Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lomba pacu jalur sarat ritual dan tradisi.
Peran pawang cukup penting.
Selain faktor teknis, aspek spiritual penting.
DI tengah-tengah tim sampan panjang Upae Shagok Gimbo Dusun yang tengah khusyuk berdoa dengan duduk berbaris di pasir depan kajang, tampak seorang perempuan kejang-kejang seperti orang kesurupan di belakang tim. Segera saja seorang laki-laki bertopi mengarahkan telapak tangannya ke muka perempuan tersebut, seperti hendak mengambil sesuatu. Kejadian ini tak terlalu menarik perhatian karena hampir semua orang larut dalam doa yang tengah dipanjatkan tim dari Desa Kepala Pulau, Kuantan Hilir, Kuantan Singingi, Riau, ini. Setelah agak lemas terkulai, hingga melorot ke bawah, perempuan ini lalu dirangkul dan dibawa ke tenda posko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Desa Kepala Pulau, Asmudi, memimpin doa dengan diawali salawat dan Al-Fatihah serta menyemangati para pemuda, pendayung jalur atau sampan Upae Shagok. Selepas berdoa, tukang timbo menunjuk beberapa orang untuk melepas baju jersei dan digantikan oleh yang lain. Segera saja mereka kemudian berkumpul, membentuk lingkaran yang rapat, menumpuk tangan di tengah, dan meneriakkan yel-yel semangat siap menghilir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di samping sampan, puluhan anak pacu atau pendayung ini lalu berwudu, duduk dan memegang dayung hijau toska. Sesaat sebelum berangkat, seorang anak pacu mengangsurkan sebotol air mineral ukuran 1,5 liter kepada bocah tukang tari berkostum kuning untuk diminum.
Ia mengembalikan botol itu untuk diminum semua anak pacu hingga tukang onjai. Si tukang tari kembali menerima bungkusan kresek hitam berisi beras yang telah diberi jampi-jampi. Ia mengambil segenggam beras dan membalurkannya ke seluruh permukaan tubuh. Semua anak pacu pun melakukan hal yang sama.
Asriadi, salah satu tuo jalur dari Upae, mengatakan air dan beras itu sudah diberikan doa keselamatan secara Islam. Mereka menggunakan pawang yang melantunkan doa-doa islami. Meski demikian, mereka juga menerapkan sejumlah ritual yang dilakukan para pendahulunya. Dari ritual melambe, pemotongan ayam saat mengambil kayu, hingga pelangkah ketika menurunkan sampan atau jalur dari kandangnya.
“Waktu itu diminta turunkan sampan dari kandang pukul 17.00. Kami turun ke sungai pukul 06.00, ditarik pompon sampai Taluk pukul 15.00,” ujarnya. Ketika anak pacu siap berlomba, mereka diminta berwudu dan minum air dan membalurkan beras yang telah diberi jampi-jampi doa. “Biar semangat, tidak loyo, dan selamat dari gangguan.”
Asriadi mengaku tidak terlalu mengetahui perihal kesaktian pawang saat berlomba di arena. Ia terbata-bata menjelaskan soal ini. “Saya tidak pandai mengatakan, katanya begini, begitu. Macam-macam gayanya. Macam mana bilangnya. Tiap pacu itu ada pawang, tapi caranya beda. Ada yang di rumah, ada yang di arena,” ucapnya. Pawang itu juga yang akan mengobati jika ada anak pacu yang sakit. Obatnya dari beberapa tanaman atau benda yang ditentukan.
Ritual yang hampir sama dilakukan saat pengambilan kayu sampan Siposan Rimbo. Menurut Sudanto, tuo jalur atau pengurus jalur Siposan Rimbo dari Desa Pauh Angit, Kecamatan Pangean, pohon yang besar dan tua mempunyai penghuni atau mambang (roh) sehingga memerlukan izin untuk mengambilnya. Biasanya ritual meminta izin tersebut dilakukan oleh dukun sampan dengan membaca mantra khusus dan pemotongan ayam jantan berwarna hitam pekat sebagai pengganti. Setelah itu, berdoa bersama dilakukan. “Istilah di kampung namanya mantra-mantra. Setelah selesai ritual dan berdoa, baru kita tumbangkan,” ucapnya.
Penurunan sampan pun diiringi doa dan makan bersama di kandang, seperti saran pawang. Sudanto melanjutkan, keberadaan pawang jalur bagi Siposan Rimbo cukup penting untuk menyatukan dan menyemangati anak pacu. “Yang lebih penting adalah menjaga sampan agar tidak terganggu hal-hal mistis,” ujar Sudanto. Penetapan pawang jalur pun tak sembarangan. Masyarakat berembuk di musala dan mencari tetua kampung yang memiliki ilmu dan pengalaman.
Tempo menemui Ismail, seorang lelaki sepuh berambut putih, di Tepian Narosa, dua pekan lalu. Ia adalah pawang jalur mini Macarena yang tengah memantau anak jalurnya saat mereka berlatih melawan arus sungai. Ia mengaku menjadi pawang jalur sejak 1989 hingga saat ini. “Sudah menjadi tradisi sejak pencarian kayu hingga turun arena. Untuk menjaga sampan dan para pendayung dari hal-hal mistis yang tak terduga,” ucapnya.
Ia mencontohkan, beberapa hal mistis tersebut biasanya dapat langsung terlihat pada pendayung atau anak pacu. Misalnya saat berpacu ada yang kejang-kejang. Ada pula yang meminta keselamatan bahkan meminta dipertemukan dengan lawan yang lemah. Bahkan sesama pawang juga terkadang beradu kekuatan. "Namun sekarang tidak zamannya lagi, tanggung jawab kita adalah mengobati,” tutur Ismail, Kamis, 17 Agustus lalu.
Soal ritual magis sudah menjadi cerita dari mulut ke mulut sejak dulu kala. Said Mustofa Husin atau Buyung menceritakan dulu peran para pawang ini sangat kental. Dari pemilihan kayu, ritual penebangan, menarik kayu, sampai ketika berpacu jalur. Setiap pawang beradu kekuatan untuk menjatuhkan lawan. “Ada yang jalurnya melenceng, ada yang tiba-tiba berhenti, atau malah karam. Bisa juga meminta lawan dilemahkan atau dapat bye,” ujarnya.
Ismail, pawang jalur mini Macarena, saat persiapan pacu jalur mini. Tempo/Magang/Sabar Aliansyah
Tuo jalur Tuah Keramat Bukit Embun CMB, yang menjadi juara, H. Harison, mengatakan menyiapkan 80 anggota timnya dengan menguatkan fisik melalui latihan serta konsumsi jamu "kingkong" beserta telur itik dan madu. Tim mereka sebelumnya dilatih oleh pelatih dari Jalur Sijontiak Lauwik. “Kami sudah meminta izin sama mereka. Mereka seperti kakak,” tuturnya.
Harison menjelaskan, sebelum berpacu untuk babak final, tim sempat merapat ke kajang untuk dikuatkan dengan doa keselamatan. Ia menampik dugaan bahwa timnya menggunakan hal-hal magis. Termasuk ketika mencari kayu dengan ritual potong ayam. “Kami tidak pakai potong ayam seperti itu. Kami potong ayam untuk makan bersama dan doa saja,” ujarnya. Untuk pelangkah, mereka berangkat Sabtu sebelum asar. Selain Sabtu, biasanya mereka berangkat pada Rabu dan Kamis, tidak boleh lewat asar. ”Menurut Al-Quran, melangkah mencari rezeki begitu. Dari Basrah dapat gelar juara tiga, Sabtu langsung ke Narosa. Tidak boleh pulang lagi.”
Di buku Pacu Jalur Tradisional Kuantan Singingi Melintasi Masa, dituliskan elemen ritual magis secara rinci. Setidaknya terdapat 20 tahap aktivitas dan beberapa ritual untuk membuat sebuah jalur. Seperti ketika mencari kayu, dukun percaya setiap kayu punya mambang yang harus dijinakkan. Dengan upacara babalian, tarian diiringi rebab dan upacara batonnang dilengkapi dengan kekuatan magis dan mantra untuk berkomunikasi. Ketika masuk hutan, pawang atau dukun membaca mantranya, meminta izin sang penunggu.
“Hai orang yang ada di rimba sialang yang bertuah, bertuah sejak dulu, bertuah sejak kecil, kami bersama-sama datang dari desa, yang datang dari kampung yang jauh dari hutan datang meminta izin. Kami akan berjalan ke dalam. Kami akan menggapai ranting, memegang kayu, dan berilah kami lewat, berilah kami jalan, berilah kami izin. Kami masuk dengan baik-baik. Kami berharap keluar dari sini seperti itu. Kami mengirim salam untuk penunggu hutan yang sudah mendiami semak yang rapat dan kayu yang tinggi. Bismillahirahmanirahim."
Pemilihan kayu atau pohon bisa dilakukan berulang kali dan harus memindahkan makhluk halusnya. Ketika sudah terpilih, dukun menetapkan pelangkah yang harus dipenuhi warga desa. Misalnya keluar rumah pada hari dan jam tertentu. Sebelum menebang pohon pun dukun atau pawang merapalkan mantra sambil mengelilingi pohon menaburkan tepung tawar: "Ooo... penguasa rimba yang tinggal di sini, yang hidup di sela-sela tanah, yang hidup di tanah tinggi, kami ingin membuat jalur, berilah izin kami untuk menebang kayu ini. Hindarilah kami dari penyakit pusing kepala, peliharalah kami, berkat kalimat tiada Tuhan selain Allah."
Dukun akan mengambil akar yang berat di atas permukaan dan menyimpannya. Setelah itu, dukun menyembelih ayam dan darah ayam disebarkan di pangkal pohon. Kemudian penebang kayu mulai bekerja. Sementara penebang pada masa lalu menggunakan kapak dan beliung, kini penebang menggunakan gergaji mesin. Serpihan kayu tebangan pertama pun akan disimpan oleh dukun.
Bersamaan dengan mulainya penebangan, dukun akan membaca mantra: "Kalau memang di hutan mari ke kampung, yang di kampung kini telah tiba. Sekarang mari kita pergi ke kampung bersama-sama." Dijelaskan, mantra tersebut bukan untuk bersekongkol dengan jin atau setan. Tapi mantra itu diucapkan untuk menghidupkan mambang kayu yang akan ditebang dalam berpacu jalur. Saat menebang pun ada beberapa pantangan, seperti tidak boleh buang air kecil di sekitar pohon yang akan ditebang (minimal jaraknya 50 meter) dan tidak boleh berucap kotor. Serpihan kayu ini akan dijadikan pedoman untuk proses selanjutnya atau sebagai obat jika ada tukang pembuat jalur yang sakit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sabar Aliansyah dari Kuansing berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul " Tuah Para Pawang"