Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN tua berkerudung putih dengan motif bunga kecil hitam itu bergegas mengangkat cangkir kopi dan sekaleng biskuit yang telah disajikan di meja tamu di teras pavilun rumahnya. Ia baru saja dijemput pulang ketika Tempo menyambangi rumahnya di Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, Senin pekan lalu. "Di dalam saja, Mas. Di luar kotor," ujar Juhana Sattar, 73 tahun, menyilakan Tempo masuk ke rumahnya.
Dinding ruang tamu pelantun lagu Melayu pada 1950-an ini penuh foto masa mudanya dan potret keluarga. Nenek tiga cucu asal Jembatan Lima, Jakarta Barat, itu sejak 1989 menetap di kawasan Puncak. "Beli rumah ini tahun 1967," kata perempuan bernama asli Juhana Junaedi itu.
Memasuki masa senjanya, penyanyi yang dikenal dengan lagu Mengapa Ku Tak Tahu (1952) dan Kecewa (1962) ini tidak banyak melakukan aktivitas bermusik. Sebulan dua kali Juhana dengan artis lain, seperti Fitria Elvy Sukaesih dan Faizah Haris, berkumpul di Jakarta untuk arisan. Selain itu, dibantu keponakannya, istri mendiang Abdul Sattar ini mengurusi usaha penyewaan vila.
"Tapi, kalau ada panggilan menyanyi, saya selalu siap. Asalkan orkes pengiringnya bisa lagu lama." Belum lama ini Juhana menyanyi di Cirebon. Paling jauh ia manggung di Bali. Ibu Sri Tarian, Sri Tarianti, dan Tardiawan ini mengatakan akan terus menyanyi jika ada yang meminta. Kalau menciptakan lagu sudah lama tak ia lakukan. Juhana mulai menulis lagu sejak 1955. Pada 1958, terakhir dia mengarang enam lagu, di antaranya Ditinggal Pergi serta Sesal dan Derita.
Juhana, yang lahir pada 15 Maret 1940, memulai kariernya sebagai penyanyi panggung di usia sangat belia. Pertama kali ia mengisi acara di resepsi perkawinan pada 1948. Pengalaman menyanyi dari satu panggung hajatan ke panggung yang lain mengantarkan Juhana masuk studio rekaman. Kala itu, Husin Aidit, pemilik grup Orkes Melayu Kenangan, kepincut suara emasnya.
"Tahun 1950 menyanyi untuk RRI dan 1952 masuk dapur rekaman. Lagunya Mengapa Ku Tak Tahu dan Ditinggal Ibu dengan OM Kenangan," ujar pemilik penginapan Nishat 903 di Jalan Raya Puncak Kilometer 86 ini. Zaman dulu, kata Juhana, harus tenar dulu baru bisa rekaman.
Juhana belajar menyanyi secara otodidaktik. Karena bakat, ia mampu merampungkan 15 album rekaman. Tiap album berisi 12 lagu. Tapi, sayang, semua piringan hitam miliknya hanyut terbawa banjir ketika dia tinggal di Grogol, Jakarta Barat. Tak ada yang tersisa, selain album kaset. "Kalau mau tahu lagu saya, semuanya ada di tukang kaset di Pondok Cabe."
Juhana mengatakan mendapat karunia sangat besar dari Allah sebagai penyanyi. Namun, untuk mengajar keahliannya itu, ia mengaku repot. Makanya penyanyi seangkatan Laila Sari, Nani Wijaya, dan Aminah Cendrakasih ini tidak punya murid. Bahkan ketiga anaknya tak ada yang mengikuti jejaknya sebagai penyanyi.
Juhana mengenang, sebagai penyanyi, dia tidak hanya berkeliling Indonesia. Ia juga sempat melanglang ke luar negeri. Ia sangat berkesan ketika tampil di Hong Kong. Selama berkarier sebagai penyanyi, dia sempat bergabung dengan banyak grup orkes Melayu. Misalnya Orkes Melayu (OM) Kelana Ria, OM Kenangan, OM Sahara, OM Ratu Sahari, OM Bukit Siguntang, dan OM Sinar Medan. "Dengan OM punya Jaja Miharja juga pernah," ujarnya.
Juhana ingat, pada 1962, lagu Kecewa yang dia nyanyikan meledak di pasar. "Puncak karier saya mulai 1962 sampai 1970. Setelah 1970, eranya Elvy Sukaesih," katanya.
BERJALAN dengan langkah kecil perlahan, Munif Bahasuan, 77 tahun, keluar dari kamar rumahnya sambil menenteng sebuah piringan hitam. Pada sampul album yang tampak lusuh itu tertulis Ya Hamidah, yang berisi 12 lagu Melayu. Itu salah satu piringan hitam long play keluaran Studio Irama yang masih dapat ia temukan. "Sebenarnya ada beberapa lagi, tapi saya lupa menyimpannya di mana," ujar Munif di kediamannya di Jalan Semboja, Petojo, Jakarta Barat, Sabtu pekan lalu.
Setidaknya ada tiga lagi album yang diproduksi studio rekaman di Cikini, Jakarta, dalam kurun 1960-1965 itu. Selain Ya Hamidah, orkes Melayu yang ia pimpin bersama Adi Kasno menelurkan album berjudul Kafilah, Ya Mahmud, dan Yam El Shamah. "Kalau mau merekam lagu, dulu harus menunggu selama satu tahun karena cetakan pelatnya dibuat di Jerman," katanya.
Munif telah menciptakan 75 lagu Melayu dan Arab, di antaranya Bunga Nirwana, Kecewa, dan Rela Menanti. Tak hanya mengarang lagu, Munif juga memainkan alat musik dan menjadi penyanyi pada 1950-an. Dia mengenang, masa itu pencipta lagu bisa hidup senang. Dari royalti, "Dulu satu lagu yang diciptakan bisa untuk membeli Vespa," ujarnya.
Namun sekarang kondisi para pencipta lagu seperti tidak ada artinya. Munif, yang kini aktif sebagai pembina di Yayasan Karya Cipta Indonesia (periode sebelumnya ia menjabat ketua umum, bercerita betapa kurangnya perhatian terhadap pencipta lagu di Indonesia. "Kalau dihitung, satu perusahaan karaoke itu hanya membayar 10 perak tiap lagu yang diputar selama setahun."
Di usianya yang sudah berkepala tujuh, Munif mengatakan daya kreasinya tidak seperti dulu. Terakhir, pada 2002, ia menciptakan beberapa lagu untuk album Camelia Malik, yang bertajuk Rekayasa Cinta. Tapi ia mengaku masih menyimpan beberapa lagu. "Belum akan saya keluarkan. Itu nanti saja," katanya.
Munif termasuk penyanyi serba bisa. Dia pun mahir menyanyikan lagu pop dan jazz. Setelah era musik Melayu berlalu, ia menjadi penyanyi Hotel Des Indes, yang kini menjadi pusat pertokoan Duta Merlin di Jalan Gajah Mada, Jakarta. Ia juga bergabung dengan pemusik Nick Mamahit dan Jack Lesmana. "Saya menyanyikan lagu-lagu evergreen. Penyanyi yang saya suka Johnny Mantis," ujarnya.
Pada 1980-an, Munif bergabung dengan kelompok vokal Los Marenos bersama Rudy Rusadi dan Dudung. Bersama kelompok ini, dia sempat diminta bernyanyi di Istana ketika Presiden Soeharto menjamu Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah.
"Waktu itu saya dapat bagian honor Rp 600 ribu. Saya berikan Rp 100 ribu kepada Husein Bawafie karena saya membawakan lagunya. Dia menangis waktu itu karena baru kali itu ada yang menghargai ciptaannya," kata ayah tiga putra ini.
Dody Hidayat, Arihta U. Surbakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo