Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM Mawar identik dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Sebab, tim sebelas tentara yang menculik para aktivis prodemokrasi pada 1997-1998 itu berasal dari kesatuan elite yang dipimpinnya, Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat. Prabowo mengatakan saat itu hanya menjalankan perintah.
Pengadilan militer telah menghukum sebelas tentara itu dengan menjebloskannya ke penjara dan memecatnya dari ketentaraan. Prabowo bersama penggantinya, Muchdi Purwoprandjono, pun dipecat dari militer. Ia tak pernah diajukan ke muka sidang pengadilan. Karena itu, tuntutan agar mengadilinya terus bergema dan dipakai lawan politik untuk menjegalnya dalam pemilihan presiden, termasuk kini menjelang 2014. "Bosan saya menjawabnya," kata Prabowo dalam wawancara di rumahnya, Senin pekan lalu.
Dia mengakui memerintahkan penculikan itu. Tapi, ujar dia, "Saya hanya menjalankan tugas." Ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, sebelum meninggal pada 2001, mengatakan kepada Tempo bahwa Soeharto yang memerintahkan penculikan itu untuk meredam kian luasnya desakan mundur kepadanya.
Tuduhan pelanggaran hak asasi manusia itu tak urung membuatnya rungsing. Setelah dipecat, Prabowo—ketika masih berdinas memiliki kode panggilan "08", merujuk pada pelat nomor Komandan Jenderal Kopassus— mengasingkan diri ke Yordania dengan bantuan sahabatnya, Pangeran Abdullah, kini raja negara itu. Ia merintis bisnis minyak di sana selama dua tahun, lalu kembali ke Indonesia ketika sistem politik sudah terbuka, partai banyak, dan kritik tak lagi dibungkam. Prabowo mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya pada 2008. "Orang-orang yang saya culik berjuang di partai agar saya jadi presiden," katanya.
Tiga dari sembilan aktivis yang diculik Tim Mawar bergabung dengan Gerindra. Mereka adalah Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, dan Desmond Junaidi Mahesa. Pius dan Desmond bahkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai itu untuk periode 2009-2014. "Buat saya, pilihan pragmatis saja, masuk partai lain antreannya panjang," kata Desmond, yang bertemu dengan Prabowo untuk pertama kali pada 2002.
Desmond dan Pius menganggap Prabowo bukan penanggung jawab penculikan itu. Maka ketika Mayor Infanteri Bambang Kristiono, komandan Tim Mawar, mengajak bertemu untuk menjelaskan penculikan, Pius setuju. Beberapa bulan setelah Bambang divonis satu tahun sepuluh bulan penjara pada 1999, keduanya bertemu di Jakarta. "Soeharto yang harus bertanggung jawab sebagai Panglima Tertinggi ABRI," kata Pius.
Kedekatan dengan Bambang itulah yang membuat Pius akhirnya bertemu dengan Prabowo pada 2000 di sebuah apartemen di Kuala Lumpur, Malaysia. Waktu itu dia aktif di Partai Perjuangan Nasional, setelah keluar dari pecahan PDI Perjuangan dan Partai Amanat Nasional. Ketika diculik, Pius adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas untuk Amien dan Mega. Amien Rais pendiri PAN dan Mega Ketua Umum PDI—belakangan menjadi PDI Perjuangan—yang dulu aktif dalam gerakan menumbangkan Soeharto.
Berbeda dengan Desmond yang tak pernah membicarakan penculikan di partai ataupun saat bertemu dengan Prabowo, Pius menanyakannya dalam pertemuan tiga jam itu. Ia menanyakan siapa saja aktivis yang diculik Tim Mawar. Menurut Prabowo, ia hanya menculik sembilan aktivis, yang dilepas kembali dalam keadaan hidup. Prabowo menyangkal menculik 13 aktivis lain yang raib hingga kini. "Dia meminta maaf atas penculikan itu," kata Pius.
Bukan hanya soal penculikan, Prabowo juga kerap dihubungkan dengan isu kudeta sehari setelah Soeharto mengundurkan diri, dan presiden dijabat wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie, pada 21 Mei 1998. Sehari berikutnya, Jenderal Wiranto, yang dipertahankan sebagai Panglima ABRI, melapor kepada Habibie ada pasukan liar bergerak menuju Jakarta dari pelbagai daerah.
Habibie, seperti ditulisnya dalam buku Detik-detik yang Menentukan yang terbit pada 2006, menganggap gerakan pasukan itu tanpa koordinasi dengan Panglima ABRI. Setidaknya 11 ribu personel di bawah kendali Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Prabowo Subianto merangsek ke Ibu Kota, termasuk mengepung rumah Habibie di Kuningan, Jakarta Selatan.
Mendapat laporan itu, Habibie memerintahkan pencopotan Prabowo hari itu juga. "Sebelum matahari terbenam," katanya kepada Wiranto. Habibie sendiri sibuk mengumumkan susunan kabinet baru yang sudah ditunggu publik. Wiranto patuh. Ia mengganti Prabowo dengan Letnan Jenderal Jhonny Lumintang. Prabowo menolak Jhonny dengan alasan agama. Jhonny pun hanya menduduki jabatan itu 13 jam, sebelum kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Djamari Chaniago.
Tak terima diganti, Prabowo mendatangi Habibie di Istana Negara dengan dikawal 12 ajudan menunggang Range Rovers. Dalam bukunya, Habibie menulis bahwa ia bimbang haruskah menerima kedatangan Prabowo. Isu pergerakan pasukan liar bercampur aduk dengan kekhawatiran Soeharto marah. Sejak lengser, Soeharto tak pernah mengajak bicara Habibie, yang dituduh mendukung pendongkelannya oleh beberapa menteri.
Habibie akhirnya menerima Prabowo dengan harapan ada titipan omongan dari Soeharto melalui menantunya itu. Sebelum membuka pintu, Habibie cemas membayangkan terjadi pertumpahan darah seperti umumnya kudeta militer di banyak negara. Ia puas setelah melihat Prabowo tak membawa pistol.
Cerita pistol ini kemudian ditambahi oleh Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, asisten Habibie yang menyambut Prabowo dalam pertemuan itu. Melalui buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando yang terbit pada 2009, Sintong menceritakan Prabowo datang ke Istana dengan pistol di pinggang langsung menuju lantai empat tempat Habibie berkantor.
Teringat pembunuhan Presiden Korea Selatan Park Chung-hee oleh Jenderal Kim Jae-gyu pada 1979, Sintong memerintahkan seorang pengawal presiden mengambil pistol Prabowo secara "sopan dan hormat". Tanpa diduga, Prabowo secara sukarela menyerahkannya, termasuk magasin dan pistol rimba khas Kostrad.
Tetap waspada, Sintong menyiapkan sepasukan pengawal presiden berjaga di tiap sudut. Sebelum menyilakan Prabowo masuk, ia mengatur Habibie agar berdiri di tempat yang sudah diberi tanda dan membatasi waktu pertemuan. Habibie dan Prabowo bertemu empat mata. Memakai bahasa Inggris, Prabowo memprotes keputusan Habibie mencopotnya dari jabatan Panglima Kostrad. Sempat terjadi debat, Prabowo akhirnya menerima keputusan itu.
Soal pasukan liar, Prabowo tak menyangkal mengerahkannya ke Jakarta. Tapi bukan untuk kudeta, melainkan "untuk mengamankan presiden dan Ibu Kota dari demonstrasi massa yang kian membesar". Dua hari sebelumnya, Amien Rais berencana mengumpulkan sejuta orang di Monumen Nasional menuntut Soeharto lengser. "Come on, pakai logika, dong. Kalau saya jahat mau kudeta, kenapa saya datang sendiri ke Habibie?" kata Prabowo kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Adapun soal pistol, menurut Prabowo, itu terlalu didramatisasi oleh Sintong. Di ketentaraan, ujar dia, ada mekanisme internal mencopot kopel saat seorang tentara menghadap atasannya. Ketika menemui Habibie, Prabowo mencopot peralatan tempurnya itu di posko penjagaan. "Tapi itulah, cerita dibuat-buat, didramatisasi," katanya.
Prabowo sadar, sebagai calon presiden, isu penculikan oleh Tim Mawar dan kudeta akan selalu dihidupkan oleh lawan-lawan politik untuk melemahkannya. Dua kali ia ikut pemilihan presiden pada 2004 dan 2009, selalu muncul buku baru dari para jenderal tentang peristiwa Mei 1998 yang menuduhnya terlibat pelanggaran hak asasi. "Mau bagaimana lagi? Itulah politik," katanya.
Bagja Hidayat, Wayan Agus Purnomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo