Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membalik Kiblat P. Ramlee

Said Effendi membuat anak muda Malaysia dan Singapura yang dulu tergila-gila pada P. Ramlee menjadi gandrung musik Melayu Jakarta.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAGNET itu bernama P. Ramlee. Ia penyanyi, aktor, dan seniman serba bisa. Pada 1950-an, semua yang berbau Ramlee, dari gaya sisiran rambut sampai pakaian, menjadi tren kawula muda Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Sejak awal 1930-an hingga 1960-an, Malaysia menjadi kiblat musik Melayu di Asia Tenggara. Kala itu, Sumatera, Jawa, Malaysia, dan wilayah di Selat Malaka merupakan satu pasar tunggal, yang berpusat di Malaysia. Industri media tumbuh pesat di negeri bekas jajahan Inggris ini, dari perusahaan rekaman besar, seperti The Gramophone Company Limited (kemudian menjadi EMI), hingga perusahaan pembuat film, seperti Shaw Brothers Studio.

Ibarat bakal mendulang hujan emas di negeri orang, banyak seniman Medan memilih Malaysia dan Singapura untuk menggelar pertunjukan atau membuat rekaman lagu mereka. Rubiah (1923-1992), misalnya. Perempuan kelahiran Selesai, Sumatera Timur, pelantun lagu hit Bunga Tanjong ini, setelah kemerdekaan Indonesia, hijrah ke Malaysia. Pada 1950, ia diminta P. Ramlee menjadi penyanyi dubbing untuk aktris Kasma Booty di film Racun Dunia serta film Djuwita dan Sejoli di tahun berikutnya.

Seniman Medan lain, Emma Gangga, berkarier di Singapura. Ketika Singapura diserang Jepang, dia terbang ke Penang, Malaysia, lalu kembali ke Medan. Di Medan, Emma sempat menyanyi untuk sandiwara propaganda Asia Timur Raya bikinan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi pemain biola di orkestra Radio Republik Indonesia Medan pimpinan Lily Suheiry. Menurut Hamdan ATT, Emma Gangga memiliki gaya khas di panggung, yaitu gagah, berapi-api, serta penuh semangat dan penjiwaan dalam memainkan lagunya. "Ia enggak kemayu, malah bisa dibilang Singa Betina," ujar Hamdan.

Ramlee bernama asli Teuku Zakaria. Nama berbau Aceh itu berasal dari ayahnya, Teuku Nyak Puteh, pelaut asal Aceh. Ia lahir di Penang pada hari Idul Fitri, 22 Maret 1929, dari ibu bernama Che Mah Hussein. Instrumen yang pertama dikuasainya adalah ukulele. Lalu Ramlee belajar gitar dan biola dari Kamaruddin, pemimpin brass band.

Ramlee terkenal sebagai artis serba bisa. Selain pandai melantunkan lagu Melayu, ia bisa bernyanyi keroncong. Bahkan Ramlee menjuarai Kontes Keroncong di Malaysia pada Mei 1946. Pada 1947, ia mulai menyematkan huruf "P" di awal namanya, yang merupakan kependek­an dari Puteh.

Pada Agustus 1948, Ramlee hijrah ke Singapura setelah ditawari main film oleh sutradara B.S. Rajhans dari Malay Film Productions. Debutnya sebagai aktor dimulai pada Oktober 1948 melalui film Chinta. Di film itu, Ramlee memerankan penjahat dan menjadi penyanyi latar.

Selama karier perfilmannya dari 1948 sampai 1972, Ramlee bermain dalam 66 judul film. Di sebagian film itu ia juga menjadi sutradaranya. Film terakhir yang ia bintangi dan sutradarai adalah Laksemana Do Re Mi (Do Re Mi 3). Dari film Anak-ku Sazali, Ramlee meraih Aktor Pria Terbaik Festival Film Asia keempat di Tokyo pada 1957. Film Pendekar Bujang Lapok 2 menjadi Film Komedi Terbaik Festival Film Asia di Kuala Lumpur (1959).

Pada Festival Film Asia ketujuh di Tokyo (1960), film Nujum Pak Belalang menjadi Film Komedi Terbaik. Penghargaan yang sama diraihnya di Festival Film Asia di Taipei pada 1964 melalui Madu Tiga.

Ramlee juga mendapat penghargaan Penampilan Istimewa dalam World Film Festival untuk film Ibu Mertua Ku (1962) di Paris pada 1965. Dia juga dianugerahi gelar "Ahli Mangku Negara" oleh Yang Dipertuan Agung Malaysia ketiga, Raja H.M. Tuanku Syed Putra Jamallulai (1964). Ramlee wafat pada 29 Mei 1973 pada usia 44 tahun karena serangan jantung. Untuk mengenang jasanya, Yang Dipertuan Agung Malaysia memberikan penghargaan Bintang Kebesaran Darjah Panglima Setia Mahkota pada 1990 dan menambahkan gelar Tan Sri di depan namanya.

Sebagai penyanyi, Ramlee kerap berduet dengan Puan Sri Salmah binti Ismail (1935-1983) alias Saloma. Setidaknya ada 359 lagu yang ia nyanyikan bersama Saloma. Lagu dan lirik terakhirnya, Ayer Mata di Kuala Lumpur, tercipta pada 1973 sebelum beliau wafat.

n n n

ADALAH Said Effendi (1925-1983) yang sanggup membalikkan kiblat musik Melayu dari Malaysia ke Indonesia melalui dua lagu yang ia lantunkan: Seroja karya Husein Bawafie dan Semalam di Malaysia karya Syaiful Bahri.

Said pun menjadi idola di Malaysia, persis seperti Ramlee yang digandrungi di Indonesia. Pada 1960, sebuah kontes meniru Said digelar di Malaysia dan pemenangnya adalah Achmad Zais. Bukan hanya di Malaysia, di Indonesia pun Said dielu-elukan bak pahlawan oleh penggemarnya pada 1950-an. Ia menerima berkarung-karung surat dari fans.

Munif Bahasuan, pencipta dan penyanyi lagu Melayu pada 1950-an, pun mengidolakan Said. Ia juga teman dekat Said. "Dia tak hanya memperkenalkan lagu standar dalam musik Melayu, tapi juga bernyanyi dengan model soprano," ujar Munif saat ditemui Tempo.

Setiap lagu yang diciptakan Said, kata Munif, memiliki sejarah dalam penciptaannya. Misalnya lagu Bahtera Laju, Timang-timang, dan Fatwa Pujangga. Sejarah terciptanya lagu terakhir itulah yang paling diingat Munif. Suatu ketika Said bercerita menerima surat dari salah satu pengemarnya yang tidak mencantumkan nama dan alamat.

Menurut Munif, setelah lagu itu jadi dan dinyanyikan oleh Said, surat balasan dari penggemar misterius tersebut datang lagi menjawab rasa penasaran Said. Tapi tetap saja surat itu tanpa nama dan alamat pengirim. "Sampai S. Effendi wafat, ia tidak pernah tahu dan bertemu dengan pengirim surat itu," ucap Munif mengenang.

Said sering disangka anak Medan, apalagi kalau mendengar gaya bicaranya. Padahal ia arek Bondowoso. Lahir di Besuki, Jawa Timur, 6 Agustus 1923, dia dari suku Madura dan memiliki nama asli Said Arrasyidi. Sejak usia 5 tahun, Said biasa bangun pagi, berangkat ke surau untuk melantunkan azan. Pada 1936, ia menjadi penyanyi orkes keroncong saat berusia 13 tahun. Penghasilannya 1 gulden semalam atau sama nilainya dengan 25 liter beras.

Said sempat memimpin rombongan musik ke Pontianak. Dari sana, ia kembali ke Jakarta ketika RRI mencari penyanyi untuk Orkes Studio Jakarta. Dari 36 pelamar, Said salah seorang dari dua yang diterima. Lainnya adalah Sal Saulius. Sal pula yang membimbingnya mengenal not hingga dapat mencipta.

Lagu pertama Said, Asmara Dewi, tercipta pada 1948, disusul Bahtera Laju setahun kemudian. Ia menciptakan sekitar 40 lagu. Said juga memimpin Orkes Melayu Irama Agung, yang mengiringi suaranya dalam rekaman. Ia pernah bermain film sebagai bintang utama dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), yang disutradarai Asrul Sani. Said wafat pada 11 April 1983.

Semasa dengan Said Effendi, banyak penyanyi dan pencipta lagu Melayu yang bintangnya bersinar, seperti A. Chalik, Hasnah Thahar, dan Husein Bawafie (1919-2001). Nama terakhir disebut-sebut sebagai tokoh penggagas musik Melayu Jakarta. Sejak 1930-an, Husein telah menciptakan sekitar 200 lagu, di antaranya Kasih Tak Sampai, Hasrat Cinta, Kepada Seniman, Pekerti Insan, Berpisah, serta Khayal dan Penyair. Salah satu yang paling populer adalah Seroja, yang dilantunkan Said Effendi.

Melalui kelompok musiknya, Orkes Melayu Chandra Lela, Husein membuat irama Melayu merajai dunia hiburan Jakarta dan memicu berdirinya orkes Melayu hampir di setiap kelurahan. Dia memberi sumbangan pada pembentukan tradisi musik Melayu Jakarta, yang mempunyai kekhasan pada rancak yang dinamakan calte dan rancak tabla serta pukulan gendang yang berbeda dengan musik Deli dan Semenanjung.

Dalam menulis lagu, lirik-lirik Husein tak berlebihan. Bisa dibilang ciri khas Husein adalah puitis dalam kesederhanaan dan jujur dalam keindahan. Menurut Munif, Husein sangat mendalami karya-karya sastra Amir Hamzah dan Chairil Anwar.

Dody Hidayat, Ratnaning Asih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus