Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Wajah Aturan Syariah

Sejumlah daerah berlomba menerbitkan peraturan syariah. alat politik mendulang dana dan suara.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADAT basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Adagium ini bukan sekadar pepatah bagi masyarakat muslim di Sumatera Barat. Di sana, ungkapan yang berarti "adat berlandaskan aturan Islam, aturan Islam berlandaskan Al-Quran" itu sudah menjadi petuah. Sejak otonomi daerah bergulir pada Mei 2001, petuah ini menjadi stimulus terbitnya sejumlah peraturan berbasis aturan agama di bumi Minangkabau.

Pelopornya adalah Solok. Pada masa itu, kabupaten ini dipimpin Gamawan Fauzi—kini Menteri Dalam Negeri. Peraturan syariah pertama di kabupaten berjulukan Seribu Rumah Gadang itu adalah Peraturan Daerah Nomor 10 pada 27 September 2001. Isinya aturan kewajiban membaca Al-Quran untuk murid sekolah dan calon pengantin. "Perda ini usulan ulama dan tokoh masyarakat setempat," kata Gamawan kepada Tempo.

Syahdan, menurut Gamawan, ulama dan tokoh masyarakat lokal memintanya mencari formula agar masyarakat Solok, yang mayoritas muslim, bisa menjalankan syariah Islam dengan benar. Setelah meminta masukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Solok, Gamawan selaku bupati menerbitkan perda itu. Setahun berselang, dengan tujuan yang sama, ia menerbitkan perda kewajiban berbusana muslimah. "Tidak ada masalah dalam penyusunannya, bahkan dua perda itu disahkan di tingkat provinsi," katanya.

Menurut Gamawan, dua perda itu bersifat moderat atau hanya berlaku untuk umat Islam. Ketentuan itu, katanya, juga tidak mencantumkan sanksi bagi yang tidak bisa menjalankan. Perda wajib membaca Al-Quran misalnya. Menurut Ketua Kantor Urusan Agama Kecamatan Kubung, Solok, Rifa’i ­Mahyunar, calon pengantin yang tidak bisa membaca Al-Quran hanya akan ditunda pernikahannya. "Jika tidak memungkinkan, ditunda," kata Rifa’i. "Buku nikahnya ditahan dulu sampai pasangan itu bisa membaca Al-Quran."

Didorong euforia otonomi daerah dan belajar dari pengalaman Solok, sejumlah kabupaten atau kota di provinsi itu berlomba-lomba menerbitkan peraturan syariah. Bentuk peraturannya beragam, mulai perda, instruksi kepala daerah, atau sekadar surat edaran bupati atau wali kota. Menurut catatan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), sampai 2011, sudah 25 peraturan syariah diterbitkan di Sumatera Barat, seperti kewajiban membaca Al-Quran dan berbusana muslimah, pengelolaan zakat, serta larangan berbuat maksiat.

Tak hanya di Sumatera Barat, peraturan syariah juga terbit di sejumlah daerah lain di Indonesia. Menurut Zuhairi Misrawi, peneliti Lakpesdam NU, demam peraturan syariah itu dipicu terbitnya qanun Aceh tentang pelaksanaan syariah Islam. Qanun ini lahir setahun setelah berlakunya Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh pada 1999. "Puncaknya ketika terjadi euforia otonomi daerah pada 2003," kata Zuhairi, yang pernah meneliti persepsi publik soal perda syariah, di antaranya di Aceh dan Jawa Barat.

Zuhairi mengungkapkan lembaganya mencatat sekitar 150 peraturan syariah sudah diterbitkan di berbagai daerah sampai 2011. Lakpesdam NU membaginya menjadi empat golongan. Pertama, peraturan tentang moral publik, seperti prostitusi, judi, dan minuman keras. Kedua, peraturan mengenai pemahaman agama. Misalnya aturan membaca Al-­Quran dan membayar zakat. Soal zakat, kata Zuhairi, di daerah tertentu ada yang mengatur pemotongan gaji pegawai negeri. Ketiga, peraturan mengenai simbol keagamaan, seperti kewajiban berbusana muslimah. Dan yang terakhir, peraturan pelarangan ajaran Ahmadiyah.

Dari catatan lembaga itu, Jawa Barat termasuk paling produktif. Jumlahnya mencapai 30 peraturan syariah. Sebagian besar mengatur prostitusi, larangan perbuatan asusila, dan pengelolaan zakat. Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan menyusul.

Peraturan syariah, kata Zuhairi, menjamur karena pemerintah daerah mengklaim aturan itu didukung publik setempat. Di sisi lain, menurut dia, sejumlah lembaga swadaya masyarakat lokal kurang gereget mengkritik peraturan itu.

Terbitnya peraturan syariah di sejumlah daerah dilatarbelakangi kepentingan beragam. Di Kota Padang misalnya. Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca-Tulis Al-Quran, menurut Ketua DPRD Padang periode 1999-2004, Maigus Nasir, diterbitkan karena hasil penelitian menemukan 60 persen anak-anak di kota itu tidak pandai mengaji. Sedangkan Instruksi Wali Kota Padang tentang kewajiban berpakaian muslimah, menurut Ketua DPRD Padang saat ini, Zulherman, bertujuan mencegah kejahatan asusila dan praktek kumpul kebo.

Lain hal dengan perda zakat. Menurut Wakil Wali Kota Padang, aturan ini dibuat untuk menghimpun dana, terutama dari pegawai negeri. Dana itu, menurut dia, untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Sedangkan di Banjarmasin, terbitnya perda zakat, menurut Ketua MUI Banjarmasin Murjani Sani, dibuat untuk menjaring dana dari populasi orang kaya yang selama ini tak pernah membayar zakat. "Caranya dengan mengedarkan kupon dengan nilai bervariasi," katanya.

Peraturan syariah yang mengatur moral publik diklaim untuk mengurangi dan mencegah praktek asusila. Perda tentang pelacuran dan larangan minuman keras di Tangerang misalnya. Menurut Wali Kota Tangerang Wahidin Halim, aturan itu lahir karena ketentuan hukum pidana tidak mengatur secara tuntas hubungan sosial masyarakat. Dua penyakit masyarakat itu, menurut dia, belakangan marak dan menimbulkan keresahan di masyarakat. "Ini juga mandat dari rakyat," kata Wahidin.

Di mata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Johan, terbitnya peraturan syariah itu sarat kepentingan politik lokal. Menurut dia hanya Aceh yang sah menerbitkan peraturan sejenis itu karena memiliki payung hukum berupa Undang-Undang Keistimewaan Aceh. Daerah lain, dia menegaskan, tak bisa menerbitkan peraturan berbasis aturan agama karena kewenangan itu merupakan wilayah pemerintah pusat. Peraturan syariah di sejumlah provinsi di luar Aceh, katanya, tidak sah karena menabrak Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Djohermansyah mengemukakan, dari hasil penelusuran kementeriannya, lahirnya sejumlah peraturan syariah itu merupakan alat politik bupati atau wali kota untuk pemilihan berikutnya. Aturan itu, katanya, diterbitkan untuk menunjukkan bupati atau wali kota yang bersangkutan peduli dan membela kepentingan agama di daerahnya. Fenomena ini, menurut dia, paling banyak terjadi di daerah yang fanatisme agamanya kuat, seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, Banten, dan Kalimantan Selatan. "Tujuannya untuk mendulang suara," ujarnya.

Pendapat senada dilontarkan Ketua Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudi. Ia menengarai maraknya peraturan syariah soal zakat berhubungan dengan kepentingan mendulang modal untuk pemilihan. Zuhairi, yang segendang sepenarian, melihatnya dari kacamata partai. Di sejumlah daerah yang fanatisme agamanya kuat, menurut dia, partai sekuler, seperti Golkar dan Partai Demokrat, paling getol mengusung penerbitan peraturan syariah. "Ini siasat menabur perhatian," katanya.

Di luar motif politik pencitraan, menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan Hussein Muhammad, sejumlah peraturan syariah diskriminatif terhadap perempuan. Aturan pelacuran, misalnya, menempatkan perempuan sebagai korban dan pihak yang patut disalahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus