Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GITA Andriani, 25 tahun, diberkahi air susu yang berlimpah. Begitu berlimpahnya hingga tak semua bisa dikonsumsi anaknya yang baru berumur empat bulan, Bima. Kulkas dua pintu di rumahnya penuh berisi air susu ibu (ASI), yang disimpan dalam botol beling berukuran 120 mililiter. Sayangnya, dalam waktu dua bulan, ASI yang tidak digunakan bisa rusak. Agar tak mubazir, Gita mendonorkannya.
Dia menawarkan simpanan ASI-nya untuk bayi yang membutuhkan melalui Twitter. Dalam jejaring sosial itu, Gita secara terbuka memaparkan sejumlah data, termasuk kesehatan bayi dan dirinya. Tidak lupa ia memajang nomor kontak yang bisa dihubungi. "Alhamdulillah diberi berkah ASI banyak. Karena itu, sekarang Bima sudah punya tiga adik sepersusuan, lo," ujar Gita saat diwawancarai Tempo di kantornya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dua pekan lalu.
Ada banyak ibu berhati mulia seperti Gita. Tapi, seperti halnya donor darah, mendonorkan ASI harus hati-hati. Menurut dokter spesialis anak yang juga Ketua Satuan Tugas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia, I Gusti Ayu Pratiwi, air susu ibu berpotensi menularkan sejumlah penyakit. Di antaranya HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan penyakit akibat cytomegalovirus atau virus yang dapat menginfeksi semua orang dari segala usia tanpa gejala sama sekali.
Masalahnya, terkadang donor ASI tidak menyadari di dalam tubuhnya terdapat beberapa penyakit. Ia tak sadar karena aktivitas virus itu bisa dibatasi oleh kekebalan tubuh orang dewasa yang kuat. Dia hanya menjadi pembawa (carrier). Tapi, pada bayi yang belum memiliki kekebalan tubuh sempurna, virus yang dibawa ASI itu bisa menginfeksi.
Kejadian akan berbeda bila ASI yang mengandung virus itu dikonsumsi oleh bayi kandung. Sebab, bayi kandung sudah memiliki kekebalan pasif terhadap virus dari sang ibu yang dibentuk selama masa kehamilan.
Agar tak terjadi penularan lewat pendonoran ASI, Pratiwi menyodorkan sejumlah prosedur. Sebagai langkah awal, gaya hidup donor ASI harus diseleksi. "Seleksi gaya hidup langsung dilakukan di tempat," kata Pratiwi. Dalam seleksi itu, setidaknya dapat diketahui bahwa donor ASI menerima atau tidak transfusi darah ataupun transplantasi organ tubuh dalam 12 bulan terakhir.
Sebelum mendonorkan ASI, ibu juga tidak diperbolehkan mengkonsumsi obat, termasuk insulin, hormon tiroid, dan produk obat lain yang dapat mempengaruhi bayi. Bahkan obat atau suplemen herbal yang pernah dikonsumsi donor juga menjadi pertimbangan untuk dinilai kompatibilitasnya terhadap ASI.
Setelah tes gaya hidup, jika penerima donor ingin meyakinkan pilihannya, ia bisa meminta ibu donor melakukan tes darah. Tes darah meliputi tes HIV, human T-lymphotropic virus (HTLV), sifilis, hepatitis B, hepatitis C, dan CMV. "Screening ini penting, terutama untuk mencegah ASI yang terinfeksi virus diberikan kepada bayi yang prematur," ucap Pratiwi.
Bahkan, bila ada keraguan terhadap status donor ASI, tes darah dapat dilakukan tiga bulan sekali. Memang untuk melakukan tes darah dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tes darah yang dilakukan di bawah kerja sama Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Laboratorium Prodia saja minimal menghabiskan Rp 1,2 juta. "Ini belum termasuk tes HTLV, yang hanya bisa dilakukan di Singapura," ujarnya.
Menurut Pratiwi, aksi donor ASI yang belakangan marak melalui jejaring sosial kerap mengabaikan masalah ini. Dan itu, menurut dia, tidak aman. "Kami sangat mendukung program ASI di masyarakat, tapi saat ini kami belum merekomendasikan masyarakat melakukannya secara sembarangan," katanya.
Meski tak seketat yang disarankan Pratiwi, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) sebenarnya sudah menyarankan seleksi. Ketua Umum AIMI Mia Sutanto menyarankan sebaiknya penerima air susu ibu memiliki data riwayat donor jauh sebelum ASI diberikan. Ini untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, seperti komersialisasi ASI ataupun penyakit yang dapat ditularkan melalui media ASI.
"Karena itu, AIMI mensyaratkan pengisian formulir data diri baik penerima maupun donor ASI disertai pernyataan tentang riwayat kesehatan serta kondisi tertentu yang harus dipenuhi," ujar Mia saat diwawancarai di Sekretariat AIMI Pusat, Graha MDS, Pusat Niaga Fatmawati, Jakarta Selatan. "Formulir ini harus ditandatangani di atas meterai oleh istri dan suami dari kedua pihak," dia menambahkan.
Pengamanan terhadap ASI juga dilakukan AIMI dengan menyertakan anjuran kepada penerima ASI untuk melakukan pasteurisasi. Anjuran ini diberikan apabila penerima ASI tidak yakin akan riwayat kesehatan pemberi ASI. "Memang akibat pasteurisasi itu ada zat-zat yang hilang, terutama zat antibodi. Kelemahannya memang di situ, tapi hilangnya zat itu minim," kata Mia.
Selain itu, AIMI menyarankan menerima donor ASI dari pihak yang masih memiliki ikatan keluarga. "Dengan menerima donor ASI dari pihak yang masih ada ikatan keluarga, setidaknya ketentuan agama atau sosial-budaya tidak ada yang ditabrak," ujarnya. Selain itu, dalam keluarga, diharapkan riwayat kesehatan donor ASI dapat diketahui.
Cheta Nilawaty
Khasiat ASI Donor
MENURUT dokter spesialis anak yang juga Ketua Satuan Tugas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia, I Gusti Ayu Pratiwi, ASI donor memiliki khasiat yang sama dengan ASI yang diberikan langsung dari tubuh ibu kandung. Aspek kekebalan dan nutrisi yang terkandung dalam ASI sangat membantu bayi terhindar dari penyakit saat ini dan manifestasi penyakit lain yang timbul saat dewasa nanti. "ASI adalah investasi jangka panjang," katanya.
Keuntungan lain yang bisa menjamin ASI baik untuk didonorkan adalah sifat nutrisinya yang dapat bertahan lama ketika berada di luar tubuh ibu donor. Menurut Pratiwi, ASI yang disimpan dalam suhu minus 20 derajat Celsius di dalam pembeku pada kulkas satu pintu dapat bertahan selama dua minggu. "Bila disimpan dalam pembeku yang terpisah (kulkas dua pintu) dapat bertahan selama dua bulan, sedangkan dalam chiller (kulkas bawah) bertahan dua hari," ujarnya.
Pasteurisasi ASI
MESKI dalam donor ASI kita harus melakukan screening ketat agar tak terjadi penularan virus dan penyakit, ada baiknya kita memperketat keamanan dengan mensterilkan ASI yang akan disimpan dari virus. Proses ini dikenal sebagai pasteurisasi.
Ada tiga teknik pasteurisasi yang dapat dilakukan:
1. Pasteurisasi Holder
ASI dipanaskan dalam wadah kaca tertutup di suhu 62,5 derajat Celsius selama 30 menit. Pasteurisasi holder biasanya dilakukan di bank ASI karena membutuhkan pengukur suhu dan pengukur waktu.
2. Flash Heating
ASI sebanyak 50 mililiter ditaruh dalam botol kaca atau botol selai terbuka seukuran 450 mililiter, kemudian dipanaskan di dalam panci aluminium berisi 450 mililiter air sampai air mendidih. Setelah air dalam panci mendidih, botol kaca berisi ASI segera diangkat. Diamkan beberapa saat sampai suhu ASI siap diminum bayi.
3. Pretoria
Hampir mirip dengan teknik kedua, hanya ASI dalam botol kaca tidak langsung direbus dalam panci aluminium, tapi satu liter air dalam panci aluminium direbus terlebih dulu sampai mendidih. Kemudian matikan kompor dan taruh botol kaca terbuka yang berisi ASI dalam air mendidih itu selama kurang-lebih 20 menit. Lalu angkat dan diamkan beberapa saat sampai suhu ASI siap diminum bayi. l
(Sumber: Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo