DENGAN susah payah, perahu tua itu mendekati muara Sungai Bolong di Nunukan, Kalimantan Timur. Geraknya lamban seperti ikan malas, mungkin karena kelebihan beban. Lambungnya hampir rata dengan muka air. Puluhan penumpang tampak berjubel hingga ke buritan. Begitu merapat, perahu kayu itu memuntahkan isi perutnya ke dermaga: satu, dua, tiga, masya Allah, kapal kecil itu dijejali 139 penumpang. Seorang di antaranya, ibu-ibu dengan paras pucat dan tas besar di tangan, tiba-tiba berlutut begitu kakinya menyentuh aspal pelabuhan. "Alhamdulillah," katanya dengan suara tercekat, "akhirnya bisa pulang...."
Ibu sepuh itu sesungguhnya belum benar-benar pulang. Ia masih harus menghabiskan beberapa hari—atau beberapa pekan, tak ada yang bisa memastikan—agar sampai ke kampungnya, sebuah desa di pojok Jawa Timur. Tapi perjalanan hingga mencapai Nunukan, kota Indonesia pertama di perbatasan Malaysia-Kalimantan Timur, bagi dia sudah merupakan sebuah keajaiban. Berhari-hari sebelumnya ia terkatung-katung tanpa bekal dan kenalan di Tawao, Sabah. Berhari-hari ia sabar menunggu kapal sampai akhirnya mendapatkan tumpangan perahu kayu yang membawanya kembali ke Tanah Air.
Gelombang mudik buruh Indonesia yang terusir dari Malaysia, sulit dibantah, merupakan drama hidup-mati yang menegangkan. Sejak negeri jiran itu memberlakukan undang-undang imigrasi baru, Maret lalu, ratusan ribu pekerja asal Indonesia yang pergi memburuh tanpa dokumen sah telah beramai-ramai melarikan diri dari tanah impian itu. Dengan segala cara, baik lewat jalur resmi maupun gelap-gelapan, mereka berusaha melintasi batas untuk menghindari aturan yang mengancam dengan sanksi ekstra-galak (termasuk penjara dan hukum cambuk) tersebut.
Kuala Lumpur memang memberi tenggang waktu lima bulan bagi para "pendatang haram" untuk berkemas-kemas. Dalam masa "pengampunan" itu, para pekerja ilegal diberi kesempatan mengurus "paspor cepat", istilah yang dipakai untuk surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Dengan surat sakti ini, para imigran ilegal bisa mudik ke tanah airnya melalui jalur resmi. Sampai tenggat masa pengampunan itu berakhir, 31 Juli lalu, tercatat ada 322 ribu pendatang haram dari 50 negara yang sudah meninggalkan Malaysia. Sekitar 250 ribu orang di antaranya adalah pekerja asal Indonesia.
Tapi urusan pulang kampung ini ternyata tak segampang diperkirakan orang. Selain ongkosnya mahal, keterbatasan jumlah sarana angkutan yang murah juga menjadi persoalan serius. Bayangkan, jumlah pekerja Indonesia di Malaysia diperkirakan 1,6 juta hingga 1,7 juta orang. Dari angka ini, sekitar 70 persen (atau 1,15 juta) di antaranya tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah atau surat-surat yang masih berlaku. Jika satu kapal bisa mengangkut 2.000 penumpang, dibutuhkan 575 pelayaran dari Malaysia ke Indonesia untuk membawa semua pendatang haram tersebut ke Tanah Air. Tentu saja, dalam jangka waktu lima bulan tak ada pelayaran sebanyak itu.
Karena itu, tak mengherankan jika sampai akhir pekan lalu, saat masa pengampunan telah lewat, puluhan ribu pekerja ilegal asal Indonesia masih tertahan di kota-kota pelabuhan seperti Penang, Port Klang, Johor, atau Tawao. Sejak pekan lalu, pemerintah memang mengerahkan enam kapal (termasuk empat kapal milik Angkatan Laut) untuk membantu gelombang mudik besar-besaran ini. Tapi, sayangnya, kapal-kapal tersebut ternyata tidak menjemput para pekerja hingga ke luar negeri. Mereka hanya membantu perjalanan dari pelabuhan di pintu masuk ke Indonesia (Nunukan di Kalimantan Timur, Batam, Tanjung Balai Karimun, dan Belawan di Sumatera) ke pulau-pulau lain di dalam negeri.
Selain mereka yang tertahan di pelabuhan, lebih celaka lagi, ternyata masih ada ratusan ribu pekerja ilegal yang tetap bertahan di Malaysia. Mereka mendekam di pelbagai perkebunan, pabrik pengolahan kayu, dan pusat-pusat pembangunan konstruksi yang semula banyak mempekerjakan buruh Indonesia. Menurut keterangan para pekerja yang berhasil pulang, mereka terpaksa bertahan sebagian karena tak punya uang, sebagian lagi lantaran masih menunggu pembayaran gaji. Tapi sebagian besar lainnya—ini gawat—bertahan hanya karena yakin pemerintahan Mahathir Mohamad tak akan sampai hati menerapkan undang-undang baru yang keras itu.
Keyakinan konyol seperti itu tampaknya cuma bermodal kenekatan tanpa alasan yang kuat. Sejak awal Agustus lalu, pelbagai operasi penertiban sebenarnya telah digelar kepolisian Malaysia di beberapa negara bagian. Seorang buruh Thailand yang menjadi pelayan warung makan punya cerita, suatu malam satu kompi tentara tiba-tiba menyerbu restoran di jantung Kuala Lumpur itu. Bersama 20 buruh migran lainnya, ia ditangkap, dimasukkan truk, lalu dibawa ke tempat penampungan. Esoknya, mereka dideportasi ke Provinsi Pattani di perbatasan Thailand-Malaysia.
Sumber lain menyebutkan, sepanjang pekan pertama Agustus lalu sekitar 2.500 pekerja ilegal telah ditangkap polisi Malaysia dari beberapa kota di Selangor, Penang, Johor, dan Sabah. Se-bagian besar di antara mereka yang ditangkap ini, mudah diduga, adalah para pekerja Indonesia. "Saya melihat seperti tentara Israel memburu-buru orang Palestina di Jalur Gaza," kata seorang pekerja sosial yang menyertai pemulangan tenaga kerja dari Johor ke Riau.
Untunglah, mereka dilepas lagi dengan jaminan akan segera mengurus "paspor cepat". Sejauh ini, pemerintahan Mahathir memang belum menerapkan Undang-Undang Imigrasi itu 100 persen. Meskipun masa pengampunan telah berakhir, para pekerja ilegal diberi kelonggaran dua pekan lagi. Tapi, jika mereka tak kunjung meninggalkan Malaysia hingga Rabu 15 Agustus ini, hukum akan ditegakkan: penjara enam bulan, cambuk enam kali, plus denda maksimum 10 ribu ringgit (Rp 23 juta).
Menghadapi ancaman yang bisa mencelakakan warganya di luar negeri, pemerintah Indonesia tampaknya kurang sigap. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memang sudah berusaha merayu Malaysia agar menunda pemberlakuan undang-undang baru itu hingga 1 September. Tapi Mahathir bergeming. Dalam pertemuan dengan Presiden Megawati di Bali pekan lalu, Dr. M menegaskan sikapnya. "Kami sudah kasih waktu," katanya, "tapi mereka menunggu hingga batas hari-hari terakhir."
Dalam sidang kabinet pekan lalu, Presiden Megawati juga telah membentuk gugus tugas (task force) untuk meng-atasi soal TKI, yang menjadi salah satu sumber devisa ini. Sebagai ketua, ditunjuklah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla. Namun, hingga sejauh ini gugus tugas itu belum mengambil langkah yang nyata.
Selain mengirimkan bantuan kapal penumpang yang tak memadai, gugus tugas juga merencanakan dana sumbangan Rp 5 miliar dan beras hingga 50 ton untuk para "pemudik". Dana bantuan ini digunakan untuk memulangkan para pekerja dari pelabuhan-pelabuhan Indonesia ke kampung halamannya. Tapi, dengan hitungan kasar saja, jumlah dana ini pasti tidak mencukupi. Di Nunukan, para pekerja yang belum berhasil mendapat angkutan pulang diberi uang saku masing-masing Rp 1.500 dan beras 400 gram per hari. Tentu saja ini sulit untuk bertahan hidup. "Cuma bisa membeli setengah liter Aqua," kata seorang pemudik, mengeluh.
Ongkos kepulangan dari Malaysia ke Indonesia memang tidak murah. Agus Gunarso, buruh asal Tulungagung, Jawa Timur, yang bekerja di Johor, misalnya, menghabiskan Rp 500 ribu hanya untuk menyeberang ke Batam. Dari kota di pintu Indonesia ini, ia harus mengeluarkan lagi biaya Rp 100 ribu untuk mencapai bibir Pulau Sumatera di Kuala Tungkal, Jambi. Dari sini, rencananya ia bakal naik bus ke Jawa, tapi ia tak tahu apakah masih ada uang untuk membayar ongkosnya. "Simpanan saya sudah tak bersisa, Mas," katanya, lesu. Setahun di Johor, bujangan ini hanya bisa menyisihkan tabungan sekitar Rp 1 juta.
Selain ongkos perjalanan yang tak murah, jumlah sarana angkutan yang terbatas juga menjadi persoalan serius. Di Tawao, misalnya, frekuensi pelayaran ke Nunukan sudah ditambah dari tiga kali sehari menjadi tujuh bahkan delapan kali. Dengan mengambil risiko tenggelam di laut, daya angkut kapal juga digenjot dari normalnya 200 orang menjadi 300 orang. Meskipun demikian, jumlah penumpang yang belum terangkut dari Tawao mencapai belasan ribu. Mereka yang tak terbawa harus mengeluarkan tambahan ongkos untuk biaya penginapan.
Kalaupun sampai ke pelabuhan dalam negeri, untuk bisa pulang ke kampung pun tidak gampang. Hari-hari ini kota kecil Nunukan sudah seperti kota sirkus. Di mana-mana berdiri tenda darurat. Orang-orang bergeletakan di emperan rumah, beralaskan koran, seperti jajaran pindang. Karena tak ada tempat menginap, para pekerja menyewa tempat rebahan dari penduduk setempat dengan tarif Rp 1.000 sehari. Hingga akhir pekan lalu, diperkirakan ada sekitar 24 ribu pekerja yang transit di kota perbatasan itu sebelum meneruskan perjalanan ke rumah masing-masing di daerah lain.
Tentu saja gelombang mudik massal ini bukan hanya membawa kepusingan soal pemulangan. Ada masalah lain yang tak kalah serius: setelah kembali ke Indonesia, mau dikemanakan para pekerja eks-Malaysia itu? Dengan angka pengangguran yang kini mencapai 30 juta orang, tambahan angkatan kerja sebanyak 500 ribu tentu akan menimbulkan persoalan serius. Pengamat sosial Imam Prasodjo, misalnya, memperingatkan kemungkinan munculnya gejolak dan berbagai ekses yang gawat.
Harus diakui, Malaysia merupakan tanah impian yang menjanjikan pekerjaan, penghasilan, dan harapan. Negeri jiran itu jugalah yang menyihir desa-desa gelap tanpa listrik hingga bisa gemebyar dengan lampu neon. Tanah harapan itu pula yang menjadi semacam jendela bagi desa-desa yang tak terjangkau stasiun pemancar televisi sehingga bisa menikmati gambar-gambar hidup yang dikirim dengan antena parabola. Pulangnya tenaga kerja kasar yang memburuh ke Malaysia tidak hanya menambah pengangguran, tapi juga menghilangkan daya hidup yang selama ini menyetrum desa-desa kita.
Namun, Menteri Kalla agaknya tak terlalu ambil pusing dengan ancaman itu. "Kita akan mengembalikan mereka ke Malaysia," katanya, enteng, "Mereka (para pekerja itu) kan banyak uang." Kalla justru yakin, pemulangan ini awal dari sebuah titik balik yang menguntungkan posisi tawar pekerja Indonesia. "Mereka akan kita lengkapi dengan surat-surat resmi sehingga bisa mendapat gaji yang lebih layak," katanya.
Di atas kertas, perhitungan Kalla memang tidak keliru. Selama ini pekerja ilegal hanya mendapat upah sekitar 20 ringgit sehari, sedangkan mereka yang legal bisa menjala upah tiga kali, bahkan lima kali, lebih banyak. Namun, Menteri Kalla agaknya melupakan satu hal: Malaysia kini tidak seperti dulu lagi. Pemerintahan Mahathir menempatkan pekerja asal Indonesia pada urutan terakhir dalam proses rekrutmen tenaga kerja, setelah pekerja asal India, Bangladesh, Filipina, Thailand, Vietnam, bahkan di bawah posisi negara-negara Afrika.
Dengan posisi underdog seperti itu, daya saing pekerja Indonesia di Malaysia dipastikan bakal amat lemah. Karena itu, jalan keluar yang diusulkan Menteri Kalla seperti tidak realistis. Satu-satunya jalan, barangkali, adalah menyediakan pekerjaan di dalam negeri. Jelas, ini bukan perkara yang gampang.
Bina Bektiati, Edy Budiyarso, Tomi Lebang (Jakarta), Arif A.K. (Nunukan), Bambang Soediardjo (Medan), Rofiqi Hasan (Bali)
--------------------------------------------------------------------------------
Jalur Kabur, Jalur Herder
Taskforce—satuan tugas khusus—jadi hantu bagi tenaga kerja ilegal di Malaysia. Pasukan khusus bentukan pemerintahan Mahathir ini bertugas memburu ribuan tenaga kerja ilegal di negeri itu. Di antara "pendatang haram" itu ada yang terpaksa kabur masuk ke hutan belantara. Tak ada ampun buat mereka. Pasukan khusus ini lalu membawa anjing herder untuk memburu mereka. Ada pula yang lari menyelamatkan diri melalui beberapa jalur berikut ini.
A. Jalur Medan, Sumatera Utara
Sekitar seribuan pekerja gelap ini lari lewat Medan, Sumatera Utara, menggunakan kapal. Jalur masuk umumnya lewat Johor, langsung dari Medan.
B. Jalur Riau
Sekitar 17 ribu tenaga kerja ilegal menyelamatkan diri lewat jalur ini. Mereka lari dari kawasan Johor, Malaysia, menggunakan kapal dan perahu tradisional. Kawasan mendarat yang paling banyak adalah Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Sri Bintan Pura, dan Pangkal Pinang. Dari situ mereka pulang kampung ke Jawa Tengah lewat Semarang, Surabaya, dan Mataram, Nusa Tenggara Barat. Umumnya mereka pembantu rumah tangga dan buruh pabrik di Johor.
* Jalur masuk ke Malaysia lewat Singapura, Johor, dan Pulau Penang.
C. Jalur Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat
Di Serawak, jumlah TKI sekitar 100 ribu orang. Dari jumlah itu, sekitar 70 ribu adalah pekerja ilegal. Saat perburuan buruh tak resmi marak di Serawak, satu-satunya jalur aman dan cepat adalah Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Dari jumlah itu, baru sekitar 10 ribu yang lolos ke Entikong. Umumnya mereka berasal dari Jawa dan Kalimantan. Pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga dan buruh perkebunan di Negara Bagian Serawak, Malaysia.
*Jalur masuk ke Negara Bagian Serawak adalah lewat Entikong atau lewat laut langsung ke Kuching, Serawak.
D. Jalur Nunukan, Kalimantan Timur
Diperkirakan jumlah TKI ilegal di Negara Bagian Sabah mencapai sekitar 200 ribu orang. Dari sini, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah lewat Nunukan. Data Konsul RI di Sabah menunjukkan bahwa sudah 130 ribu TKI yang lolos lewat Nunukan. Sisanya masih bertahan di Sabah atau kabur ke hutan-hutan negeri itu. Dari Nunukan, mereka kembali ke kampung halamannya seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, kuli bangunan, dan buruh di perkebunan sawit di Tawao.
* Jalur masuk ke Negara Bagian Sabah lewat Tawao. TKI berangkat dari Makassar, Pare-Pare, dan Surabaya menuju Malaysia lewat Pantai Tawao.
Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini