Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Duel Merebut Dana Timor

Timor Putra Nasional, pabrik mobil milik Hutomo Mandala Putra Soeharto, dinyatakan sebagai pemilik sah atas rekening senilai hampir Rp 1,3 triliun. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengetuk vonis itu dua pekan lalu dalam kasus sengketa Timor melawan Bank Mandiri dan pemerintah. Duit ini masih terkait dengan utang investasi Timor kepada pemerintah senilai Rp 4 triliun. Mengapa pemerintah terus-menerus kalah?

4 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa orang bergegas ke luar ruangan kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani pada hari itu, Jumat dua pekan lalu. Menggenggam sejumlah berkas di tangan, wajah mereka tampak serius. Siang beranjak petang. Tapi di ruangan Ibu Menteri tak ada tanda-tanda keriaan menjelang akhir minggu. Orang nomor satu Departemen Keuangan itu justru baru saja menggebrak sejumlah stafnya agar bergegas meneruskan pertempuran melawan PT Timor Putra Nasional.

Suhu yang menghangat di ruang kerja Sri Mulyani berpangkal pada peristiwa tiga hari sebelumnya, Selasa 21 November. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim yang diketuai Machmud Rachimi me-ngetukkan palu vonis untuk kasus sengketa uang senilai hampir Rp 1,3 triliun. Ini sengketa lama PT Timor Putra Nasional (selanjutnya disebut Timor atau Timor Putra) melawan Bank Mandiri—bank milik pemerintah Indonesia—serta Departemen Keuangan RI.

Adapun Timor Putra adalah perusahaan mobil milik Hutomo Mandala Putra, anak lelaki bungsu mantan presiden Soeharto. Timor menggugat kedua lawannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Vonis pada 21 November lalu merupakan akhir dari reli sidang selama enam bulan. Isi vonis: uang sekitar Rp 1,3 triliun menjadi hak Timor Putra.

Pengadilan juga memerintahkan Bank Mandiri segera melakukan eksekusi pencairan dana kepada Timor Putra. ”Dana tersebut sah milik nasabah dan sudah mendapat keputusan pengadilan untuk diserahkan,” kata Machmud.

Sumber Tempo yang turut dalam pertemuan di kantor Menteri Keuangan menuturkan, sikap Sri Mulyani tegas dalam soal ini, yakni naik banding ke pengadilan tinggi. Sang Menteri, menurut sumber itu, yakin betul bahwa hak negara melekat dalam duit yang baru saja dimenangkan perusahaan yang dilahirkan Tommy Soeharto itu.

Departemen Keuangan bergerak cepat. Sehari setelah hakim Machmud mengetukkan palu, sejumlah memo dikirimkan ke meja Sri Mulyani. Dia mempelajari dengan cermat ihwal kemenangan Timor Putra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lalu, memberi perintah singkat: ”Lanjutkan! Kita harus ngotot di pengadilan kalau Anda nggak mau jadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.” Maksudnya, ”Lanjutkan dengan terus melawan di pengadilan,” sumber Tempo menjelaskan intisari perintah bosnya.

Belasan kilometer dari Lapangan Banteng—kantor pusat Departemen Keuangan—Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Hendarman Supandji juga bersiap menghimpun kekuatan. Kepada Tempo yang menemuinya pada Jumat pekan lalu, dia menyatakan Gedung Bundar—ini sebutan untuk kantor Hendarman di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan—tengah menyiapkan bidikan baru ke Timor Putra, yakni dugaan korupsi seputar pengadaan mobil. ”Kami sedang memetakan kasusnya,” ujar Hendarman kepada Tempo.

Hendarman telah memanggil 20 orang lebih untuk dimintai keterangan. Ini bagian dari upaya Hendarman dan timnya menggali semua bukti baru untuk mendukung terangai Kejaksaan Agung. Yakni ada dugaan pelanggaran hukum yang melingkupi Timor Putra dari proses pengadaannya hingga pengalihan aset-asetnya. Memang dia mengakui harus bekerja jauh lebih keras untuk menyisir segenap keping bukti anyar untuk menggiring Timor Putra ke level hukum berikutnya. ”Kami sedang menggali lebih dalam kasus ini,” dia menegaskan.

l l l

Sengketa duit Rp 1,3 triliun antara Timor Putra dan pemerintah berawal dari masa lampau. Pada 1993 Tommy Soeharto menggandeng KIA Motor Corporation, pabrik mobil Korea Selatan, dalam proyek Teknologi Industri Mobil Rakyat—disingkat Timor. Lengkapnya, PT Timor Putra Nasional.

Soeharto, yang ketika itu kekuasaannya masih tegap, memutuskan perlunya Indonesia memiliki proyek mobil nasional. Niat itu diterakannya di atas sehelai keputusan presiden pada 4 Juni 1996. Dan, pengusaha yang dipercaya untuk menjalankan proyek jumbo itu adalah anak lelaki bungsunya, Hutomo Mandala Putra. Maka kemujuran mulai menghujani Timor Putra.

Keputusan presiden di atas menetapkan untuk membebaskan mobil berkandungan lokal minimal 60 persen dari pajak penjualan barang mewah. Alhasil, hampir 4.000 mobil KIA yang diimpor PT Timor pada masa itu menggelinding ke Indonesia zonder pajak. Setahun lebih lewat. Agustus 1997 tiba dengan membawa berita besar bagi Timor.

Sebuah konsorsium yang terdiri dari 16 bank—di kemudian hari beberapa bank itu melebur ke dalam Bank Mandiri—mengumpulkan modal untuk proyek mobil nasional. Sindikasi bank yang dipimpin Bank Dagang Negara (BDN) mengucurkan kredit US$ 690 juta (dengan kurs sekarang sekitar Rp 6,28 triliun; nilai saat itu sekitar Rp 4 triliun) dengan bunga tiga persen. Masa pinjamannya 10 tahun.

Pengucuran uang itu telah menabrak ”pasal suci” dalam pemberian kredit bank, yakni soal agunan. Perusahaan Timor Putra Nasional yang dipimpin Tommy Soeharto beroleh pinjaman superjumbo itu tanpa agunan secuil pun. Cukup dengan melambaikan surat keputusan presiden, saweran Rp 4 triliun mengucur ke kas Timor Putra.

Belum juga proyek itu berbuah, problem mulai muncul. Pajak tidak dibayar. Utang awal belum dicicil. Dan, Soeharto jatuh pada Mei 1998. Timor Putra tersendat-sendat. Tapi perusahaan itu tetap bernapas walau diganjal sejumlah gugatan setelah reformasi 1998.

Perjalanan Timor Putra sulit dilepaskan dari sejarah kekuasaan Cendana. Soeharto turun takhta pada Mei 1998. Empat bulan sebelum itu, dia mencabut surat keputusan presiden—yang dikeluarkan sendiri oleh Soeharto dua tahun sebelumnya—tentang mobil nasional atas desakan Dana Moneter Internasional. Menteri Perdagangan ketika itu, Tungky Ariwibowo, turut pula membatalkan surat keputusan menteri untuk proyek yang sama.

Dari sini, segala kemudahan yang dilimpahkan kepada Timor dan Tommy mulai digugat. Dosa-dosanya ditelisik. Kantor Bea Cukai Tanjung Priok dan Pelayanan Pajak Tanah Abang buru-buru mengirimkan surat paksa penagihan pajak yang besarnya… Rp 3 triliun. Tapi Timor Putra tidak lemas digertak. Dia balik menggugat.

Singkat ceritera, kasus Timor sudah tiga kali menempuh perkara di pengadilan. Pada 1999, Timor menggugat Kantor Bea Cukai Tanjung Priok dan Kantor Pelayanan Pajak Tanah Abang di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta karena menerbitkan surat paksa penagihan. Pada Juni 2001, dia menggugat sembilan pihak sekaligus—lagi-lagi, di Pengadilan Jakarta Selatan. Dari PT Sucofindo, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, hingga Kepala Kantor Bea Cukai Tanjung Priok. Materi gugatannya menyangkut penilaian kandungan lokal sebagai dasar penetapan pajak.

Dalam kedua gugatan tersebut, Timor Putra menang. Surat paksa penagihan karena terkait utang pajak senilai Rp 3 triliun dibatalkan. Alasan majelis hakim, perhitungan pajak yang ditagihkan diberlakukan surut terhitung sejak Timor mengimpor mobil pertama kalinya pada Juni 1996.

Majelis hakim yang memenangkan Timor memberikan alasan, saat itu perusahaan tersebut tengah mendapat fasilitas bebas pajak. Jadi seharusnya tagihan pajak dilakukan sejak fasilitas itu dicabut pemerintah, yakni mulai 21 Januari 1998. Mahkamah Agung kemudian menguatkan putusan pengadilan negeri.

Oke. Keputusan itu sekaligus menunjukkan bahwa sejak 21 Januari 1998 Timor harus membayar pajak kepada negara. Saat dia menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Juli 1999, kewajiban Timor akan utang pajak kepada negara tidak serta-merta pupus. Sebab, BPPN toh hanya mengolah asetnya, sedangkan kewajiban pajak silakan jalan terus.

Tapi urusan pajak—lupakan dulu utang pokok yang Rp 4 triliun—belum disentuh Timor Putra sejak 21 Januari 1998 hingga menjadi ”pasien” BPPN. Anehnya, walau lemas dalam urusan bayar pajak, perusahaan dengan performa utang jumbo itu tidak kehabisan tenaga untuk menggugat kian-kemari.

Sepanjang 1999-2004, misalnya, dia menggugat kantor Pelayanan Pajak Tanah Abang dan Bea Cukai Tanjung Priok atas surat paksa penagihan mereka yang senilai Rp 3 triliun. Dan ketika Direktorat Pajak menyita dana Timor di Bank Mandiri berikut aset-asetnya, Timor membalasnya dengan menggugat perdata direktorat tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Tenaga Timor Putra ibarat disuntik energi baru karena dia menang melulu dalam kedua gugatan di atas. Pada April 2003, BPPN akhirnya melego Timor Putra ke Vista Bella Pratama, perusahaan yang didirikan pada April 2002 oleh pengusaha bernama Taufik Surya Darma. Dokumen BPPN yang diperoleh Tempo mencantumkan alamat perusahaan itu di Ruko Muara Karang Raya Blok Z-3-S Nomor 47, Pluit, Jakarta Utara.

Penelusuran Tempo menemukan data yang mengagetkan. Alamat tersebut fiktif karena tak ada nomor 47 di blok tersebut. Ketika wartawan majalah ini mengkonfirmasi kejanggalan tersebut kepada Taufik, dia hanya menjawab begini via pesan singkat di telepon genggam. ”Ha..ha..ha….” Saat ditemui langsung, Taufik juga menolak berkomentar: ”Saya tidak mau tampil di media massa,” katanya (lihat Yang Gelap dari Vista Bella).

Dengan penjualan ke Bella Vista, logikanya, selesai pula urusan Timor Putra dalam kasus ini. Ternyata tidak. Pada 15 Juli 2004 Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali PT Timor tentang surat paksa penagihan dari kantor pajak dan bea cukai. Berbekal putusan ini, Timor pada Januari 2005 meminta rekening mereka sebesar Rp 1,3 triliun hasil penjualan mobil Timor di Bank Mandiri dicairkan.

Tapi permintaan ini ditolak Mandiri. Bank ini mendapat perintah dari Menteri Keuangan Yusuf Anwar untuk menahan uang tersebut. ”Karena uang itu merupakan jaminan dari utang Rp 4 triliun yang belum dibayar oleh PT Timor pada bank-bank kreditor,” ujar seorang sumber di Departemen Keuangan kepada Tempo.

Penolakan Mandiri dijawab Timor dengan menggugat bank itu dan Departemen Keuangan di Pengadilan Jakarta Selatan pada Juni 2006. ”Bank Mandiri salah menahan hak nasabah. Dia juga bukan bawahan Menteri Keuangan, kata Rico Pandeirot, kuasa hukum Timor Putra—dari kantor pengacara O.C. Kaligis—kepada Tempo. Upaya mereka ternyata membawa hasil.

Dua pekan lalu pengadilan pun mengabulkan gugatan Timor. ”Bank Mandiri tidak berhak menahan uang itu,” ujar ketua majelis hakim Machmud Rachimi. Putusan pengadilan sudah turun. Tapi benarkah Timor Putra berhak atas uang Rp 1,3 triliun itu. Menurut sumber Tempo, uang itu seharusnya bukan milik Tommy. Juga bukan milik Vista Bella, karena pembelian hak tagih (cessie) oleh perusahaan itu tidak termasuk uang Rp 1,3 triliun. ”Soalnya uang tersebut saat itu sudah dibekukan Departemen Keuangan,” ujarnya.

Episode perebutan ini berakhir dengan kemenangan Timor Putra—dan Tommy Soeharto, tentu saja—pada 21 November 2006. Yang buntung sudah jelas siapa. Bank-bank kreditor yang mengucurkan modal Rp 4 triliun yang belum tercicil utangnya. Dan Direktorat Pajak yang kalah pagi-pagi. Karena, gugatan mereka atas Timor Putra telah ditandaskan oleh Mahkamah Agung.

Toh ceritera belum berakhir. Setidaknya, Departemen Keuangan telah bertekad menyatakan banding.

Arif Kuswardono, Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus