Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM tata cahaya redup ruang Stingray Club & Lounge di Hotel Crowne Plaza Jakarta, Fuad Balfas, yang berpakaian serba putih, tampak bersinar di antara personel L'Catraz lainnya yang berjas hitam. Di panggung acara bertajuk "Pagelaran Musik Melayu: Bulan Dipagar Bintang" pada Rabu malam di pertengahan Januari lalu itu, Fuad menjadi penyanyi pembuka. Ia melantunkan lagu Hanya Sebuah Bintang.
Pada paruh pertama, lagu karya Husein Bawafie itu dibawakan Fuad dalam suasana Arab, paruh lain dalam irama Latin.
Hanya sebuah bintang
Kemilau di malam kelam
Pedoman nelayan bimbang
Tersesat di hitam malam
Kelompok musik L'Catraz berdiri pada 2004. Namanya terinspirasi dari pulau penjara di Teluk San Francisco, Amerika Serikat: Alcatraz. Band yang mengambil genre musik Timur Tengah itu mulanya acap kali ditanggap dalam acara perkawinan warga keturunan Arab di Jakarta.
Dari kondangan ke kondangan, ternyata banyak yang meminta mereka mendendangkan lagu Melayu. Di salah satu acara perkawinan pula L'Catraz berjumpa dengan Geisz Chalifah dari Gita Cinta Production, yang lantas mengajak mereka tampil di acara Pagelaran Musik Melayu tersebut.
Selain L'Catraz, tampil antara lain penyanyi veteran Muchsin Alatas, yang menyanyikan lagu Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu; Sulis—pelantun lagu Ummi berduet dengan Haddad Alwi—yang membawakan medley Seroja, Di Batas Masa, dan Bungong Jeumpa; serta Hamdan ATT, yang melantunkan lagu ciptaannya sendiri, Patah Kemudi. "Menulis lirik lagu Melayu bisa seminggu, tapi kalau dangdut Insya Allah semalam selesai," kata Hamdan.
Geisz, penggagas utama acara itu, menyebutkan kegiatan ini bertujuan mengangkat kembali musik Melayu, yang terpuruk. Padahal, mulai 1930 hingga 1970, musik Melayu mencapai masa jayanya. Bahkan gelegak musik ini di Asia Tenggara, yang sebelumnya lama berkiblat ke Malaysia dan Singapura, berpaling ke Indonesia. "Tapi itu semua tinggal onggokan sejarah," ujar Giesz menyesali.
Selain oleh Giesz, pada awal tahun ini upaya mempopulerkan musik Melayu dilakukan Orkestra Sekolah Tinggi Seni Riau (Orkestra STSR). Pada 7 Januari lalu, di Anjung Seni Idrus Tintin Kompleks Bandar Serai, Jalan Sudirman, Pekanbaru, Riau, orkestra yang terdiri atas para anak muda di bawah arahan konduktor Arman Rambah ini menyajikan konser bertajuk "Sembang Bunyi 12". Orkestra STSR juga berkolaborasi dengan Bujanggi, band beraliran jazz, membawakan lagu berjudul Damak dan Sendalu; serta Belacan Aromatic, yang bergenre rock, memainkan dua lagu ciptaan sendiri, Jelatik dan Cabuh.
Eri Bob, pendiri Bujanggi, mengatakan musik Melayu mesti dieksplorasi sesuai dengan perkembangan zaman. Jika masih mempertahankan musik Melayu era 1960-an, musik ini bakal sulit diterima masyarakat. "Makanya kami membuat Bujanggi," ucapnya. Eri mengklaim kehadiran Bujanggi mulai mendapat respons dari pencinta jazz. Band ini kerap diundang dalam pergelaran musik bertaraf internasional, seperti Java Jazz tahun lalu. Mereka bahkan pernah menggelar konser di Malaysia.
TAHUN 1930-an adalah masa jaya musik Melayu. Saat itu, radio menjadi media penting dalam menyebarluaskan musik ini. Di Indonesia, stasiun radio terbesar adalah Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM), yang ada di Jakarta, Bandung, dan Medan.
Lagu-lagu Melayu Deli yang disiarkan NIROM direkam dengan iringan tiga tipe orkes: orkes harmonium atau disebut juga samrah, orkes gambus, dan orkes Melayu. Samrah menggunakan instrumen harmonium, biola, trompet, gendang dua muka, rebana, dan tamborin. Repertoarnya campuran, meliputi lagu Melayu, Arab, India, dan Eropa. Menurut buku Saudagar Baghdad dari Betawi (2009) karya Alwi Shahab, "Pada era 1940-1950, lagu-lagu berirama Melayu yang banyak disiarkan NIROM didominasi oleh Orkes Harmonium SM Alaydroes dari Tanah Abang."
Salah satu tokoh orkes gambus yang suaranya tak hanya digemari di Indonesia tapi juga di Timur Tengah adalah Syech Albar (1908-1947) dari Surabaya. Ia ayah Saadiah Albar dan rocker Achmad Albar. Pada 1935, Syech Albar merekam lagu-lagu Arab ke piringan hitam, yang diproduksi His Master's Voice, perusahaan rekaman terbesar masa itu.
Orkes gambus lainnya di Surabaya adalah Orkes Gambus Alwathoni pimpinan Muhamad Noer al-Djawi, yang memainkan lagu Eropa, Melayu, dan Mesir. Orkes gambus memang berkembang di komunitas Arab. Di Jakarta, misalnya, menurut buku Alwi, pada 1947, pemuda asal Kampung Arab, Pekojan, Jakarta Barat, bernama Husein Aidit mendirikan Orkes Gambus Al-Usysyaag, yang mendapat sambutan baik dari warga Betawi.
Selain orkes gambus, yang mempertahankan ciri Arab, beberapa pemusik Jawa Timur yang bermigrasi ke Jakarta membentuk apa yang kemudian dinamakan sebagai orkes Melayu. Menurut Rizaldi Siagian, etnomusikolog lulusan program magister di San Diego State University, California, Amerika Serikat, orkes Melayu pertama di Jakarta adalah Orkest Melajoe Sinar Medan, yang berdiri pada 1938. Pemimpinnya Abdul Halim. Mereka mengubah syair-syair Arab ke bahasa Melayu, menggunakan pantun, dan menambahkan kata "tuan" atau frasa "aduhai sayang" pada teks lagu.
Setelah kemerdekaan, para pemusik mengembangkan pendekatan kreatif dalam orkes Melayu. Pada 1950-an itu, Rizaldi melihat para pemusik orkes Melayu Jakarta mulai menyanyikan lagu-lagu dan ornamen film India. Mereka seperti meniru keberhasilan film-film P. Ramlee, yang banyak meniru film India. "Jadi trennya mengarah ke dangdut," ujarnya. Sedangkan tren di Surabaya semakin ke arah Timur Tengah. "Situasi ini memunculkan perbedaan ciri dan gaya orkes Melayu di Medan, Jakarta, dan Surabaya," kata Rizaldi.
Dia mencontohkan lagu-lagu orkes Melayu di Medan lebih mempertahankan ornamen asli gaya ronggeng, yang disebut grenek. Musik Melayu modern diyakini bermula dari pertunjukan penyanyi jalanan-ronggeng. Para biduanita ronggeng "menjual" pantun kepada penonton yang menjadi pasangan menarinya. Biasanya nyanyian diawali dengan lagu berirama lambat, yang disebut senandung (bermeter 8); lalu berlanjut ke lagu berirama sedang, yang disebut Mak Inang (4/4); dan diteruskan ke irama cepat, yang disebut lagu dua atau joget (6/8). Alat musik yang mengiringi si ronggeng hanya tiga macam: biola, yang diyakini dibawa oleh Portugis; sebuah atau sepasang gendang, yang disebut gendang ronggeng alias gendang Melayu alias pakpung; dan akordeon.
Pada 1968 di Deli, Medan, muncul orkes Melayu top bernama SIR'S Combo di Deli, yang dibidani pasangan suami-istri Tengku Daniel—keturunan keempat Sultan Ma'moen al-Rasyid, pendiri Kesultanan Deli—dan Tengku Sita Syaritsa. Grup ini dinamai SIR'S Combo (SIR kependekan dari Sri Indera Ratu), "Karena memadukan musik khas Melayu tradisional dengan musik genre combo (Latin dan jazz), yang di Eropa tengah naik daun saat itu," ujar Tengku Lisa Nelita, putri Tengku Daniel (almarhum).
Ketua Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara Muhammad Takari menjuluki SIR'S Combo sebagai grup musik Melayu yang ampuh. Sebab, memadukan musik tradisional Melayu asli dengan aliran jazz, Latin, atau combo, menurut dia, hanya bisa dilakukan Tengku Daniel seorang pada masa itu. "Dia legenda musik Melayu asli," kata Takari.
Sayangnya, SIR'S Combo meredup seiring dengan kepergian sang penari ronggeng Melayu, Tengku Sita Syaritsa, pada 2003 dan maestro musik Melayu, Tengku Daniel, tiga tahun kemudian menghadap Sang Khalik.
RIZALDI Siagian masih ingat, di Medan pada 1980-an,di bawah Jembatan Jalan Raden Saleh, tepatnya di bawah pohon besar di pinggir Jalan Listrik di dekat Hotel Danau Toba, ia dapat menyaksikan pertunjukan ronggeng Deli saban sore hingga malam. Di tempat ini, kata Datuk Achmad Fauzi, 50 tahun, pemimpin Ronggeng Cempaka Deli, ada tujuh kelompok yang bermain, termasuk kelompok ronggeng yang didirikan mendiang ayahnya, Datuk Abdurrahman, pada 1949 itu.
Bukan hanya di bawah Jembatan Jalan Raden Saleh, pada 1970-an pertunjukan ronggeng jalanan bahkan, ujar Datuk Fauzi, digelar di Jalan Bintang dekat RRI dan Gedung Johar. Pertunjukan dengan musik dan berbalas pantun ini dimulai pada pukul dua siang hingga setengah sepuluh malam, diselingi istirahat salat dan makan.
"Setiap hari ada yang pentas, bergiliran di antara tujuh kelompok ini," katanya. Penonton yang duduk lesehan di bawah rumpun bambu terkadang minum minuman keras, tapi tidak sampai menyebabkan keonaran. Pertunjukan di dekat kolong Jembatan Raden Saleh itu hanya bertahan sekitar empat tahun. Pada 1985-1986, Wali Kota Medan Agus Salim Rangkuti menggusur daerah ini untuk diubah menjadi tempat kuliner.
Datuk Fauzi menyatakan penggusuran itu malah berdampak positif karena Wali Kota kemudian mengarahkan kesenian ini dipentaskan di hotel-hotel. "Lebih bagus karena tempat kami menjadi lebih jelas," ujarnya.
Namun, bagi Rizaldi, itu sebuah langkah mundur. Sebab, pementasan di hotel tidak akan seguyub pertunjukan ronggeng yang digelar di jalan. "Orang biasa tentu akan risi datang ke hotel," ucapnya. Benar saja. Terbukti, dalam dua dekade terakhir, kelompok ronggeng Deli makin banyak yang mati karena lambatnya regenerasi. Kini jumlahnya kurang dari jumlah jari di satu tangan.
Salah satu yang bertahan adalah grup Ronggeng Cempaka Deli, yang sejak 2009 berubah nama menjadi Mahkota Combo.Kelompok ini rutin tampil di Hotel Darma Dewi sekaligus ngamen di berbagai pesta perkawinan setiap minggu. Mereka memiliki sebelas personel. Yang termuda adalah Rois, 29 tahun, pemegang gong, sementara yang paling sepuh Ahmad Setia, pemain akordeon berusia 77 tahun. Yang lain berusia antara 38 dan 55 tahun. Setiap kali tampil, mereka dibayar Rp 250 ribu per anggota.
Akan halnya Tengku Reizan Ivansyah, putra pasangan Tengku Sita Syaritsa dan Tengku Daniel, dengan susah payah ingin menghidupkan grup top SIR'S Combo. Setiap hari, Reizan menghibur pengunjung Istana Maimun Medan dengan lagu dan musik karya ayahnya. Mereka menggunakan alat musik Melayu tradisional. "Tujuan kami hanya ingin melestarikan musik Melayu," ujarnya. Meski para pemusik Sri Indera Ratu hanya digaji Rp 15 ribu untuk sekali pertunjukan, mereka tetap setia.
"Suatu saat nanti kami, anak dan cucu Tengku Daniel, akan mendeklarasikan diri sebagai penerus grup musik SIR'S Combo setelah punya modal membeli alat musik tambahan," kata Reizan dengan semangat.
Dody Hidayat, Dianing Sari, Ratnaning Asih, Evieta Fadjar, Rian Novitra (Pekanbaru), Sahat Simatupang (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo