Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Duit dan Akal Bulus di Pintu Belakang

Aparat Malaysia dan Indonesia sama-sama gampang diajak kompromi. Asal ada duit, semuanya beres.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIAP kali mendengar kata "Malaysia", mata Mastur langsung bersinar-sinar. Ingatan pemuda lulusan SMP asal Sragen, Jawa Tengah, itu langsung menclok pada Entong, tetangganya yang telah sukses merantau di negeri seberang rumah itu. Saking terpesonanya, gegeran yang terjadi di Malaysia belakangan ini sama sekali tidak melunturkan niat Mastur untuk merantau. Tekad sudah dipancangnya bulat-bulat. "Mengadu nasiblah. Di sini juga ngapain? Ke sawah saya sudah malas," katanya. Malaysia adalah lahan subur tetangga yang menggoda. Selama bertahun-tahun, tepatnya sejak 1970, negeri ini bak lampu petromaks yang mengundang laron-laron tenaga kerja untuk datang, mencari hidup yang lebih layak. Di benak Mastur, hanya Entonglah yang bisa mewujudkan impian hidup yang lebih berkecukupan. Jadi, kalau Entong menetapkan tarif Rp 2 juta, bagi Mastur itu bukan uang besar untuk membeli mimpi indah tadi. "Kalau lewat agen tenaga kerja, bisa lebih mahal lagi," katanya. Meski ia tak tahu kapan akan berangkat, hidungnya sudah mencium aroma ringgit. "Kami akan berangkat lewat Pontianak," katanya semringah. Itu artinya Mastur memilih masuk lewat "pintu belakang". Seperti para pendahulunya, dari Kota Jeruk itu ia akan menyusuri jalan ke Sarawak via Entikong, pintu gerbang "belakang" bagi kebanyakan pekerja asal Indonesia. Memilih cap sebagai pendatang haram ini bukannya tanpa risiko. Mastur tahu persis akan hal itu walaupun ia juga paham bahwa jalan "gelap" akan lebih banyak mendatangkan gepokan ringgit ketimbang yang legal. Di jalur haram, Mastur akan terbebas dari berbagai pungutan. Sebut saja levi alias pajak, pungutan dari agensi, ataupun potongan ini-itu yang tak sedikit. Termasuk—ini yang terdengar mirip pemerasan—penyunatan gaji untuk mengganti biaya yang dikeluarkan selama berada di penampungan di Indonesia. Tentu itu bukan jumlah yang kecil buat kelas pekerja yang bergaji lebih sedikit dari Rp 1 juta sebulan. Itu sebabnya banyak pekerja legal kemudian memilih masuk lagi dengan stempel baru, yaitu ilegal. Sri Pambudi, orang Sragen, adalah salah satunya. Pemuda 28 tahun itu berangkat ke Malaysia setahun silam. Awalnya ia memiliki dokumen nan lengkap, termasuk paspor dan izin kerja. Tapi dua tahun berikutnya ia minggat dari pabrik ubin tempatnya bekerja. Kenapa? Sang bos ingkar janji soal gaji. Kepadanya dijanjikan upah antara RM 600 (sekitar Rp 1,4 juta) dan RM 700 (Rp 1,7 juta) per bulan. Nyatanya, cuma separuh yang hinggap di tangannya. Ganti profesi, Pambudi menclok menjadi buruh proyek dengan upah yang lebih besar—jumlah yang dianggapnya bisa cepat mengembalikan duit siluman sebesar Rp 6 juta yang disetorkannya ke agen tenaga kerja yang memberangkatkannya. Kalkulasi bisnis yang masuk akal. Toh risikonya cuma dikejar-kejar polisi Malaysia—yang bisa diatasi dengan jalan main kucing-kucingan. Sweeping ini pun tak dialami semua pekerja haram. "Mereka yang bekerja di perkebunan relatif aman karena letak perkebunan di Malaysia sangat jauh dari permukiman dan sangat sulit dijangkau," kata Edy Purwanto, koordinator divisi advokasi Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia. Ditambah daya serap Malaysia yang besar, jadilah jalur tenaga kerja haram ini jalur yang subur. Tenaga kerja Indonesia biasanya masuk lewat Sarawak via Pontianak dan Entikong. Sedangkan di bagian timur, pintu utama jelas Nunukan—tempat penampungan yang kini dipadati ribuan pekerja ilegal. Dari titik inilah selanjutnya mereka menclok ke Tawao, Sabah. Jalur Nunukan ini secara historis telah dikenal selama bertahun-tahun. Letaknya strategis, hanya perlu dua jam perjalanan laut untuk mencapai Sabah. Inilah rute termudah yang biasa dilewati rombongan pekerja. Kemudahan lain ada di Nunukan: status pekerja bisa disulap. Bila se-belumnya mereka cuma pendatang tak berdokumen, nah, di sana mereka bisa menjelma menjadi pekerja manis dengan dokumen nan lengkap. Biayanya pun tidaklah mahal. Menurut pengamatan TEMPO, untuk membuat kartu tanda penduduk setempat, plus paspor dan pas laksana kerja sementara atau visa kerja, cuma butuh duit Rp 1 juta. Lo, kok bisa? Apa sih yang tidak bisa di negeri kita ini. Di Nunukan sudah bersiap sejumlah "pasukan khusus", yaitu para calo dari agen tenaga kerja yang dengan sigap akan menyulap status pekerja. Dengan cara kerja yang rapi, mereka bisa berkongkalikong dengan kantor imigrasi setempat. Mereka biasanya akan bergerak setelah mendapat kontak dari koleganya di luar Nunukan. Artinya, kerja yang terang-terangan bisa dimulai. Selama mengurus surat, pekerja sudah mendapat "hotel", sebuah rumah yang disiapkan para calo. Seusai urusan beres, para calo—merupakan perpanjangan tangan dari agen tenaga kerja di Jakarta—segera melakukan kontak dengan koleganya di Tawao untuk mencari perusahaan yang membutuhkan tenaga. Saat ini di Nunukan setidaknya terdapat 28 agen tenaga kerja. "Mereka berangkat dari pantai-pantai Nunukan dan men-darat di berbagai pantai Malaysia," ujar Hasan Basri, Sekretaris Tim Penanggulangan WNI/TKI Bermasalah di Sabah. Kalau jalur pantai yang dipilih, ini juga urusan duit: lebih murah ketimbang lewat pelabuhan resmi. Kenapa bisa lolos dari hadangan polisi Malaysia yang katanya tegas dan tak kenal kompromi itu? Ah, itu sih teori, kata seorang pekerja. Polisi negeri jiran ini juga bisa diajak cincay, bisa disuap juga. Caranya pun klasik. Saat kapal yang mengangkut pekerja asal Indonesia berpapasan dengan kapal patroli laut, awak kapal memasang kode. Seketika awak kapal tersebut akan melompat dari kapal dan menghampiri pria-pria berseragam itu. Segepok duit pun langsung pindah tangan. Uang sogok juga mereka bagikan kepada petugas checkpoint di Tawao, begitu cerita seorang pekerja. Jadi, amanlah perjalanan "semalam" ke Malaysia itu. Lagi pula, "Petugas Malaysia selalu berganti-ganti, tapi kita tak perlu takut," kata Rais, 38 tahun, bekas penyelundup calon pekerja. Ia menuturkan, "ongkos masuk" yang dipungut petugas Malaysia tak terlalu besar. Tiap kepala kena RM 10 (Rp 24 ribu) hingga RM 20 (Rp 48 ribu). "Tapi kadang-kadang mereka minta RM 30 (Rp 72 ribu) sampai RM 40 (Rp 96 ribu) per kepala," katanya. Nah, kalau satu biduk mengangkut 50-100 orang, bisa dibayangkan betapa gemuknya saku celana mereka. Begitu sampai di pelabuhan Tawao, para pekerja bisa langsung lenggang kangkung. "Jadi sebenarnya tidak terlalu rumit memasukkan TKI itu," ujar Rais, yang kelihatan bangga. Rais meniupkan angin surga, rupanya. Tapi tak semua petugas Malaysia gampang disogok. Kalau pekerja yang ilegal ditangkap, hukumannya bisa bikin melarat. Zainudin, pekerja di perkebunan Pelda, Sabah, telah merasakannya. "Kita dibikin miskin. Mereka akan menggeledah kita, bahkan sampai celana dalam," ujar anak muda yang mengaku pernah beberapa kali kena razia polisi Malaysia itu. Hal ini dibenarkan Hasan Basri. "Pendeknya, bila mereka mau, apa pun yang ada akan diminta," kata Hasan. Hasan mau mengingatkan, jalur gelap banyak bahayanya. Pekerja bisa diperjualbelikan. Ah, yang benar? Suhartini, 38 tahun, mengalami pahitnya "dijual" dari satu tangan ke tangan lain. Ditemui TEMPO di antara ribuan orang yang sedang sibuk mengurus surat keimigrasian di Nunukan, perempuan Jawa Timur itu mengaku selama tujuh tahun merantau sudah berkali-kali berpindah tempat kerja. Jangan salah, ini bukan karena "karir" yang bagus, melainkan karena dia "diperjualbelikan" majikan. Sebulan pertama, Tini bekerja di toko emas di Kinabalu. Namun akhirnya oleh majikannya itu ia malah ditawarkan ke orang Malaysia lainnya. Hebatnya, si pemilik toko emas mendapatkan fee dari penjualan itu. Kejadian itu berkali-kali dialaminya. "Saya pernah bekerja jadi pembantu rumah tangga, bekerja di kebun, dan mengurus anak majikan," kata Tini sendu. Akibatnya pula, beberapa kali dia sempat diborgol polisi, meski beberapa kali juga dia dibebaskan. Nestapa lain masih banyak. Gaji mereka jarang dibayar penuh. Dalam tiga bulan, bisa jadi majikan tidak membayarkan gaji. Kalaupun dibayarkan, hanya gaji bulan pertama dan kedua. Gaji bulan ketiga digantung agar pekerja yang bersangkutan tidak lari. Selain itu, upah mereka selalu dipotong biaya hidup lain seperti untuk membeli sabun atau odol. Namun, sialnya, harga barang-barang itu sudah dinaikkan. Keculasan lain: majikan masih memotong gaji untuk uang jaminan. Besar potongan itu memang hanya RM 10 (Rp 24 ribu) per bulan, tapi duit itu sulit ditagih bila pekerja berhenti. Cerita derita dari Malaysia kadang kala tertiup angin dan berubah menjadi merdu dan indah di negeri yang sulit lapangan kerja ini. Jadi, Mastur, kenapa tidak kaucangkul saja sawahmu itu? Irfan Budiman, Arif A. Kuswardono, Rusman (Nunukan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus