Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAWA dingin membekap pusat Kabupaten Jayawijaya itu, dan makin menusuk sampai tulang saat rembang petang, Juli lalu. Udara di kawasan yang terhampar di Lembah Baliem, gerbang pegunungan tengah Papua dengan beberapa puncak bersalju abadi, ini memang cocok dengan minuman "hangat". Tapi di sana jangan berharap kita bisa mendapat minuman beralkohol atau minuman keras. "Tak ada yang minum atau jual di sini," kata Dasilvira Lewotolok, pemuda setempat, di sebuah kafe sudut kota. Jawaban senada berulang di tempat lain. "Tidak kami sediakan," ujar Fitriyani Putri, resepsionis Hotel Baliem Pilamo. "Tamu asing banyak yang minta, tapi mohon maaf."
Setidaknya dua tahun terakhir Wamena relatif bebas minuman keras. Tak hanya di distrik itu, tapi juga di seluruh Kabupaten Jayawijaya. Capaian ini hasil dari pelaksanaan tegas atas larangan minuman keras yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang larangan pemasukan, penyimpanan, pengedaran, penjualan, serta produksi minuman beralkohol per 19 Januari 2009.
Peraturan daerah tentang minuman keras diluncurkan menyusul dampak sosial akibat maraknya konsumsi "air api" yang meresahkan. "Minuman keras memicu tindak kriminal. Pemerintah kabupaten menyatakan perang terhadap minuman keras," kata Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo.
Saat itu, kriminalitas akibat minuman keras menyebar ke semua penjuru kota, bahkan di tempat ramai. Pelakunya sebagian besar dalam keadaan mabuk. Jalan Irian di tengah kota, misalnya, sudah sepi sejak pukul tujuh malam. Orang takut melintas karena banyak kerumunan peminum di pusat keramaian itu, yang berbuntut tindak kriminal, seperti judi, pencurian, pemukulan, dan penodongan. "Sampai jalan itu kami sebut Las Vegas-nya Wamena," ujar Dasilvira. Kini sampai pukul sembilan malam kawasan itu masih hidup.
Maraknya minuman beralkohol seiring dengan kian terbukanya daerah Lembah Baliem, terutama mulai 1990-an. "Aslinya, masyarakat setempat minum air mentah dari sungai," kata Pastor Frans ÂLieshout, yang sudah setengah abad lebih bertugas di Wamena. "Pendatang yang jahat mengajari penduduk asli mencampur minuman dengan bahan alkohol atau ragi," dia melanjutkan. Maka muncullah minuman keras lokal jenis balo, dibuat dari air nanas, air tape, enau, air pisang, dan sejenisnya.
Nah, seturut Perda Nomor 3/2009 tersebut, minuman beralkohol itu diharamkan masuk Jayawijaya, bahkan melintas pun dilarang. "Kami juga tidak ingin Jayawijaya menjadi daerah transit atau lintasan peredaran minuman keras ke daerah lain," kata Wempi. Berbagai sanksi siap menghadang, misalnya pemasok diancam kurungan lima bulan atau denda Rp 40 juta, penyimpan kena empat bulan atau denda Rp 30 juta, pengedar atau penjual mendapat dua bulan kurungan atau denda Rp 20 juta, dan pembeli juga mendapat kurungan dua bulan atau denda Rp 20 juta.
Dalam pelaksanaan peraturan antiminuman keras, pemerintah setempat lebih mengutamakan efek jera. Bila pelaku tertangkap pertama kali, sanksi kurungan atau denda tidak diterapkan. Pemerintah menghukum para pelanggar dengan merendam mereka di dalam kolam air mancur—yang airnya sedingin es—di halaman kantor bupati, yang dijuluki "kolam lupa ingatan". Kolam yang semula hanya untuk dekorasi halaman kantor itu berubah jadi tempat "mengerikan". "Tak berani main-main, dingin dan pasti malu," kata Herman, warga setempat. Sejak sanksi itu diterapkan sampai kini, tak terhitung pelanggar yang direndam di kolam itu hingga sadar. Polisi kota pun pernah ada yang direndam gara-gara tertangkap mabuk sampai memecahkan lampu-lampu taman kota. Warga setempat pun bebas menyaksikan hukuman itu.
Sanksi semacam itu bukannya bebas kritik. "Kurang patut," kata Theodora, seorang pegiat sosial. Menurut dia, yang masih perlu diwaspadai adalah kegiatan para pemasok yang lihai. Misalnya, minuman beralkohol dikemas rapi dalam botol minuman penyegar, botol air mineral, dos lilin, bahkan dimasukkan ke sebutir kelapa. "Tapi larangan minuman keras ini secara umum membuat nyaman," dia memberi apresiasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo