Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Haram di Luar, Pahlawan di Desa

Pekerja Indonesia di luar negeri menjadi motor perekonomian desa.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUAS jalan di Desa Gunung Teguh itu, di Pulau Bawean, Jawa Timur, lebih istimewa daripada jalan-jalan desa lainnya. Lebih keras karena semen cor-coran. Penduduk desa menyebutnya sebagai Jalan Mahathir Mohamad. Tapi jangan salah sangka. Perdana Menteri Malaysia tidak pernah datang ke situ. Tidak pula dia membiayai pembangunannya. Ruas jalan itu dibangun dengan uang kiriman ribuan warga desa yang bekerja di Malaysia, yang hampir semuanya datang secara ilegal. Dari tetesan keringat para "pendatang haram" inilah jalur berkelok sepanjang 10 kilometer tadi dibangun. Tak cuma jalan raya. Desa itu juga lebih tampak makmur dengan bangunan masjid seluas 400 meter persegi yang hampir rampung, tujuh tangki penampungan air seharga Rp 70 juta yang menyediakan air bersih di enam dusun, serta jaringan listrik dan telepon. Ringgit dari tanah seberang juga telah menyulap rumah-rumah jadi lebih mentereng, lengkap dengan televisi, sepeda motor, bahkan parabola menancap di atapnya. "Delapan puluh persen pembangunan di sini dibiayai dari uang kiriman para pekerja di Malaysia dan Singapura," kata Hasbullah, kepala desa. Bawean memang pulau "pengekspor" tenaga kerja ke luar negeri, terutama dalam tiga tahun terakhir. Hampir setiap keluarga minimal punya satu anggota yang mengadu nasib di negeri tetangga. Tanyakan itu pada tiap orang yang berpapasan di jalan. Umumnya mereka akan mengaku punya anak, suami, menantu, atau kerabat lain yang bekerja di Malaysia atau Singapura. Jual-beli di daerah ini bahkan juga biasa dilakukan melalui enam jenis mata uang asing: ringgit Malaysia, rial Arab Saudi, dolar Singapura, Brunei, Amerika, dan Australia. Tapi kini, seiring dengan gelombang pemulangan pekerja ilegal, kemilau ringgit mulai meredup. Fahrurazi, pemuda lajang berusia 24 tahun itu, misalnya, pulang ke Bawean awal Agustus kemarin untuk menghindari hukum sebat (cambuk) di Malaysia. Dan kini dia kebingunan mencari kerja baru. "Usaha apa? Susah usaha di Bawean, sekarang cuma bantu-bantu Bapak di kebun," kata lulusan sekolah menengah itu. Bersama 300 ribu pekerja gelap lain yang telah dipulangkan, Fahrurozi menambah deret panjang daftar 8 juta penganggur di negeri ini. Padahal selama ini Fahrurazilah yang diandalkan sebagai penopang keluarga. Hanya berbekal visa turis, tiga tahun lalu ia nekat pergi ke Malaysia, menjadi buruh bangunan di sejumlah proyek pembangunan apartemen. Hasilnya lumayan. Tiap hari ia beroleh upah 60 ringgit atau sekitar Rp 120 ribu. Dalam sebulan, Rp 3,2 juta bisa dikantongi. Hidup irit di negeri orang, saban bulan ia bisa mengirim Rp 2 juta ke rumah. Hasilnya terlihat di lantai rumahnya yang baru berganti keramik, plus seperangkat televisi 12 inci, tape recorder, dan VCD player. Dengan ringgit pulalah ia membiayai sekolah dua adiknya di Sekolah Menengah Umum Sangkapura dan Surabaya, plus seorang kakaknya yang masih kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya. Ekonom M. Ikhsan melihat gelombang pemulangan pekerja Indonesia dari luar negeri akan punya dampak luas. Meski data persisnya belum diketahui, kiriman uang dari orang-orang yang "diharam-haramkan" ini telah menjadi salah satu sumber penting kegiatan ekonomi pedesaan. "Simpanan pedesaan naik sampai 37 persen, sebagian disebabkan transfer dana dari Malaysia," katanya. Melalui surveinya pada 1999, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan pekerja Indonesia di luar negeri memperkirakan uang Rp 3-4 miliar mengucur dari negeri-negeri tetanga ke Bawean setiap bulannya. Kepala Dinas Tenaga Kerja Tulungagung, Sunindya, bahkan menyebut angka lebih mencengangkan. Menurut data yang diperolehnya dari Bank BNI dan kantor pos setempat, sepanjang tahun lalu tak kurang Rp 400 miliar dikirim ke kabupaten ini oleh para pekerja di luar negeri. "Sebagian besar dari Malaysia," katanya. Di Nusa Tenggara Barat juga begitu. Provinsi ini mengirimkan sekitar 60 ribu pekerja terutama ke Malaysia. Menurut Sutanto, kepala dinas setempat, dalam lima bulan terakhir saja para pekerja itu telah mengirimkan sekitar Rp 126 miliar ke daerahnya. Karena itulah, menurut Ikhsan, kaum buruh di negeri seberang musti dilihat sebagai pahlawan yang wajib dilindungi dan diarahkan pemerintah, bukan malah diperas di sana-sini. Karaniya D., Sunudyantoro (Bawean), Dwidjo Maksum (Tulungagung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus