Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tempat pijat Sin Cung Kok, Mal Metropolis Town Square, Modernland, Tangerang, Hendrikus Kia Walen menikmati pijit refleksi. Dinding ruang pijat mengkilat dilapisi bambu yang dipernis. Tarifnya Rp 50 ribu per jam. Tengah hari sudah lewat pada 14 Maret 2009 itu.
Satu jam melemaskan otot, telepon seluler penjaga keamanan berusia 37 tahun itu berbunyi. ”Target sudah diselesaikan,” kata Heri Santosa, temannya, di ujung telepon. Hanya itu. Hendrikus lalu bergegas meninggalkan mal. Dengan taksi, ia menuju Jakarta.
Berganti ke ojek karena jalanan macet, ia menuju Pasaraya Manggarai, Jakarta Selatan, menemui Daniel Daen Sabon. Mereka lalu menuju Tebet, tempat Heri Santosa telah menunggu. Bertiga mereka pergi ke daerah Kampung Pulo, Pondok Labu, mengambil tas plastik berisi Rp 300 juta yang dititipkan Eduardus Noe Ndopo Mbete, 38 tahun, pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur.
Misi tuntas. Nasrudin Zulkarnaen, 41 tahun, baru saja mereka habisi seusai bermain golf di Modernland, pada siang yang mendung itu. Sebutir peluru menembus pelipis kiri, satu lainnya menghantam dahi. Setelah koma beberapa jam, Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran itu tewas esok harinya.
Polisi menangkap Hendrikus, Heri Santosa, Daniel, dan Eduardus, sebulan lebih setelah penembakan. Selasa pekan lalu, Pengadilan Negeri Tangerang mulai mengadili mereka. Keempatnya didakwa melakukan pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati.
SIGID Haryo Wibisono membaca Kompas di dalam pesawat menuju Semarang, Ahad 15 Maret 2009, pukul 07.00. Pengusaha pemilik harian Merdeka itu pulang kampung untuk nyekar ke makam ayahnya. Di halaman 15 ia mendapati berita, ”Direktur Ditembak Sepulang Golf”.
Meski tak pernah bertemu, Sigid tidak asing dengan nama Nasrudin. Lebih dari tujuh bulan, ia selalu membicarakan nama itu bersama Antasari Azhar, teman dekatnya. Menurut Setyo Wahyudi, staf pribadi Sigid, hampir setiap pekan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu bertandang ke rumah bosnya. ”Kadang-kadang sepekan dua kali,” katanya kepada polisi.
Kepada Sigid, Antasari mengeluh menjadi ”sapi perahan”, terus diperas dan diteror Nasrudin. Pada akhir 2008, teror bahkan ditujukan ke istrinya, Ida Laksmiwati. Semua berhulu dari Rani Juliani, bekas caddy padang golf Metropolitan yang, menurut Sigid, pernah ”jalan” dengan Antasari.
Antasari mengenal Rani di lapangan golf tiga tahun lalu, ketika masih menjadi Direktur Pidana Umum Kejaksaan Agung. Pada pertengahan 2008, ia menerima Rani di kamar 203 Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan.
Perempuan yang telah menjadi tenaga pemasaran itu menawarkan keanggotaan padang golf Metropolitan. Nasrudin kemudian juga datang ke kamar itu. Ia marah melihat Rani berduaan dengan Antasari. Ia ternyata telah menikah siri dengan perempuan itu.
Dari sini teror Nasrudin berawal. Ia beberapa kali mengancam akan membuka peristiwa Grand Mahakam ke Dewan Perwakilan Rakyat dan media massa. Untuk mengurangi teror, Antasari meminta tim teknologi Komisi Pemberantasan Korupsi menyadap telepon Nasrudin dan Rani. Kepada Sigid, pada satu hari, Antasari menunjukkan bagan hubungan telepon hasil sadapan.
Menurut Sigid kepada polisi, Antasari pernah menyatakan ingin menggunakan ”orang pintar” dari Indonesia Timur. Tujuannya: membuat Nasrudin sakit keras dan lumpuh. Pilihan lain, memakai preman untuk ”menghilangkan” Nasrudin.
Tapi Sigid mengaku memberikan saran kepada Antasari untuk mengambil jalan lain: datang ke kiai dan minta didoakan sehingga ”rumah Antasari tenang dan Nasrudin menjadi kasihan”. Saran lain yang diajukan Sigid, Antasari sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi mencari kasus korupsi Nasrudin. ”Atau dibayar sajalah,” ujarnya.
Ari Yusuf Amir, pengacara Antasari, mengatakan semua pengakuan Sigid kepada polisi itu palsu. Menurut dia, kliennya tak pernah berniat membunuh Nasrudin. ”Pernyataan Sigid tidak didukung bukti, dan tidak ada saksi yang bisa memperkuat,” ujarnya.
Antasari ternyata juga melaporkan teror Nasrudin ke Kepala Kepolisian, Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Sebagai respons, Bambang membentuk tim yang dipimpin Komisaris Besar Chairul Anwar, Kepala Kepolisian Jakarta Selatan. Tim ini menangkap Nasrudin dan Rani di Kendari, Sulawesi Tenggara, November 2008. Tapi keduanya dilepaskan karena Antasari menolak meneruskan kasus ini ke polisi.
KOMISARIS Besar Williardi Wizar, Kepala Sub-Direktorat Pengamanan Pariwisata Kepolisian, bertandang ke rumah Sigid di Jalan Pati Unus 35, Jakarta Selatan, pada Februari 2009. Ia mengenal pengusaha itu sejak 2006, ketika menjabat Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan.
Di tengah obrolan, Sigid menerima telepon dari seorang anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya. ”Bagaimana sasaran kita?” Suara di seberang menjawab, ”Beliau ada di kantor, di daerah Kuningan.” Setelah telepon ditutup, Williardi bertanya: ada masalah?
Sigid menjawab, ada tugas mengikuti seseorang dan sudah dibentuk empat tim kepolisian buat menjalankannya. Ia mengeluarkan amplop cokelat besar berisi foto, menyerahkannya kepada Williardi, dan berkata, ”Ada tidak orang luar yang bisa melakukan tugas ini?” Williardi menjawab: ”Dicobalah, Mas.”
Foto dalam amplop itu dicetak Setyo Wahyudi, staf Sigid. Ia awalnya membuka foto yang dikirim ke e-mail bosnya, [email protected]. Ada beberapa kiriman elektronik: satu foto pria setengah badan berbaju batik dengan nama file ”Nero”.
File lain dengan nama ”Romeo” berisi foto perempuan berkaus biru dengan rok warna terang. Ada juga peta rumah Nero dan Romeo, dengan nama file ”google map”. Nero dan Romeo rupanya nama sandi untuk Nasrudin dan Rani.
Ditemui di rumahnya, Setyo mengakui pernah mencetak foto Nasrudin dan Rani. ”Itu bagian dari pekerjaan,” katanya, Jumat pekan lalu. Ia enggan berbicara banyak. Sambil meminta Tempo pergi, ia berkata, ”Ini masih dalam penyidikan, saya tidak mau komentar. Saya takut.”
Beberapa hari setelah kunjungan Williardi, Antasari datang ke rumah Sigid. Ia kembali menceritakan teror Nasrudin yang semakin gencar. Tuan rumah lalu menghubungi Williardi agar datang, dan hendak dikenalkan kepada Antasari.
Dalam pertemuan itu Williardi menyatakan siap membantu Antasari. Imbalannya, Antasari bersedia membantu mempercepat kenaikan pangkat Williardi. Setelah itu, Williardi bergerak cepat. Ia menghubungi Jerry Hermawan Lo, 52 tahun.
Ia datang ke kantor pengusaha pemilik diskotek itu di Kedoya Raya, Pesing Koneng, Jakarta Barat. Ia meminta dihubungkan dengan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo, yang pernah diajak Ferry ke kantornya di Kepolisian Resor Jakarta Selatan.
”Abang bisa bantu saya menjalankan misi negara? Ini orang sangat berbahaya bagi negara,” kata Williardi kepada Jerry. ”Tolong, hubungkan saya dengan Edo.” Ia mengeluarkan amplop besar berisi foto yang diberikan Sigid. Jerry setuju menghubungi Edo, lalu mereka bertiga sepakat bertemu esoknya.
Pertemuan terjadi di kafe Arena Bowling, Ancol, Jakarta Utara, pukul 19.00. Dari kafe ini bisa dilihat orang-orang berolahraga bola gelinding, bahkan pengunjung kafe bisa mendengar pin yang ambruk diterjang bola. Tempat ini tidak terlalu ramai, dan cukup nyaman buat pertemuan. Ketiganya memesan nasi goreng.
Williardi menyerahkan foto dalam amplop besar kepada Edo. Ia kembali mengatakan, orang dalam foto itu sangat berbahaya bagi negara. Orang itu telah diikuti intel dan harus ”dihabisin”, katanya. Jerry bertanya, mengapa bukan anak buah Williardi yang melakukan tugas. Williardi menjawab, ini tugas rahasia yang tak boleh banyak orang tahu.
Williardi berjanji kepada Edo menyediakan sepeda motor dan senjata api. Menurut Edo, Williardi juga mengatakan bila misi ini berhasil, pangkatnya cepat naik. ”Jadi, tolong dibantulah. Nanti saya tidak akan lupa pada kalian,” katanya, seperti ditirukan Edo kepada polisi. Edo setuju dan berjanji mencari orang buat menjalankan misi.
Esok malamnya, Williardi melaporkan perkembangan ke Sigid. Ia mengatakan perlu dana operasional buat keperluan ini. Dana diserahkan Sigid melalui Setyo Wahyudi beberapa hari kemudian. Jumlahnya Rp 500 juta, ditutup koran dan dibungkus tas plastik hitam.
Williardi menghubungi Eduardus untuk menyerahkan dana. Mereka sepakat bertemu di depan Cilandak Town Square, Jakarta Selatan. Williardi tiba lebih dulu dengan sedan oranye dinas Pengamanan Obyek Khusus. Eduardus, ditemani adik sepupunya, tiba beberapa menit kemudian.
Menjinjing tas berisi Rp 500 juta, Williardi keluar mobil dan menuju mobil Eduardus. Sepupu Eduardus pindah ke mobil yang dikendarai sopir Williardi. Dua mobil lalu berjalan beriringan, mereka mencari kafe. Karena malam telah larut, tak ada tempat yang buka. Mereka akhirnya berpisah. Tapi duit telah berpindah tangan.
EDUARDUS atawa Edo telah merekrut temannya untuk menjalankan misi: Hendrikus Kia. Begitu menerima dana dari Williardi, ia menghubunginya dan sepakat bertemu di McDonald’s Tebet. Di situ Hendrikus meminta Rp 100 juta dan bersedia bertanggung jawab menuntaskan misi. Sisa duit tetap disimpan Edo.
Hendrikus mengajak rekannya: Daniel Daen Sabon, Heri Santosa, Fransiskus Tadon Kerans alias Amsi, dan Sei Lela. Awalnya mereka berencana memakai golok. Mobil Nasrudin akan dihadang, lalu ia ditusuk begitu keluar dari mobil. Rencana ini tak mudah, sehingga diputuskan menggunakan senjata api.
Hendrikus memberi Fransiskus Rp 5 juta buat menyewa mobil, dan Rp 20 juta untuk membeli Revolver S&W Kaliber 38. Heri menyewa sebuah Toyota Avanza, yang dipakainya melakukan survei bersama Fransiskus dan Hendrikus. Setelah berulang kali survei, diputuskan operasi dilakukan pada Sabtu, 14 Maret, ketika Nasrudin usai bermain golf. Fransiskus dan Sei bermobil Avanza, Heri dan Daniel bermotor.
Mereka membuntuti Nasrudin. Avanza dikemudikan perlahan, menahan laju mobil sasaran. Di bundaran Perumahan Modernland, sekitar 200 meter dari lapangan golf, motor Heri memepet di samping mobil Nasrudin. Dari jarak setengah meter, Daniel menembak kaca kiri mobil. Peluru kedua ditujukan ke kepala Nasrudin.
Setelah menjalankan operasi, Hendrikus, Fransiskus, Heri, dan Daniel lari ke Nusa Tenggara Timur. Di sana Hendrikus membagikan duit operasional. Daniel memperoleh Rp 25 juta, Fransiskus Rp 20 juta, dan Heri Rp 60 juta. Hendrikus mengantongi sisanya.
Beberapa hari setelah penembakan, Sigid menelepon Antasari. ”Pak, ini bisa jadi runyam,” katanya. Menurut dia, Antasari menjawab, ”Tenang, semua sudah dikoordinasi.” Pengacara Antasari membantah keterangan ini.
Toh, Sigid tampaknya telah menyiapkan ”bukti”. Ia merekam pembicaraannya dengan Antasari pada satu kedatangan mantan Direktur Pidana Umum Kejaksaan Agung itu ke rumahnya. Dua alat perekam disiapkan. Satu ditaruh di bawah meja ruang tamu, satu lainnya di meja ruang kerja Sigid.
Di rekaman satu setengah jam itu, tak ada yang secara eksplisit menyatakan rencana pembunuhan. Tapi di situ Sigid antara lain terekam menyatakan, ”Ini perampokan, jadi barangnya diambil semua, gitu. Ini yang saya setting, ini sudah dua minggu. Ini nanti dari TKI semua.” Ketika diperiksa polisi, Sigid menjelaskan, ”perampokan” di situ sesuai dengan permintaan Antasari untuk melukai Nasrudin.
Antasari, dalam rekaman itu, beberapa kali menyebut ”Nero”. Ia juga terekam mengatakan, ”Saya terus terang disappointed, rahasia seseorang diberikan ke orang lain itu saya paling anti, Mas.” Sigid menjawab, ia tidak menceritakan rahasia kepada Williardi. Kepada polisi, Sigid mengatakan bahwa yang dimaksud ”rahasia” adalah bahwa ”Antasari sudah mengenal dan pernah jalan dengan Rani”.
Hasil rekaman itu telah diuji di Laboratorium Akustik, Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung. Rekaman juga diuji oleh Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian. Hasilnya, suara dalam rekaman identik dengan suara Sigid dan Antasari.
Dimintai konfirmasi soal ini, Joko Sarwono, dosen teknik fisika yang menguji rekaman, menolak berkomentar. ”Mungkin saya baru bisa berkomentar setelah kasusnya disidangkan,” katanya kepada Anwar Siswadi dari Tempo. Adapun pengacara Antasari, Ari Yusuf Amir, mengatakan rekaman itu tidak membuktikan apa-apa.
Lima bulan lebih setelah kematian ”Nero”, mulai jelas peran para aktor. Namun, sejumlah keterangan para tersangka masih berlawanan. Sidang para eksekutor di Tangerang akan mulai mengurai saling-silang itu.
Budi Setyarso, Iqbal Mutarom, Akbar Tri Kurniawan
Mereka Yang Terlibat...
1. Hendrikus Kia Walen (37 tahun) Peran: Diduga menerima order dan uang operasional dari Eduardus; bertanggung jawab melaksanakan tugas menghabisi Nasrudin; merekrut Fransiskus, Heri, dan Daniel untuk menghabisi Nasrudin atas nama ”tugas negara”; menerima dana operasional Rp 100 juta dari Eduardus Profesi: Sarjana ekonomi, petugas sekuriti toko Status: Terdakwa dan tahanan Polda Metro Jaya
2. Rani Juliani (22 tahun) Profesi: mahasiswi, caddy Padang Golf Modernland Peran: Istri ketiga (siri) Nasrudin Zulkarnaen, Status: Dalam perlindungan polisi Cerita: Mengenal Antasari di Padang Golf Modernland jauh sebelum menjadi istri Nasrudin.
3. Wiliardi Wizard (49 tahun) Profesi: Mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan, berpangkat komisaris besar polisi Peran: Diduga sebagai pencari eksekutor Status: Tersangka dan tahanan Polda Metro Jaya
4. Antasari Azhar (56 tahun) Profesi: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Peran: Diduga sebagai pemberi perintah pembunuhan Nasrudin Status: Tersangka dan tahanan Polda Metro Jaya
5. Sigid Haryo (43 tahun) Profesi: Komisaris Utama PT Pers Indonesia Merdeka Peran: Diduga ikut merancang pembunuhan dan sebagai penyandang dana. Dia memberikan Rp 500 juta kepada Wiliardi. Status: Tersangka dan tahanan Polda Metro Jaya
6. Eduardus Noe Ndopo Mbete (38 tahun) Peran: Diduga menjadi ujung tombak Wiliardi dengan para tersangka eksekutor Cerita: Edo dihubungi Jerry bahwa ada pekerjaan dari Wiliardi berupa ”tugas negara” menghabisi seseorang yang membahayakan keamanan negara. Edo lalu bertemu dengan Jerry dan Wiliardi. Wiliardi menyerahkan uang operasional Rp 500 juta. Edo mengajak Hendrikus untuk melakukan ”tugas negara” itu. Profesi: Sarjana, swasta Status: Terdakwa dan tahanan Polda Metro Jaya
7. Daniel Daen Sabon (26 tahun) Peran: Diduga menjadi penembak Nasrudin; dijanjikan Rp 75 juta Pendidikan: SD Profesi: Petugas sekuriti toko buah Festival, Gandaria, Jakarta Status: Terdakwa dan tahanan Polda Metro Jaya
Menuju Pengadilan
Detik-detik Antasari Azhar menuju meja hijau makin dekat. Setelah dua kali kejaksaan mengembalikan berkas pemeriksaan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif itu, pekan-pekan ini batas waktu terakhir berkas itu masuk kejaksaan untuk kemudian dilimpahkan ke pengadilan. Antasari kini semakin dekat ke bui.
Januari 2009 Antasari Azhar bertemu dengan Sigid Haryo Wibisono dan Wiliardi Wizard di rumah Sigid, Jalan Pati Unus 35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk membahas ancaman Nasrudin Zulkarnaen kepada Antasari. Versi Antasari: pertemuan itu membahas proposal yang diajukan Sigid.
Februari Antasari datang lagi ke rumah Sigid untuk bertemu dengan Wiliardi, yang membawa Eduardus Noe Ndopo Mbete dan Jerry Hermawan Lo.
Awal Maret Nasrudin dan Rani Juliani digerebek di Kendari, Sulawesi Tenggara.
14 Maret Nasrudin ditembak seusai main golf di Modernland, Tangerang, sekitar pukul 14.00. Esoknya meninggal.
21 Maret Fransiskus, Hendrik, dan Daniel pulang ke Flores
27 April Polda Metro Jaya menahan Heri, Daniel, Fransiskus, Hendrikus, dan Edo.
29 April Sigid dicokok dari rumahnya dan ditetapkan sebagai tersangka. Wiliardi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Dia menyatakan tidak ada keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin.
30 April Wiliardi mencabut keterangannya dan menyatakan Antasari terlibat dan menyuruh pembunuhan itu.
4 Mei Antasari ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Blok A-10 ruang tahanan narkoba Polda Metro Jaya.
16 Mei Antasari menulis testimoni yang menyebutkan ada sejumlah pemimpin Komisi yang menerima suap dari Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom.
18 Mei Wiliardi mencabut keterangan pada 30 April dan menyatakan Antasari tidak memerintahkan pelenyapan nyawa seseorang.
11 Juni Bersama sejumlah penyidik, Antasari datang ke gedung Komisi mengambil beberapa barang pribadinya, termasuk rekaman percakapannya dengan Anggoro dari komputer jinjingnya.
19 Juni Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Penindakan Chandra Hamzah diperiksa penyidik Polda Metro Jaya sebagai saksi karena pernah mengeluarkan perintah penyadapan terhadap dua nomor telepon seluler milik Nasrudin dan Rani.
26 Juni Rani datang memberikan keterangan di Polda Metro Jaya.
2 Juli Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan perpanjangan masa penahanan Antasari selama 30 hari hingga 31 Juli 2009.
3 Juli Berkas Antasari dilimpahkan penyidik Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Agung.
6 Juli Antasari melaporkan dugaan suap di Komisi ke Polda Metro Jaya.
10 Juli Jaksa mengembalikan berkas Antasari ke polisi karena berkas itu dinilai belum lengkap.
1 Agustus Masa penahanan Antasari kembali diperpanjang hingga 31 Agustus.
4 Agustus Polisi melakukan rekonstruksi pertemuan antara Antasari, Sigid, dan Wiliardi di rumah Sigid di Jalan Pati Unus 35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Testimoni Antasari mulai beredar.
7 Agustus Polisi melakukan rekonstruksi pertemuan Antasari dan Rani di Hotel Gran Mahakam.
10 Agustus Berkas Antasari kembali dilimpahkan di kejaksaan, tapi sepekan kemudian dikembalikan ke polisi. Tenggat berkas selesai: 31 Agustus 2009.
18 Agustus Lima tersangka eksekutor pembunuhan Nasrudin mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.
19 Agustus Antasari diperiksa tim penyidik Komisi terkait dengan testimoni adanya dugaan penyuapan pemimpin Komisi oleh Anggoro Widjojo.
Terancam Hukuman Mati
Persidangan terhadap terdakwa Eduardus, Hendrikus, Fransiskus, Daniel, dan Heri telah dimulai di Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa pekan lalu. Sebanyak 23 jaksa yang dipimpin Rahmat memegang kasus para eksekutor di lapangan ini. Persidangan dilakukan secara terpisah oleh tiga tim majelis hakim.
Tim majelis hakim I untuk terdakwa Daniel: Asnun (hakim ketua) Viktor Pakpahan (anggota), Dahmiwirda (anggota)
Tim majelis hakim II untuk terdakwa Heri dan Hendrikus: Ismail (hakim ketua), Perdana Ginting (anggota), Permadi (anggota)
Tim majelis hakim III untuk terdakwa Eduardus dan Fransiskus: Arthur Hangewa (ketua), M. Ema Marylin (anggota), Haran Tarigan (anggota)
Dakwaan: Eduardus cs didakwa telah melakukan atau turut serta melakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, yaitu korban Nasrudin Zulkarnaen Iskandar.
Ancaman: Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati.
Pasal 340: Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati, atau penjara seumur hidup atas penjara sementara selama-lama 20 tahun.
Pasal 55 ayat 1 ke-1: Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo