SEKONYONG-KONYONG sayuran menjadi komoditi yang langka di berbagai kota di Malaysia. Kalaupun ada, harganya melambung tinggi. "Harga sayur seperti sawi, kacang panjang, kangkung, dan selada naik 30 persen pekan ini dan itu belum yang terburuk," ujar Yeo Hang Pin, Ketua Asosiasi Penjual Sayuran di Johor Baru. Sedangkan warga yang biasa mengandalkan warung makan di pinggir jalan mesti menerima pelayanan ala kadarnya, bahkan tidak sama sekali, karena para pekerjanya telah pulang kampung, ke Indonesia.
Mungkin para tokoh pemerintah dan parlemen Malaysia yang Maret lalu telah memperjuangkan dan meloloskan amandemen Akta Imigrasi tak pernah membayangkan akibat sejauh ini. Mereka melihat perlunya tindakan tegas di balik peraturan itu: enam kali cambukan ditambah lima tahun penjara atau denda hingga 10 ribu ringgit (setara dengan Rp 24 juta). Padahal angkat kakinya 300 ribu buruh migran ilegal—70 persen di antaranya warga Indonesia—telah menelurkan petaka bagi para pengusaha. Para pengembang terancam rugi 300 juta ringgit. Menurut Eddy Chen, salah seorang pengembang properti, banyak perusahaan yang harus kehilangan 5 juta ringgit per hari akibat tertundanya pelaksanaan proyek. Chen sendiri tinggal memiliki 20 pekerja. Padahal, sebelum terjadi eksodus, ia mempekerjakan 500 orang setiap harinya.
Pemerintahan Dr. Mahathir Mohamad cepat menuai kritik dari kalangan pengusaha. Namun dengan kalem Mahathir menggarisbawahi bahwa banyak pekerja migran ilegal yang menganggur dan terlibat dalam kegiatan tak diinginkan. Dan itu, "Menyebabkan keresahan warga Malaysia." Ia mengingatkan bentrokan polisi lawan 400 buruh pabrik tekstil asal Indonesia di Negeri Sembilan pada Januari lalu. Protes keras mereka atas penahanan 16 rekannya yang dituduh telah menggunakan narkotik dan obat berbahaya berubah menjadi kerusuhan. Tak lama kemudian, terjadi lagi bentrokan. Kali ini antara pekerja Indonesia dan pemilik warung di Cyberjaya, Kuala Lumpur. Kesimpulan pemerintah Malaysia: buruh Indonesia biang kerok pencetus kerusuhan.
Pendapat ini ditentang oleh orang seperti Datuk Abul Hasan Rashid dan Irene Fernandez. "Orang Malaysia sendiri lebih banyak melakukan tindak kejahatan," kata Datuk Abul Hasan, konsultan perburuhan. Sementara itu, Irene Fernandez, Direktur Tenaganita, organisasi nonpemerintah yang banyak menangani masalah buruh migran, mulai mencium bau politik di balik keputusan itu. Keduanya sama-sama menyaksikan sesuatu yang tak masuk akal dan sikap reaksioner pemerintah Malaysia. "Tidak logis, negara ini mengalami kemacetan di berbagai sektor seperti konstruksi dan restoran akibat tindakan keras pemerintahan ini," ujar Datuk Abul Hasan Rashid.
Jadi, apa yang tidak logis menurut perhitungan ekonomi tapi masuk akal menurut pertimbangan politik dari kasus ini? Bukan rahasia lagi, pemerintah Mahathir sedang berkutat menghadapi tekanan berat dari kalangan oposisi setelah pernyataannya tentang penerimaan penerapan syariah Islam dan represinya terhadap oposisi. Selain itu, Mahathir dan para pembantunya tengah sibuk mengatur strategi untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi begitu rendah, 1 persen. Sedangkan angka pengangguran mencapai 3,7 persen, angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Alhasil, menurut Irene, untuk sementara konflik berkepanjangan dengan oposisi dan perkara mandeknya ekonomi bisa dilupakan. "Ini pengalihan perhatian dari konflik di dalam negeri," katanya.
Upaya Mahathir ini tampaknya membawa hasil. Setidaknya partai-partai oposisi tidak bersuara lantang menentang kebijakannya. Bahkan Democratic Action Party (DAP), yang selalu mengecamnya, juga mendukung kebijakan ini. "Kami mendukungnya agar mereka (imigran ilegal) masuk ke Malaysia dengan jalur yang benar," ujar Dr. Tan Seng Giaw, juru bicara DAP.
Tapi semua menyerukan agar pemerintah melakukan rekrutmen secepatnya. Datuk Abul Hasan menganjurkan, akan lebih efisien jika buruh yang ada di Malaysia langsung diberi izin kerja daripada dikirim pulang. Sebab, me-reka akan kembali lagi. Sementara itu, pemerintah segera mengunjungi negara yang menjanjikan tenaga kerja seperti Burma, India, dan Indonesia. "Untuk sektor konstruksi dan manufaktur, kami akan ke Indonesia. Tapi, untuk manufaktur, kami hanya mengizinkan pekerja perempuan dari Indonesia," ujar Deputi Menteri Sumber Daya Manusia Abdul Latiff. Yang terang, untuk sementara waktu Malaysia dapat melupakan segenap perbedaan dan beban ekonomi yang kian berat.
Purwani D. Prabandari, Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini