Kalla dan Wiranto. Tinggal Prabowo dan Megawati yang mau tak mau harus bergabung agar bisa mendapatkan tiket pencalonan—yakni 20 persen suara gabungan kedua partai.

Memasangkan dua orang ini tak gampang. Berhari-hari keduanya saling kunci, ngotot menjadi calon presiden. Beberapa jam sebelum pendaftaran calon presiden di Komisi Pemilihan Umum ditutup, 15 Mei 2009, Prabowo menyerah. Ia bersedia menjadi wakil setelah Mega menyetujui peran wakil presiden di bidang ekonomi. Jika terpilih, Mega akan banyak mengurusi politik dan keamanan. Gerindra juga akan diberi jatah sepuluh menteri.

Prabowo awalnya ingin peran wakil presiden dikuatkan seperti perdana menteri. Mega menolak usul itu karena dianggap melawan konstitusi. Dalam perundingan alot itu, Prabowo mengirimkan Fadli Zon, Muchdi Purwoprandjono, dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo. Mega meminta Theo Syafei, Pramono Anung, Tjahjo Kumolo, dan putrinya, Puan Maharani.

Dimulai pukul 14.30, perundingan di meja oval teras Vila Batu Tulis Bogor itu diselingi rehat asar dan magrib. Kesepakatan tuntas diambil pada pukul 21.30. Menurut salah satu peserta, begitu kesepakatan tercapai, Mega dan Prabowo bersalaman. Komitmen dituangkan dalam dua lembar kertas. Lembar pertama berisi perjanjian pembagian tugas. Selembar lagi menyangkut poin-poin koalisi. Mega dan Prabowo menandatanganinya di Istana Batu Tulis malam itu juga.

Ada tujuh poin yang disepakati. Salah satunya soal biaya kampanye dan saksi. Menurut politikus PDIP, biaya kampanye dan saksi akan ditanggung rata oleh kedua partai. Poin penting yang membuat Prabowo melunak adalah kesepakatan PDI Perjuangan yang akan menyokong Prabowo pada Pemilu 2014.

Seorang politikus PDIP yang diminta merapikan draf kontrak menyebutkan, kontrak tidak mengatur klausul jika pasangan ini kalah—dan itu yang terjadi dalam pemilihan pada Juli 2009 tersebut. Tanggung renteng kerugian juga tidak diatur dalam traktat. Perjanjian ini pun terancam berantakan karena PDI Perjuangan kini memiliki calon yang lebih gemerlap: Joko Widodo, hasil koalisi kedua partai dalam pemilihan Gubernur Jakarta.

Dengan alasan menjaga tata krama politik, Prabowo menolak berbicara detail tentang isi kontrak. "Belum saatnya saya sampaikan," katanya. Puan menyatakan soal politik merupakan kewenangan Megawati untuk memutuskan.

Widiarsi Agustina, Wayan Agus Purnomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus